Aku Datang dengan Damai, Tak Lama Kolam Susu pun Berganti

Endah Astuti 24 September 2013

 

Dengan mata awas, di sekitar pembangunan dermaga.  Anak-anak bermain ene- pasir dengan mengais batu untuk di pecah menjadi kerikil di Pantai Sororai, Lipang. Agak ke tengah, sebuah dermaga dihinggapi kapal pemuat semen dan sisa bahan bangunan   terhampar di pasir untuk  menyempurnakan pembangunan terakhir dermaga yang sempat tertunda.

Pulau Lipang. Aku selalu percaya bahwa cara terbaik mengenal suatu negara kepulauan ini adalah dengan mengarunginya, merasakan  hantaman ombak dan kecepatannya, mengamati perubahan alam di kedua tepi garis cakrawalanya. Aku ingin mengekplorasi romantika pulau Lipang, Sangihe.

Namun ini lebih dari sekedar pulau “Nusantara Utara” Sangihe bagian utara.  Ini adalah ujian keyakinan, surut selama musim kering di pulau ini hingga tanah tepiannya terpapar dan pecah-pecah tertimpa terik matahari, untuk kembali dengan kubangan tanah tadah hujan di tiap musim hujan, Pulau Lipang hidup kembali, membanjiri dan memenuhi kolam susu si kubangan tanah tadi menyuplai pulau ini dengan air, ikan dan tanah yang subur.  Kolam susu belum pernah mengecewakan Orang Lipang. Di pulau yang penuh gejolak, kolam susu adalah sumber harapan  Orang Lipang. Ia adalah tempat mereka mandi, apa yang mereka minum, sarana mereka menyajikan aneka cookies hingga makanan, dan tempat mereka berdoa.  Tak terpisahkan dari kehidupan spiritual, inilah harapan mereka. Jadi aku berangkat untuk merasakan  kolam susu Lipang, kubangan tanah tadah hujan yang berwarna coklat muda. Air yang keruh samar  ini menggenang tenang tapi pasti memenuhi hajat hidup orang Lipang. Ayam-ayam yang beristirahat ditepian air dangkal bibir kolam susu, beterbangan. Bulu-bulu mereka yang kemerahan mengilat diterpa angin puting-angin dengan kecepatan 120km/jam yang sering menghampiri sebagai tamu yang tak diharapkan. Dan selain begitu dari seorang toki batu (pemecah batu) yang sedang bekerja dan asap hitam hasil kepulan dari belanga pengrajin kopra, apapun pemandangan yang tampak di hadapan seakan milikku.  Penduduk kampung setempat telah mempersembahkan peradaban, dengan Ke-Islamannya sebagai bagian dari saudaraku Indonesia.

Bersandar di sisi sebuah desa, aku menemukan endemi bisul, koreng dan penyakit kulit lainnya.  Penyakit sebutan dari sejumlah penyakit kulit lainnya yang akan kujumpai sepanjang bakteri stapilococus yang bernaung dikubangan kolam susu ini  jika tidak segera dikebumikan.

Ialah daun sirih, dewa obat serta apapun upaya apa saja yang bisa melepaskan penduduk ini dari ketergantungan pada kolam susu. Sambil membungkuk  dihadapan bisul-bisul  itu, aku pun berharap dengan dewa antiseptik-daun sirih sementara dapat mempercayakan kebiasaannya dengan kolam susu berangsur-angsur dapat aku ceraikan. Aku pun bertanya-tanya apakah analogiku dan logikaku  tentang  pertanahan untuk membuat galian sumur  sebagai sumber air bersih tentunya akan membasmi keakar-akarnya sang bakteri patologis  akan dapat mencapainya sekarang. Kolam susu ini begitu mengakar, membawaku ke Opla (kepala desa), PNPM, Kabag Pekerjaan Umum, Sangihe dan konsultasi Medical and Research Central Universitas Indonesia tanpa batas.

Curiga terhadap hitungan pendanaan, aku pun belajar  soal hitung-hitungan  galian sumur. Dan bukan sembarang perkara budaya melainkan suatu tempat di mana sebuah tembikar  yang melayani hidup orang Lipang akan digeser menjadi galian sumur, tiga titik galian sumur, masing-masing akan menampung  kebutuhan air bersih bagian atas dan bawah tatanan desa pulau Lipang ini. Sumur galian ini muncul seperti yang diramalkan. Lebih dari tiga bulan pendekatan, penyuluhan kesehatan kulit akan akibat bisul, koreng dan penyakit kulit sejenisnya serta pembuktian dengan mencontohkan perilaku. Pragmatis dan kekhawatiran secara keseluruhan aku tampak kurang gembira “ Pulau kecil seperti Lipang ini sumber air permanennya terbatas, sumur-sumur galian yang diimajinasikan dan dihipotesakan,kini berdiri karena memang harus adanya”. Benar saja saat ini pertaruhan akan masa depan Pulau Lipang semakin nyata. Senyata peradaban mandi air kolam susu yang masih tetap berlangsung di buritan coklat muda itu. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua