Bahasa Urang

Eko Budi Wibowo 16 Juli 2011

Pak Eko tek ngerti bahasa urang, urang tak ngerti bahasa Pak Eko”

Itulah kalimat yang terucap ketika saya berkunjung main kerumah Mak Ruk, salah satu penduduk kampung Sitoko. Nenek itu bercakap-cakap dengan saya menggunakan bahasa Sunda, apa yang nenek itu ucapkan saya hanya bisa terka-terka dari gerak dana intonasinya saja, saya sering menerka apa yang dimaksud nenek itu ketika berbicara kepada saya.

Lain halnya dengan Umi Haji, ibu angkat saya disini, tidak bisa sama sekali menggunakan bahasa Indonesia. Percakapan saya sehari-hari dengan ibu angkat saya dilakukan dengan bahasa Sunda dan saya membalas dengan bahasa Indonesia, entah apa yang dibicarakan kepada saya yang jelas percakapan ini membuat saya menjadi bingung.

Anak-anak yang saya ajar, ketika awal datang ke kampung ini, mereka sedikitpun tidak bisa membalas omongan saya dengan bahasa Indonesia, bahkan untuk memperkenalkan diri sendiri dihadapan saya mereka menggunakan bahasa Indonesia. Saya bertanya “Nama kamu siapa?” anak-anak tidak akan mengerti, jikalau tidak dengan kata “Ngarana Saha?”

Lain halnya dengan sebagian bapak-bapak disini, mereka sedikit lebih paham ketika saya mengajak mereka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Malam hari ketika berkumpul dengan bapak-bapak diwarung, saya berusaha membuka obrolan kepada mereka, mereka menanggapi percakapan saya dengan bahasa Indonesia yang rangkaian kalimatnya terbata-bata. Saya mengetes seorang bapak yang sedari tadi hanya manggut-manggut, ketika saya tanya ternyata dia membalas dengan bahasa Sunda yang intinya dia tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia. Pernah seketika saya bertemu dengan bapak petani yang bertemu dan berpapasan dengan saya, saya tegur dan mencoba membuka obrolan dengan bibir yang bergetar dia mengatakan tidak bisa berbahasa Indonesia.

Wajar saja ketika masyarakat disini kurang bisa menguasai bahasa Indonesia dengan baik, disamping wilayahnya merupakan wilayah terpencil dan merupakan wilayah yang masih tradisional. Sosialisasi bahasa Indonesia pun sangat kurang, agen sosialisasi yang berperan penting merubah bahasa lokal mereka adalah media Televisi. Namun jangankan televisi untuk menghidupkan sebohlam lampupun disini susah. Ketidak adaaan akses listrik membuat masyarakat ini terkurung dari dunia dan infiltrasi dari luar. Agen sosialisasi berikutnya adalah pengajar, guru disini mengakui bahwa ketika mengajarpun mereka kesusahan ketika menggunakan bahasa Indonesia. Itulah sebabnya saya menduga kenapa kemudian anak-anak disini mendapat nilai yang rendah pada setiap ujian salah satu penyebabnya adalah ketidak mengertian mereka terhadap bahasa Indonesia. Soal-soal yang dibuat tentunya menggunakan bahasa Indonesia, jangankan untuk menjawab pertanyaan untuk mengerti soalnya saja menyulitkan untuk mereka.

Tokoh masyarakat mengingatkan kepada saya beberapa saat ketika tinggal disini, beliau mengatakan bahwa masyarakat disini bukanlah sombong ketika bertemu dengan orang kota seperti saya, masyarakat disini tidak bisa mengeur dan malu mengajak saya berbicara karena rata-rata mereka tidak bisa bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Solusi yang paling baik adalah saya harus mempelajari bahasa Sunda, diharapkan setahun mendatang saya sudah bisa lancar berbahasa Indonesia.

Sekarang pelan-pelan saya berusaha mencatat satu kata perkata bahasa Sunda yang umum digunakan dalam kegiatan saya sehari-hari, paling tidak saya bisa menginformasikan kepada mereka apa yang akan saya lakukan. Kata-kata yang penting itulah yang berhubungan dengan kegiatan kita sehari-hari contohnya: mau makan, sudah kenyang, pergi kemana, dan akan apa. Kata-kata tersebut menjadi pelajaran awal-awal untuk beradaptasi yaitu menjadikan bahasa asing itu menjadi bahasa urang. Sekarang bahasa urang adalah bahasa Sunda.


Cerita Lainnya

Lihat Semua