Kisah Lastri dan Diana

Dita Juwitasari 7 April 2015

Siang itu aku membuat sesi curhat untuk kelas VI. Di dalam sesi itu aku mengharuskan semua orang berbicara apapun yang di rasakannya slama berada di kelas dan berinteraksi dengan teman-temannya. Semua orang sepakat untuk menerima apapun yang disampaikan temannya.

Yang menarik adalah kisah Diana dan Lastri. Diana dan Lastri adalah dua orang sahabat yang tak terpisahkan. Mereka sangat dekat, dari mulai mandi pagi di sungai bareng, berangat sekolah bareng, di kelas bareng, pulang sekolah bareng dan mandi sore pun bareng.

Tapi 6 bulan ini hubungan mereka terlihat sangat dingin, meski masih duduk satu meja bersama tapi mereka tidak pernah melakukan interaksi apapun. Terlihat hubungan mereka sangat buruk. Bahkan kabar yang beredar di teman-temannya mereka menjadi musuh bebuyutan yang sama-sama tak ingin berteman lagi sampai mati. Aku berpikir masalah serumit apa yang membuat mereka begitu marah satu sama lain.

Aku meminta mereka untuk menceritakan apa yang terjadi secara bergantian. Ternyata masalahnya sangat sepele. Sewaktu ada tes Dasadharma Pramuka, Diana mengambil kursi yang di duduki Lastri, sehingga pas Lastri mau duduk dia jatuh karena tidak tahu kursinya di ambil Diana. 3 hari kemudian Diana meminta maaf kepada Lastri, tetapi Lastri tidak menjawab dan malah mengacuhkannya. Lalu 2 minggu kemudian Lastri menegur Diana, tetapi Diana mengabaikannya. Semenjak itu sampai 6 bulan berlalu hubungan mereka menjadi sangat dingin.

Mereka memilih untuk diam, mereka memilih untuk tidak mencoba memperbaiki hubungan, karena keduanya merasa sudah benar. Sehingga muncul asumsi-asumsi negatif yang membuat mereka semakin saling membenci. Bahkan mereka sudah sampai pada titik masa bodoh satu sama lain. Tapi aku melihat sorot kerinduan di antara mata keduanya.

“Payo Lastri dan Diana maju ke depan, lalu berdiri berhadapan”

Mereka seperti ingin tapi tak ingin. Lalu ku hampiri dan ku ajak keduanya berdiri berhadapan di depan kelas.

“Sekarang Diana pandang mata Lastri dan Lastri pandang mata Diana”. Aku membiarkan mereka saling pandang selama satu menit.

Lalu ku minta mereka mengulang cerita nya lagi, namun yang terjadi mata kedua anak itu sudah basah. Mereka menangis, mungkin mereka menyesali yang sudah terjadi. Tapi belum ada satu pun yang melakukan apa-apa.

“Jadi, kalian mau temenan lagi atau mau lanjut musuhan?” , keduanya diam.

“Apakah cuma gara-gara kursi hubungan kalian akan selamanya menjadi tidak baik?”, keduanya diam.

“Apakah kalian benar-benar tidak ingin saling memaafkan?”, keduanya masih tetap diam.

“Oke, kalian sudah musuhan kurang lebih 6 bulan. Dalam Islam musuhan lebih dari 3 hari aja udah dosa, ini sampai berbulan-bulan. Jadi dosanya kalian yang naggung yah. Ibu tanya sekali lagi, apakah kalian bener-benar tidak saling menyayangi?”

Tiba-tiba mereka saling berpelukan, terlihat sangat erat sambil menyembunyikan isak tangis.

Mungkin sebetulnya mereka takut untuk tidak di maafkan dan mereka bingung cara berbaikan. Aku bahagia karena mereka sekarang sudah tersenyum bersama lagi.

 

Keesoka paginya ada surat di atas mejaku :

*Bu, terimakasih karena sekarang kami sudah berbaikan. Salam sayang Diana dan Lastri*


Cerita Lainnya

Lihat Semua