PESONA PESISIR
Dika Purnamasari 23 Maret 2012DIKA PURNAMASARI PESISIR YANG MEMPESONA Desa Muara Telake, 19 Maret 2012 Mengajar adalah panggilan hati. Mengajar adalah seni berkomunikasi. Mengajar adalah proses memahami. Mengajar adalah mengkontrol diri. Mengajar adalah berbagi. Mengajar adalah Belajar. Mengajar adalah mendidik. Mendidik adalah kesempurnaan dalam Mengajar. Setiap kita diberi kemampuan untuk mengajar namun kita juga diberi kemampuan untuk mendidik. Karena setiap kita adalah orang tua yang memiliki amanah sekaligus harus menguasai dua konsep ini, Mengajar dan Mendidik. Hanya kadarnya saja yang berbeda antara satu orang dengan yang lain. Menjadi Pengajar Muda Indonesia Mengajar, yang akan mengajar di daerah terpencil, merupakan salah satu mimpi yang sudah lama terpendam. Berawal dari salah satu milis yang saya ikuti, informasi terkait Indonesia Mengajar yang dimotori oleh Bapak Anies Baswedan pun langsung saya baca tanpa jeda. Saat itu, saya masih duduk di semester 5 di Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia. Tanpa berpikir panjang, saya langsung mengirimkan email terkait keinginan saya yang begitu besar untuk mengajar di daerah terpencil nun jauh dari kota yang menurut saya saat itu penuh dan sesak ( kalau diibaratkan seperti orang asma). Beberapa saat kemudian email saya pun dibalas oleh pihak Indonesia Mengajar, rasa penasaan membuat saya tidak peduli terhadap info – info yang ada dan seharusnya dibaca sebelum memutuskan untuk apply. Jawaban yang tidak dinginkan pun harus diterima dengan lapang dada ( sedih juga seh sebenarnya waktu itu....:( ) ” Maaf Dika program ini untuk mahasiwa yang sudah lulus kuliah, kamu bisa coba lagi ya kalau sudah lulus”. Begitulah sederet kalimat yang tertulis dalam email balasan yang saya terima. Butuh waktu, ya butuh waktu untuk kembali mengumpulkan semangat dan energi bahwa, Aku Harus Lulus SEGERA....!. Insya Allah ^_^. Waktu berjalan dengan sempurna atas Izin-Nya. Tepat tanggal 3 November 2011, saya serta 9 rekan PASER RANGERS sudah berada di pulau yang menurut kami saat training, menyebutnya dengan “ Magic Island” (hem, mudah-mudahan tidak ada yang tersinggung yak hehe) walau sebenarnya berita itu hanya kabar burung yang lama terdengar namun kami pun belum mengetahui keadaan yang sebenarnya secara real. Setelah tiba di Bandara Sepinggan kami pun di sambut oleh wajah –wajah teduh dan sumringah menyambut kedatangan kami ( mudah-mudahan bukan karena sebentar lagi akan digantikan ya ups..). Kami diajak ke pelabuhan tempat kapal akan menyeberang dari Balikapanan menuju Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Subhanallah, Balikpapan ternyata kota yang tertib dan bersih selain itu kota ini juga dikelilingi oleh laut yang berdekatan dengan Selat Makasar semakin menambah keindahan kota yang berada di Provinsi terkaya kedua di Indonesia. Hembusan angin laut Makasar yang mengibarkan kerudung ungu yang saya kenakan, seraya membisikkan “selamat datang wahai Pengajar Muda di Tanah Paser buen Keson (Paser Berhati Baik ). Setelah tiba di PPU kami pun melanjutkan perjalanan menuju Tanah Grogot. Perjalanan yang melelahkan karena sepanjang perjalanan kami harus merasakan mobil yang tiba-tiba rem mendadak, goncangan karena aspal yang banyak lubang dan berbatu, klakson mobil dan motor yang saling bersahutan seolah – olah berada di arena balap yang saling mendahului. ( cukup membuat jantung ini tak berirama ). Lima jam kemudian kami sudah sampai di Tanah Grogot. Sepanjang perjalanan menuju Tanah Grogot, Kabupaten Paser, tidak henti-hentinya saya mengucap syukur atas kemudahan demi kemudahan yang Rabb berikan kepada kami, seraya tak luput rasa penasaran dengan desa tempat saya mengajar. Alhamdulillah. ***** Mobil yang mengantar menuju tempat yang saya nanti pun berhenti. Suara adzan maghrib berkumandang begitu jelas tanpa batas. Kubuka pintu mobil seraya memandang sekeliling dengan seksama. Hening, sunyi hanya ada suara burung-burung yang banyak dan belum diketahui apa bentuknya. Kudongakkan wajahku ke atas langit dan sepi. Namun disudut sana senyum indah terukir dari PM 1, Nisa , yang mengantar saya menuju desa baru, Desa Muara Telake, Kecamatan Longkali, Kabupaten Paser, seraya berkata “ Welcome Dika, ini dia desanya....”. Desa Muara Telake merupakan desa yang berada di ujung selatan Kabupaten Paser. Seperti namanya, desa ini merupakan akhir dari Sungai Telake yang merupakan jantung sungai yang ada di kecamatan Longkali. Desa ini termasuk kategori desa pesisir yang sebagian besar ( 95%) masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan disamping guru, usaha walet, pedagang eceran dan aparat desa. Walaupun desa ini terletak paling ujung diantara desa yang ada di Kecamatan Longkali, namun desa ini paling ramai. Terbukti dari jumlah penduduk yang hampir 1000 KK dan rumah yang berdekatan satu dengan yang lain. Desa ini memanjang kurang lebih 2 Km, membentang antara desa bagian hulu, tengah dan hilir yang semua akses jalan terbuat dari kayu atau masyarakat disini menyembutnya “ jembatan “ dengan ukuran lebar 1,5 m dan panjang 2 km. Sejauh mata memandang yang terlihat bangunan kayu, jembatan dan rumah panggung yang dibawahnya ada air sungai bercampur air laut, saat paling menyenangkan ketika air sedang nyorong (pasang), maka saya merasa seperti hidup di suku air ( Avatar ). Setiap hari kita akan menyaksikan Bapak-bapak dan anak muda pergi melaut, Ibu-ibu dan remaja putri membelah ikan hasil tangkapan untuk dijemur dan dijual kepada pemborong, anak- anak ikut membantu menjual dan mendorong ikan dengan drum palstik untuk dijual, anak- anak memancing ikan “ote-ote” ( konon makanannya adalah kotoran manusia ) yang banyak hidup di bawah jembatan serta anak-anakku yang asyik dengan pencarian kepinting. Hidup di Desa Muara jangan membayangkan bahwa akan menggunakan sweater di pagi hari karena dingin atau mandi dengan air bening melimpah. Disini akan kita jumpai setiap hari baik Ibu-ibu, remaja putra-putri, dan anak anak akan menggunakan pupur ( bedak yang digunakan seperti masker pada wajah) di siang hari dengan tetap melakukan aktivitas normal. Bahkan berpergian dengan sepeda motor mereka pun tetap enjoy dengan pupur yang membalut wajah mereka dengan alasan untukmenyejukkan wajah dari sengatan sinar matahari pesisir. Bapak-bapak yang berjalan, menelpon, nongkrong dengan menggunakan kostum ala Baywatch dan Ibu-ibu dengan sarung saja yang membalut tubuh mereka. Disini pun kita akan mandi dengan air sungai yang kadang tawar dan kadang asin serta berwarna cokelat ( bisa bening dengan menggunakan obat, kaporit). Perlu diketahui, semua aktivitas mulai dari mencuci, dan mengeluarkan hajat dan sampah ke sungai dan air sungai itu pun yang akan diambil untuk aktivitas yang sama ditambah untuk air minum ( Ayo, semangat hidup sehat ^_^ ). Jika musim kemarau tiba maka air pun sepenuhnya asin, untuk memenuhi kebutuhan air bersih kami membeli dari kapal-kapal yang menjual air bersih dengan taskiran satu drum ( seperti drum minyak ) seharga Rp. 25.000,00. Suatu hal yang baru dan menarik bagi saya yang lahir di Kota Hujan dengan sejuknya udara Gunung Salak, Bogor. Lalu bagaimana dengan karakter mereka? Suatu hal yang lumrah terjadi di masyarakat pesisir khususnya Desa Muara Telake, ketika mereka berbicara, maka kita seperti mendengar nada marahnya orang Sunda atau Jawa, ketika mereka menyapa atau memanggil maka kita akan mendengar nada sampai 8 oktaf ( saingan Mariah Carey neh ...), lalu bagaimana ketika mereka marah ( adakah nada yang lebih tinggi dari hanya 8 oktaf hehe..). Anak-anak terbiasa memanggil orang yang lebih tua, Kakak, Paman, bahkan orang tua dengan hanya menyebut nama ( Bahkan mereka belum tahu persamaan Teteh, Aa, Mas atau sebutan penghormatan untuk orang yang lebih tua ). Atau sekedar mengetuk pintu jam 2 dini hari untuk transfer suara walet di laptop. ( huah...ngantuk..). Satu hal, mereka adalah penyuka dangdut mulai dari anak usia Balita, anak-anak sekolah dasar sampai lansia. Tidak heran ketika ada acara pernikahan, electon ( organ tunggal ) plus artis yang minim bahan adalah hal wajib dan hampir dipastikan ada di setiap acara. Ketika Adzan Isya berkumandang, desa yang tadinya hening menjadi dipadati oleh hilir-mudik remaja putra-putri. Mereka bagaikan semut yang sedang mencari dimana tempat gula berada. Alunan gitar menambah semarak malam mereka. Kepulan asap ditengah kegelapan sudut jalan menambah gumpalan awal putih pada malam itu. Dibeberapa sudut desa kita juga akan melihat beberapa bocah-bocah dan dewasa akan asyik bermain tranbol, kartu dengan beberapa konsekuensi yang harus mereka berikan atau dapatkan dan tak luput di bawah jembatan kita akan melihat botol-botol dengan gambar topi, bintang atau tengkorak bertebaran dan bergoyang terbawa gelombang air di malam yang kelam ( pemandangan yang baru untuk saya). Kehidupan yang baru semakin menambah semangat saya untuk bekerja sebaik mungkin di tempat yang saat ini dan untuk satu tahun mendatang menjadi tempat berpijak dan beramal baik dengan mengajar maupun melakukan kegiatan advokasi dan pemberdayaan masyarakat. Akankah saya terwarnai atau mewarnai??.. Semoga kehadiran saya bisa bermanfaat baik untuk saya, pembelajaran dalam proses pendewasa untuk bekal kelak menjalani dinamika kehidupan, untuk masyarakat pejuang pesisir dan untuk anak-anakku tercinta di SDN 005 Longkali. Salam Semangat ^_^. Khoirunnaas yan faunnaas.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda