Ujung Asa
Devita Anggraini 16 April 2013Ya... Mungkin ini adalah suara keputusasaan, Kawan. Ketika ujian itu datang tidak kepadamu. Tapi padaorang-orang yang telah kau bantu. Dirimu yang berada dalam lingkaran masalah, yang sebenarnya mampu kau selesaikan sendiri. Namun, engkau dituntut untuk tidak banyak bergerak. Membiarkan mereka untuk menghadapi ujian kehidupan dengan cara mereka sendiri. Meski kau tahu cara mereka salah, mereka belum siap untuk ujian itu. Bahkan mungkin tidak siap sama sekali. Ketika mereka masih nyenyak tidur, enak makan. Sementara engkau selalu gelisah, terlalu dalam berpikir hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi. Ya... Itulah yang sedang dirasakan diriku saat ini.
Nyanyian keputusasaan akan bergunanya aku disisa hariku di sini. Di kepung sungai-sungai yang se,akin deras menghantam hilirnya. Di abtara bisingnya deru mesin yang memperbaiki jalan-jalan ujung aspal. Atau lalu lalang kendaraan di tanah seberang. Aku hampir putus asa. Mungkin sudah putus asa. Aku hampir mati. Aku sudah pasti akan mati. Aku. Yang lemah ini. Yang tidak ada daya upaya selain terus mencoba. Selalu bangkit dan bangkit lagi. Hanya bisa tersenyum. Membalas senyum-senyum ceria mereka di pagi hari, di belakang langkahku. Ya... Aku yang hampir putus asa menaksir takdir yang akan menjemput mereka. Yang hanya sanggup menemani hingga pintu gerbang berlabel “Ujian Nasional”. Yang hanya mampu memberi semangat, menghibur dan bersenang-senang bersama di detik-detik terakhir mereka.
Aku yang terkadang keras keopada mereka. Memaksa mereka untuk terus belajar di tengah rasa capek, kantuk dan laparnya. Aku yang hanya bisa menitikkan air mata disela do’aku kepada Sang Hyang. Aku yang mungkin hampir putus asa. Aku yang mungkin hanya bisa pasrah. Terkadang, aku terlalu egois untuk memaksa mereka agar bisa, menjadi yang terbaik. Memberikan semua yang kubisa pada mereka. Tapi, mungkin seperti yang kita semua rasakan. Aku. Di sini. Di tanah ini. Datang untuk mengabdi. Memberikan seluruh apa yang kubisa, sebagai memori terindah mereka. Namun mungkin sulit untuk mereka. Mungkin mereka belum terbiasa atau mungkin tidak mau membiasakan diri.
Berkali aku putus asa dan terjatuh. Berkali pula aku selalu bilang. Mungkin apa yang aku lakukan tidak sepadan dengan apa yang telah mereka alami selama sekian tahun atau berpuluh tahun mereka hidup. Tapi, itu semua cukup memberiku pengalaman, tentang arti ketulusan, kerelaan, penghormatan dan pemghargaan.
Teringatlah aku akan beberapa waktu sebelum menjadi warga Lebak. Sebelum kuayunkan kaki di tengah goncangan jembatan gantung yang menyambutku dengan uniknya. Teringat akan orang-orang hebat yang pernah kutemui dan memberi wejangan. Teringat kembali akan nyanyian Abah Iwan, kata-kata semangat Pak Anies dan Pak Haha di tengah penatnya kehidupan di barak. Teringat akan perjuangan dan pengorbanan Pasukan Baret Merah demi negara. Atau perjuangan seorang Kang Ginan dalam mencari makna kehidupan. Mungkin, apa yang kualami tidak sepadan dengan apa yang telah mereka alami. Namun, semangat yang mereka tularkan cukup ampuh membuat tulang ini kembali kuat. Teringat akan kata-kata “Sukses terkadang bukan karena kita berhasil meraih. Tetapi ketika kita berhasil melewatinya”. Atau “Semangatku tetap ada di urat nadiku”.
Semoga, kami yang pernah menginjakkan kaki di sini, yang pernah belajar di tempat ini, hidupnya penuh isi, penuh arti, penuh bhakti untuk ibu pertiwi.
Ujung Aspal, April, 04 2013
Ya... Mungkin ini adalah suara keputusasaan, Kawan. Ketika ujian itu datang tidak kepadamu. Tapi padaorang-orang yang telah kau bantu. Dirimu yang berada dalam lingkaran masalah, yang sebenarnya mampu kau selesaikan sendiri. Namun, engkau dituntut untuk tidak banyak bergerak. Membiarkan mereka untuk menghadapi ujian kehidupan dengan cara mereka sendiri. Meski kau tahu cara mereka salah, mereka belum siap untuk ujian itu. Bahkan mungkin tidak siap sama sekali. Ketika mereka masih nyenyak tidur, enak makan. Sementara engkau selalu gelisah, terlalu dalam berpikir hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi. Ya... Itulah yang sedang dirasakan diriku saat ini.
Nyanyian keputusasaan akan bergunanya aku disisa hariku di sini. Di kepung sungai-sungai yang se,akin deras menghantam hilirnya. Di abtara bisingnya deru mesin yang memperbaiki jalan-jalan ujung aspal. Atau lalu lalang kendaraan di tanah seberang. Aku hampir putus asa. Mungkin sudah putus asa. Aku hampir mati. Aku sudah pasti akan mati. Aku. Yang lemah ini. Yang tidak ada daya upaya selain terus mencoba. Selalu bangkit dan bangkit lagi. Hanya bisa tersenyum. Membalas senyum-senyum ceria mereka di pagi hari, di belakang langkahku. Ya... Aku yang hampir putus asa menaksir takdir yang akan menjemput mereka. Yang hanya sanggup menemani hingga pintu gerbang berlabel “Ujian Nasional”. Yang hanya mampu memberi semangat, menghibur dan bersenang-senang bersama di detik-detik terakhir mereka.
Aku yang terkadang keras keopada mereka. Memaksa mereka untuk terus belajar di tengah rasa capek, kantuk dan laparnya. Aku yang hanya bisa menitikkan air mata disela do’aku kepada Sang Hyang. Aku yang mungkin hampir putus asa. Aku yang mungkin hanya bisa pasrah. Terkadang, aku terlalu egois untuk memaksa mereka agar bisa, menjadi yang terbaik. Memberikan semua yang kubisa pada mereka. Tapi, mungkin seperti yang kita semua rasakan. Aku. Di sini. Di tanah ini. Datang untuk mengabdi. Memberikan seluruh apa yang kubisa, sebagai memori terindah mereka. Namun mungkin sulit untuk mereka. Mungkin mereka belum terbiasa atau mungkin tidak mau membiasakan diri.
Berkali aku putus asa dan terjatuh. Berkali pula aku selalu bilang. Mungkin apa yang aku lakukan tidak sepadan dengan apa yang telah mereka alami selama sekian tahun atau berpuluh tahun mereka hidup. Tapi, itu semua cukup memberiku pengalaman, tentang arti ketulusan, kerelaan, penghormatan dan pemghargaan.
Teringatlah aku akan beberapa waktu sebelum menjadi warga Lebak. Sebelum kuayunkan kaki di tengah goncangan jembatan gantung yang menyambutku dengan uniknya. Teringat akan orang-orang hebat yang pernah kutemui dan memberi wejangan. Teringat kembali akan nyanyian Abah Iwan, kata-kata semangat Pak Anies dan Pak Haha di tengah penatnya kehidupan di barak. Teringat akan perjuangan dan pengorbanan Pasukan Baret Merah demi negara. Atau perjuangan seorang Kang Ginan dalam mencari makna kehidupan. Mungkin, apa yang kualami tidak sepadan dengan apa yang telah mereka alami. Namun, semangat yang mereka tularkan cukup ampuh membuat tulang ini kembali kuat. Teringat akan kata-kata “Sukses terkadang bukan karena kita berhasil meraih. Tetapi ketika kita berhasil melewatinya”. Atau “Semangatku tetap ada di urat nadiku”.
Semoga, kami yang pernah menginjakkan kaki di sini, yang pernah belajar di tempat ini, hidupnya penuh isi, penuh arti, penuh bhakti untuk ibu pertiwi.
Ujung Aspal, April, 04 2013
Ya... Mungkin ini adalah suara keputusasaan, Kawan. Ketika ujian itu datang tidak kepadamu. Tapi padaorang-orang yang telah kau bantu. Dirimu yang berada dalam lingkaran masalah, yang sebenarnya mampu kau selesaikan sendiri. Namun, engkau dituntut untuk tidak banyak bergerak. Membiarkan mereka untuk menghadapi ujian kehidupan dengan cara mereka sendiri. Meski kau tahu cara mereka salah, mereka belum siap untuk ujian itu. Bahkan mungkin tidak siap sama sekali. Ketika mereka masih nyenyak tidur, enak makan. Sementara engkau selalu gelisah, terlalu dalam berpikir hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi. Ya... Itulah yang sedang dirasakan diriku saat ini.
Nyanyian keputusasaan akan bergunanya aku disisa hariku di sini. Di kepung sungai-sungai yang se,akin deras menghantam hilirnya. Di abtara bisingnya deru mesin yang memperbaiki jalan-jalan ujung aspal. Atau lalu lalang kendaraan di tanah seberang. Aku hampir putus asa. Mungkin sudah putus asa. Aku hampir mati. Aku sudah pasti akan mati. Aku. Yang lemah ini. Yang tidak ada daya upaya selain terus mencoba. Selalu bangkit dan bangkit lagi. Hanya bisa tersenyum. Membalas senyum-senyum ceria mereka di pagi hari, di belakang langkahku. Ya... Aku yang hampir putus asa menaksir takdir yang akan menjemput mereka. Yang hanya sanggup menemani hingga pintu gerbang berlabel “Ujian Nasional”. Yang hanya mampu memberi semangat, menghibur dan bersenang-senang bersama di detik-detik terakhir mereka.
Aku yang terkadang keras keopada mereka. Memaksa mereka untuk terus belajar di tengah rasa capek, kantuk dan laparnya. Aku yang hanya bisa menitikkan air mata disela do’aku kepada Sang Hyang. Aku yang mungkin hampir putus asa. Aku yang mungkin hanya bisa pasrah. Terkadang, aku terlalu egois untuk memaksa mereka agar bisa, menjadi yang terbaik. Memberikan semua yang kubisa pada mereka. Tapi, mungkin seperti yang kita semua rasakan. Aku. Di sini. Di tanah ini. Datang untuk mengabdi. Memberikan seluruh apa yang kubisa, sebagai memori terindah mereka. Namun mungkin sulit untuk mereka. Mungkin mereka belum terbiasa atau mungkin tidak mau membiasakan diri.
Berkali aku putus asa dan terjatuh. Berkali pula aku selalu bilang. Mungkin apa yang aku lakukan tidak sepadan dengan apa yang telah mereka alami selama sekian tahun atau berpuluh tahun mereka hidup. Tapi, itu semua cukup memberiku pengalaman, tentang arti ketulusan, kerelaan, penghormatan dan pemghargaan.
Teringatlah aku akan beberapa waktu sebelum menjadi warga Lebak. Sebelum kuayunkan kaki di tengah goncangan jembatan gantung yang menyambutku dengan uniknya. Teringat akan orang-orang hebat yang pernah kutemui dan memberi wejangan. Teringat kembali akan nyanyian Abah Iwan, kata-kata semangat Pak Anies dan Pak Haha di tengah penatnya kehidupan di barak. Teringat akan perjuangan dan pengorbanan Pasukan Baret Merah demi negara. Atau perjuangan seorang Kang Ginan dalam mencari makna kehidupan. Mungkin, apa yang kualami tidak sepadan dengan apa yang telah mereka alami. Namun, semangat yang mereka tularkan cukup ampuh membuat tulang ini kembali kuat. Teringat akan kata-kata “Sukses terkadang bukan karena kita berhasil meraih. Tetapi ketika kita berhasil melewatinya”. Atau “Semangatku tetap ada di urat nadiku”.
Semoga, kami yang pernah menginjakkan kaki di sini, yang pernah belajar di tempat ini, hidupnya penuh isi, penuh arti, penuh bhakti untuk ibu pertiwi.
Ujung Aspal, April, 04 2013
Ya... Mungkin ini adalah suara keputusasaan, Kawan. Ketika ujian itu datang tidak kepadamu. Tapi padaorang-orang yang telah kau bantu. Dirimu yang berada dalam lingkaran masalah, yang sebenarnya mampu kau selesaikan sendiri. Namun, engkau dituntut untuk tidak banyak bergerak. Membiarkan mereka untuk menghadapi ujian kehidupan dengan cara mereka sendiri. Meski kau tahu cara mereka salah, mereka belum siap untuk ujian itu. Bahkan mungkin tidak siap sama sekali. Ketika mereka masih nyenyak tidur, enak makan. Sementara engkau selalu gelisah, terlalu dalam berpikir hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi. Ya... Itulah yang sedang dirasakan diriku saat ini.
Nyanyian keputusasaan akan bergunanya aku disisa hariku di sini. Di kepung sungai-sungai yang se,akin deras menghantam hilirnya. Di abtara bisingnya deru mesin yang memperbaiki jalan-jalan ujung aspal. Atau lalu lalang kendaraan di tanah seberang. Aku hampir putus asa. Mungkin sudah putus asa. Aku hampir mati. Aku sudah pasti akan mati. Aku. Yang lemah ini. Yang tidak ada daya upaya selain terus mencoba. Selalu bangkit dan bangkit lagi. Hanya bisa tersenyum. Membalas senyum-senyum ceria mereka di pagi hari, di belakang langkahku. Ya... Aku yang hampir putus asa menaksir takdir yang akan menjemput mereka. Yang hanya sanggup menemani hingga pintu gerbang berlabel “Ujian Nasional”. Yang hanya mampu memberi semangat, menghibur dan bersenang-senang bersama di detik-detik terakhir mereka.
Aku yang terkadang keras keopada mereka. Memaksa mereka untuk terus belajar di tengah rasa capek, kantuk dan laparnya. Aku yang hanya bisa menitikkan air mata disela do’aku kepada Sang Hyang. Aku yang mungkin hampir putus asa. Aku yang mungkin hanya bisa pasrah. Terkadang, aku terlalu egois untuk memaksa mereka agar bisa, menjadi yang terbaik. Memberikan semua yang kubisa pada mereka. Tapi, mungkin seperti yang kita semua rasakan. Aku. Di sini. Di tanah ini. Datang untuk mengabdi. Memberikan seluruh apa yang kubisa, sebagai memori terindah mereka. Namun mungkin sulit untuk mereka. Mungkin mereka belum terbiasa atau mungkin tidak mau membiasakan diri.
Berkali aku putus asa dan terjatuh. Berkali pula aku selalu bilang. Mungkin apa yang aku lakukan tidak sepadan dengan apa yang telah mereka alami selama sekian tahun atau berpuluh tahun mereka hidup. Tapi, itu semua cukup memberiku pengalaman, tentang arti ketulusan, kerelaan, penghormatan dan pemghargaan.
Teringatlah aku akan beberapa waktu sebelum menjadi warga Lebak. Sebelum kuayunkan kaki di tengah goncangan jembatan gantung yang menyambutku dengan uniknya. Teringat akan orang-orang hebat yang pernah kutemui dan memberi wejangan. Teringat kembali akan nyanyian Abah Iwan, kata-kata semangat Pak Anies dan Pak Haha di tengah penatnya kehidupan di barak. Teringat akan perjuangan dan pengorbanan Pasukan Baret Merah demi negara. Atau perjuangan seorang Kang Ginan dalam mencari makna kehidupan. Mungkin, apa yang kualami tidak sepadan dengan apa yang telah mereka alami. Namun, semangat yang mereka tularkan cukup ampuh membuat tulang ini kembali kuat. Teringat akan kata-kata “Sukses terkadang bukan karena kita berhasil meraih. Tetapi ketika kita berhasil melewatinya”. Atau “Semangatku tetap ada di urat nadiku”.
Semoga, kami yang pernah menginjakkan kaki di sini, yang pernah belajar di tempat ini, hidupnya penuh isi, penuh arti, penuh bhakti untuk ibu pertiwi.
Ujung Aspal, April, 04 2013
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda