Sebelas
Devi Ulumit Tias 4 Mei 2013Hujan berhenti sejak malam tadi. Namun jejaknya masih berserakan dimana-mana, di ujung-ujung dedaunan, di sepanjang jalan tanah, dan di langit Lalan. Mentari pun dengan rendah hati memberikan kesempatan padanya.
Juni 2012: penerimaan raport SDN Bandar Agung!
Ibu sudah berdandan sejak subuh tadi. Ya, ibuku selalu saja bersemangat di hari penerimaan raport karena sudah pasti Ibu akan maju ke depan dan dihujani ucapan selamat dari wali murid lain. Lagi-lagi aku, Fitri Refina Maulin, juara 1. Kalau sudah begitu, aku akan ditarik ke sana ke mari untuk ditunjukkan ke banyak orang. Ibu bangga, aku sih biasa saja.
Namaku Setiawati. Ibuku bekerja di kebun sawit milik perusahaan. Bapakku bekerja di kebun orang. Meskipun hari ini penerimaan raport, tak satu pun dari mereka bisa hadir untuk mengambil. Entahlah, angka 1 yang banyak menghiasi lembaran raportku selama ini tak juga membuat mereka bangga.
Mama Papa bersiap menuju sekolah, lengkap. Padahal yang diundang sekolah hanya satu. Begitu lah orang tuaku. Papa kepala puskesmas di kecamatan, Mama dokter di tempat yang sama. Setiap malam, Mama memaksaku membaca buku, papa pun sama. Jadi, wajar kalau penerimaan raport adalah hari yang sangat mereka tunggu-tunggu. Tapi sayangnya, kemampuan otakku ini terbatas, mana ada Micha Putri juara 1, hihi mimpi.
Bingung. Siapa yang akan datang hari ini? Mamak Pak entah di mana, sudah setahun mereka menghilang. Budhe? Hmm. Budhe pasti akan menjawab, “ambil lah sendiri raportmu itu, Fatkhan Nanta. Budhe repot ngurusi kamu terus”.
Hari ini penerimaan raport dan aku lupa memberi tahu bapak ibuk. Ah, biar lah. Mereka juga tak peduli apa isinya. Lebih baik aku minta abang untuk mewakili, pasti dia senang, ada alasan bolos sekolah. Abang dan aku, Fahmi, memang kakak beradik yang tak ada bedanya, haha.
Aku Aisyah Suci. Hari ini aku marah pada ayah ibu, lagi-lagi mereka lebih memilih datang ke acara sekolah adekku yang masih TK daripada mengambil raportku di SD. Padahal kan bisa bagi tugas. Mungkin benar kata orang, aku ini anak pungut, makanya mereka selalu memperlakukan aku beda.
Nilaiku di sekolah memang selalu pas-pasan, bapak ibu guru pun tak banyak yang mengenalku, Ayu Safitri. Tak masalah, selama kedua orang tuaku masih menyayangiku.
Aku anak lelaki satu-satunya dari 7 bersaudara. Enos Siman Juntak. Mamak dan bapak yang sering pindah dari desa transmigran satu ke desa transmigran lain, membuatku terlambat masuk sekolah dasar, seharusnya sekarang aku sudah SMP, tapi masih saja harus bergaul dengan anak-anak kelas V SD. Mereka tak benar-benar peduli dengan sekolah, hanya menasehati dari pagi sampai malam. Ahh, sudah lah aku tak perlu pergi mengambil raport hari ini, pergi berburu saja.
Kata orang, Zuliya Duwi anak manja. Biarin aja, suka-suka. Yang aku tahu, ayah ibu tak pernah protes, mereka sangat menyayangiku. Seperti hari ini, aku minta ayah ibu menghadiri acara penerimaan raport, keduanya. Meskipun, sudah dapat ditebak, pasti aku juara 3 dari urutan bawah. Jika tak dituruti, aku akan menangis, jurus ampuh untuk meluluhkan hati mereka, hehe.
Aku tak punya masalah dengan orang tua maupun sekolah. Hidup ku datar, nilai raportku pun datar. Dari jaman aku lahir sampai sekarang, sama saja. Namaku Rahmat Fauzi.
Ibuku jualan di sekolah. Apapun hasil raport, ibu pasti akan “selametan”, mengundang teman dari kanan kiri rumah. Bersyukur punya orang tua yang sangat menyayangiku seperti itu.
Embun sudah mulai tergeser mentari, dedaunan bersiap menyiapkan klorofil untuk fotosintesis. Ribuan burung walet pun sudah sibuk berkicau di langit Lalan bersamaan dengan puluhan wali murid yang datang memenuhi halaman depan SDN Bandar Agung.
Aku, Devi Ulumit Tias, guru baru di SD ini. Sebelas anak di atas adalah muridku. Dan cerita di atas adalah deskripsi penerimaan raport dua semester lalu, sebelum aku mengenal mereka.
Sedih? Iya. Di sekolah ini, di negara ini, di dunia ini, banyak anak dengan segala macam latar belakangnya. Yang ‘pintar’di-elu-elukan, yang ‘bodoh’ dihina. Yang ‘patuh’ dipuji, yang ‘nakal’ dipukuli. Yang ‘punya kemampuan rata-rata’ dibiarkan. Tak tahu kah? Yang dianggap bodoh dan nakal, benar-benar akan menjadi bodoh dan nakal. Yang ‘punya kemampuan rata-rata’ tak akan berkembang.
Anak-anak juga manusia, mereka punya perasaan, punya pikiran. Coba bayangkan, kalau kita dihina, diacuhkan, tidak dipercaya, bagaimana rasanya? Mereka pun sama.
Sampai suatu ketika, ada kabar lomba Olimpiade Sains Kuark. Olimpiade ini terkenal berkualitas dari segi soal maupun prosesnya. Diikuti oleh 150.000-an siswa siswi SD dari seluruh Indonesia. Siapa pun boleh ikut, tak ada persyaratan raport. Kesempatan!
Aku daftarkan 14 anak secara acak, termasuk sebelas anak di atas. Banyak protes dari rekan guru:
“Bu, yang tahu kemampuan mereka sejak awal kan kami. Lebih baik dipilih saja, tak usah semua didaftarkan, buang-buang uang.”
“Benar Bu, yang Bu Devi daftarkan itu banyak yang nggak ‘pintar’.”
“Saya yakin nggak ada yang lolos, lihat saja nanti!”
Aku tetap keukeuh dengan keputusan, aku sendiri yang akan mengurus segala persiapan lomba mereka! Begitu tekadku waktu itu, 6 bulan yang lalu.
Tak mudah memang, anak-anak tak yakin dengan dirinya sendiri, terutama yang dicap bodoh dan nakal selama ini. Mereka jarang ngumpul saat kelas tambahan Olimpiade. Ada yang tidur-tiduran. Ada yang semangat sekali belajar, tapi tetap belum bisa. Ada yang sangat mudah menangis saat merasa tertinggal temannya. Ada yang merasa pintar dan tak mau mendengarkan.
Enos lebih memilih berburu, Ayu dan Zulia malas datang karena rumahnya jauh, Setiawati dan Refin tak datang karena merasa pintar, Fahmi dan Nanta sering bertengkar, sisanya datang bergantian.
Aku datangi rumah siswa satu-satu, meminta kerja sama orang tua, meyakinkan bahwa anak mereka bisa. Aku ajak rekan guru mempelajari materi olimpiade agar beliau sedikit banyak ikut andil di perlombaan ini.
Dua minggu berlalu, belum ada perkembangan. Sedangkan olimpiade tahap penyisihan kurang 1,5 bulan lagi. Frekuensi bermain aku tingkatkan. Bermain? Ya, bermain. Nonton film sains, eksperimen sains ringan, belajar di perahu, belajar sambil lompat tali, dan banyak lainnya. Aku ingin membuat mereka nyaman lebih dulu, aku ingin mereka percaya padaku dan pada dirinya sendiri.
Pernah suatu kali aku marah, berbicara dengan mereka dari hati ke hati. Aku ceritakan kisah kecilku dulu, aku ceritakan mengapa aku bisa jadi guru di sini, aku ceritakan pertentangan rekan guru saat memilih mereka, aku jelaskan potensi-potensi yang mereka miliki.
Daan, tak lama. Mereka mulai peduli dengan diri sendiri dan temannya, saling mengingatkan, berdiskusi, bertanya.
23 Februari 2013. Olimpiade babak penyisihan berlangsung. Aku hanya bisa berdoa, anak-anak pun sama.
27 Maret 2013. Hujan datang lagi, kali ini membawa kabar gembira. Deg-degan aku membuka website www.komikuark.net Pengumuman Olimpiade Sains Kuark tahap penyisihan. Sebelas nama anakku ada dii sana. Sebelas nama di atas lolos ke tahap semi final.
Alhamdulillah..........sujud syukurku pada Allah SWT. Benar kan? Asal ada kesempatan, mereka mau, percaya, berusaha, dan berdoa. Pasti bisa!!
Terima kasih atas kerja sama yang baik ini, Nak. Karena usaha kalian, karena kepercayaan kalian, kini kepercayaan itu menular. Mari bekerja sama lagi, perjuangan belum berakhir. Semoga bisa foto ber-sebelas di atas Monas di Olimpiade Sains Kuark tahap final.
Senyum terkembang di langit Lalan.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda