Bapak Sutardjo Almarhum

Devi Ulumit Tias 4 Mei 2013

Tujuhpuluh Kilometer, jarak rumah Bapak dan sekolah. Karena itu, lima hari dalam seminggu, Beliau menginap di Unit Kesehatan Sekolah, supaya tidak bolak balik. Karena itu pula, kami; anak murid Bapak; “baru berkesempatan” silaturahmi di bulan Syawal 2009.

Sebuah rumah dengan anyaman bambu ber’cat’ putih kapur. Di bagian depan, terlihat plastik bening menutup jendela. Beberapa genteng melorot sana sini, lengkap dengan terpal di langit-langit. Sungguh, rumah yang mungil sekali, mungkin tinggi pintunya 1,5 meter saja. Kami pikir, kami salah rumah, ternyata Bapak keluar dari sana dengan senyum khas-nya. Berdiri di samping Beliau, Ibu yang (kabarnya) sudah sakit-sakitan.

Hati kami semua sama, nyeri. Hilang segala kata yang rencananya akan disampaikan ketika bertemu. Hanya bisa mencium tangan Beliau lebih dalam dari biasanya. Dari tangan ini lah kami lahir. Beberapa dari kami bahkan menjadi Maestro Kimia. SMA Negeri Ambulu; sekolah kami, sekolah negeri satu-satunya di kecamatan; pun menjadi sekolah yang tidak lagi dipandang sebelah mata oleh sekolah kota. Soal kimia, kami lah jago-nya. Ya, dari tangan ini.

Pagi, siang, sore, bahkan malam. Beliau tak menolak kedatangan muridnya, menjawab setiap pertanyaan, baik tentang pelajaran kimia maupun tentang hidup. Membimbing kami dengan caranya.

Setiap perlombaan kimia kami ikuti. Entah didukung atau tidak, oleh pihak sekolah, yang jelas kami tetap berangkat mengikuti lomba. Pernah sekali, aku tak sengaja mendengar Beliau sedang diskusi alot dengan stakeholder sekolah, namun akhirnya Beliau mengalah. Kami lomba, keluar kota, dengan dana pribadi Beliau, “yang penting, kalian punya kesempatan”.

Khusus buatku, Beliau lebih dari seseorang yang berprofesi guru. Aku pernah jatuh, gagal tes masuk tes perguruan tinggi idaman. Semua mencibir, katanya, mimpiku memang ketinggian. Aku malu sekali. Tapi Beliau datang, rutin, ke rumah. Memberikan semangat dan meyakinkan agar aku tetap menjaga mimpi itu. Beliau mengenalkan aku pada seorang kakak, yang akhirnya membimbingku mencapai mimpi di tahun berikutnya, bahkan sampai sekarang.

Ah, Bapak. Beliau selalu terlihat semangat walaupun sudah berusia senja. Atau mungkin, kami saja yang kurang peka.

Kami tak tahu, malam-malam yang Beliau lewati di ruang UKS, sendiri. Kami bahkan tak tahu, ternyata Beliau belum selesai dengan ‘hidupnya’.

Hari itu, Beliau bercerita bahwa; dua tahun menjelang pensiun; sedang kuliah lagi di Universitas Jember. Tekad Beliau yang besar, membuat fisik pun tak merasa lelah untuk bermotor mondar mandir antar kota.

Empat jam berlalu, kami pamit.

Sepanjang perjalanan pulang, kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Sakit, banget. Kami bertekad, libur Syawal tahun depan, sudah bisa melakukan “sesuatu” untuk Beliau.

_______________________________________________________________________

Bandung, 10 Januari 2010. Seorang guru menelpon.

Halo..! Pak Sutardjo sudah nggak ada Nduk. Kecelakaan motor tadi malam, sepulang kuliah”.

Aku diam, tak sepenuhnya sadar apa yang kudengar. Baru empat bulan lalu bertemu Beliau, baru sebulan lalu masih berbincang dengan Beliau lewat telepon.

Ampuni dosanya Ya Allah....semoga segala ilmu yang telah Beliau berikan menjadi amal yang tak putus. Lapangkan lah kuburnya. Ringankan lah Beliau dari siksa api neraka. Hamba percaya, Engkau lebih menyayanginya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua