Ketidakpastian
Dedi Kusuma Wijaya 15 Juli 2012Konon ada satu diktum kuno dalam dunia lama: satu-satunya hal yang tidak pasti adalah ketidakpastian. Tidak ada yang bisa diprediksi dengan pasti oleh manusia, karena alam berputar dengan dinamisme yang hanya sang Khalik yang tahu, dan peristiwa datang dan pergi seperti nilai yang akan keluar dari putaran dadu. Dan manusia, dengan modal akal dan kemampuan sintesa, sepanjang jaman berusaha melawan ketidakpastian itu. Bahasa dibuat, teknologi berkembang, ilmu dibangun, semua mengarah kepada satu tujuan: membuat hal-hal lebih pasti.
Dan rasanya, modernitas memang berbicara tentang kemenangan, atau paling tidak keunggulan, akan ketidakpastian tersebut. Manusia membuat tombak dan jerat untuk memastikan bahwa hari ini mereka akan makan. Rumah dibuat untuk menepiskan ketidakpastian tempat tinggal yang menjadi keseharian dalam era nomaden. Penicilin dan obat-obatan modern lain diadakan untuk membuat kepastian manusia tetap bertahan hidup lebih tinggi. Jauh melompat ke era terkini, kita mengenal ponsel, internet, dan perangkat lainnya yang membuat semua hal lebih terorganisir. Perilaku manusia pun dituntut untuk memastikan kepastian. Pesawat terbang yang tidak on-time akan dikecam, bahkan di negara yang semakin maju seperti Singapura dan Jepang, waktu kedatangan bus pun bisa begitu presisi sampai ke menitnya. Semakin maju sebuah wilayah, semakin tinggi pula tingkat kepastiannya. Kehidupan modern seperti tak menyisakan ruang untuk hal-hal yang tidak pasti, karena manusia sekarang melakukan lebih banyak hal, dan dikejar dengan target-target yang berpacu bersama putaran jarum jam. Semakin bisa suatu hal diprediksi, semakin tinggi potensi pengembangan, dan semakin maksimal pula hasil yang didapatkan.
Saya sendiri, lahir dan besar di kota, akrab dengan kepastian itu. Saat kuliah saya bisa tahu akan mendapat nilai apa saat tugas saya mendapatkan nilai sekian, dan tahu serta bisa mengatur kapan saya bisa pergi libur dan kapan harus kembali ke kuliah. Pun saat saya bekerja, saya tahu harus mengerjakan tugas tertentu dengan batas waktu yang telah ditentukan, dan dengan segala macam sumber daya yang ada, saya bisa memastikan tugas tersebut terselesaikan. Kepastianisme ini saya bawa pula saat memutuskan mencemplungkan diri dalam tugas sebagai Pengajar Muda yang sebenarnya rawan dengan ketidakpastian, karena kondisi lapangan yang masih gelap. Cara mengakali ketidkapastian itu telah saya (dan juga tim dari Indonesia Mengajar) siapkan. Kami siap dengan medan yang berat, sehingga setiap hari kami rutin diolahragakan. Kami siap dengan ketiadaan listrik dan sinyal, karena itu semua ponsel dikumpulkan dan tiap malam listrik dimatikan saat semua sesi berakhir. Pendeknya, diharapkan dengan sekantung persiapan, hal-hal akan jadi lebih pasti di sini.
Kami pun diberangkatkan, diamanatkan bertugas di kabupaten yang dianggap lebih tertinggal dari tempat kami sebelumnya. Dan yah, daya bisa beradaptasi dengan ketiadaan sinyal. Pula dengan tidak adanya listrik. Perjalanan dengan laut yang menggentarkan, juga dapat diatasi. Hanya satu ‘musuh lama’ yang tidak dinyana tetap berjaya: ketidakpastian. Saya tidak disiapkan, dan tidak menyiapkan diri untuk berhadapan dengan ketidakpastian ini. Di sekolah, sudah beberapa kali kami ingin melakukan satu kegiatan namun dipayungi ketidakjelasan. Saya dan kepala sekolah pernah mengatur waktu pertemuan dengan Pak Camat yang bertugas di desa tetangga kami, Adodo Molu. Karena tidak adanya sinyal ponsel atau media komunikasi lain, berdasarkan kesepakatan awal kami pun datang ke Adodo Molu, dengan berjalan kaki. Tanpa disangka, Pak Camat sedang ke Saumlaki dengan menumpang kapal barang. Katanya, satu dua hari lagi ia sudah akan balik kembali. Dan saya memutuskan untuk menunggunya saja di Adodo. Satu, dua, tiga, dan empat hari dilalui tanpa ada tanda-tanda kedatangan beliau. Mau pulang, tapi entah kapan bisa bertemu lagi, apalagi perjalanan ke desaku cukup berat karena harus ditempuh dengan berjalan kaki. Ujung-ujungnya, saya menunggu dalam ketidakpastian sampai seminggu di Adodo Molu. Dan kejadian ini bukan hanya terjadi sekali, sejauh ini sudah tiga kali saya terpaksa meninggalkan tugasku mengajar di kampung karena perkara menunggu Pak Camat datang ini.
Kalau di kecamatan yang memang sangat terisolir proses menunggu camat memang terhambat dengan transportasi dan komunikasi, di ibukota kabupaten, Saumlaki, uniknya, hal ini juga terjadi. Kali ini perihal menunggu waktu untuk bertemu pak bupati. Walau saya dan teman-teman sudah berada di dalam kota dan jarak dengan kedaiaman serta kantor bupati hanya satu kilometer saja, bertemu beliau tetap merupakan sebuah ketidakpastian lagi. Di awal kedatangan kami, selama seminggu kami menunggu kesempatan untuk bertemu beliau. Karena tidak kunjung ada, kami pun merelakan cukup diterima oleh Asisten Sekda saja dan menunda agenda pertemuan dengan beliau di kali berikut. Tiga bulan berikutnya, tetap kami tak dapat memprediksikan kapan agenda pertemuan ini dapat terealisasi. Waktu itu bupati sebenarnya terjadwal untuk pergi ke luar kota, sehingga kelihatannya keingingan kami untuk bertemu ini sudah pupus. Tanpa dinyana, setelah saya melaporkan bahwa ada murid-muridku yang datang ke Saumlaki untuk menari, agenda ke luar kota pun dipinggirkan, dan kali ini ketidakpastian mendatangkan berkah pada kami, bupati bersedia menerima kami semua. Bahkan beliau membatalkan agenda lain dan selama tiga hari berturut-turut berinteraksi dengan kami yang memang sedang mengadakan acara di kabupaten. Balada ketidakpastian pertemuan dengan bupati ini pun terjadi lagi minggu lalu, ketika selepas Ujian Nasional kami pergi ke Saumlaki dengan misi melakukan pertemuan yang terakhir kali dengan beliau di masa tugas kami. Dan sekali lagi, kami dihampiri dengan hal ini. Ajudan bupati tidak dapat memberikan jadwal yang pasti kapan kami bisa bertemu, sehingga kami hari demi hari hanya dihabiskan dengan mendengarkan ‘bupati belum bisa ditemui hari ini’, karena beberapa kesibukan dan karena beliau kebetulan sedang sakit. Barulah sekali lagi, tanpa direncanakan, ketika beliau keluar dari ruangan dan akan pergi ke bandara, kami yang sudah menunggu dengan tidak pasti di luar ruangan langsung diajak masuk kembali ke ruangan, dan hasilnya beliau membatalkan keberangkatannya hari itu!
Menurut Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, kabupatenku ini masih tergolong salah satu daerah tertinggal. Dan mungkin karena itulah level ketidakpastiannya masih sangat tinggi. Kapal ferry yang jadwalnya berangkat setiap Selasa sore dnegan rute Saumlaki-Larat sering ditunda dengan alasan cuaca dan berbagai alasan lain. Pesawat terbang Merpati Airlines dengan rute Saumlaki – Larat – Tual terbang sesuka hati pilotnya. Dalam minggu ini ia bisa berangkat hari sabtu, minggu depannya di hari kamis, minggu berikutnya ia bahkan bisa tidak terbang –mengingkari kontraknya- dan melayani rute Saumlaki – Kisar – Kupang yang lebih gemuk penumpang. Bahkan jam dimulainya misa di gereja pun kadang tidak pasti. Terjadwal jam 8, misalnya, tapi misa kadang baru dimulai jam setengah sembilan tanpa pemberitahuan lanjutan. Saran saya bagi orang yang baru datang ke wilayah ini, dan terbiasa dengan agenda organizer yang detail dan padat, buang jauh-jauh saja ke laut organizer itu, agar tidak gondok selama di sini.,
Ketidakpastian, sungguh, tidak mengenakkan. Saat ini saya sudah tiga minggu meninggalkan anak-anakku di sekolah. Satu minggu setengah dihabiskan dengan menunggu kepastian pertemuan dengan bupati, dilanjutkan dengan penundaan keberangkatan ferry selama tiga hari. Setelah akhirnya saya berangkat ke Larat dengan menggunakan ferry, sedianya saya akan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kapal motor dari desaku yang biasanya seminggu tiga kali berangkat ke Larat. Nyatanya sampai hampir seminggu belum ada satu pun motor dari desaku, atau dari desa tetangga yang datang ke Larat. Cuaca yang buruk (angin kencang ditambah hujan) tampaknya membuat tidak ada motor yang berlayar. Tidak adanya komunikasi juga membuat saya tidak bisa mengabarkan terkatung-katungnya saya ini ke orang di kampug. Alhasil, yang bisa saya dan teman saya, Bagus, lakukan, hanya menunggu saja, menghabiskan hari demi hari di penginapan di Larat, menipiskan kantong dan menebalkan urat kesabaran kami. Ketidakpastian, pada akhirnya, memang kadang-kadang tidak dapat dikelabui. Ia tetap datang dan mengikat kita pada kekangan nasib yang tak tentu. Satu-satunya cara menghadapi hal seperti ini adalah melapangkan hati dan memperpanjang ketabahan. Hari ini saya dan Bagus memutuskan menghabiskan waktu dengan datang ke SMAN 1 Tanimbar Utara, sekolah yang terletak di Kota Larat, untuk menawarkan diri mengajar di sana. Lumayan, kami yang adalah guru-guru bisa sedikit terhibur karena diberi kesempatan mengajar. Sisa waktunya, kuhabiskan dengan pelan-pelan menulis tulisan ini, duduk membunuh waktu, dan saat malam tiba (di sini listrik PLN baru menyala jam 6 malam sampai jam 6 pagi), kami akan duduk manis di depan televisi di penginapan dan melahap tontonan apa saja sampai larut malam. Bagi sebagian orang kegiatan ini kelihatan menyenangkan karena banyak bersantainya, tapi bagi kami, ini adalah latihan batin yang sungguh luar biasa. Tanpa kesabaran, entah depresi macam apa yang akan kami alami di sini.
Akhirnya, saya sungguh percaya dengan hipotesaku, bahwa kemajuan suatu wilayah, masyarakat, ditentukan dengan seberapa pasti sesuatu berjalan dalam lingkungan itu. Saya beruntung saat ini menjadi saksi mata ketidakpastian di Kepulauan Tanimbar ini. Sepuluh tahun lagi, saat kabupaten ini sudah jauh berkembang, saya pun bisa datang dan mengecek, seberapa tinggi peningkatan kepastian di kabupatenku ini. Dan saat itu datang, saya mungkin bisa tersenyum mengingat hari-hari ini. Hari di mana saya mengetik tulisan yang anda baca ini dari penginapan sederhana yang saat ini tanpa pengunjung selain kami, ditambah pemilik yang jarang menengok sehingga penginapan ini seperti milik kami saja. Hari- hari yang dingin karena angin berhembus kencang sepanjang hari, hari-hari yang membuatku ingin berkata: berhentlah berpetak umpet denganku, ketidakpastian!
Larat, 29 Mei 2012
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda