Salib

Danang Aditya Nizar 17 Desember 2014

Kabar bahwa terkadang ada Pengajar Muda (PM) yang sedikit bersitegang dengan rekan guru atau bahkan kepala sekolah adalah kabar yang lumrah. Selumrah gesekan yang terjadi pada Anda di kantor dengan kolega atau bahkan bos Anda; sama persis. Apalagi mayoritas PM mungkin—secara sadar atau tidak—masih memanggul ‘seharusnya’ sebagai salib mereka saat mereka memulai perjalanan ini. Seharusnya guru datang pukul 7 pagi. Seharusnya guru menerapkan pembelajaran kreatif. Seharusnya guru tidak memukul muridnya. Dan seharusnya-seharusnya lainnya yang mungkin tidak akan habisnya. Memilih ‘seharusnya’ sebagai salib pun sebenarnya sangat mudah untuk dinalar, karena PM pasti diterjunkan pada lingkungan kerja yang masih jauh dari ideal. Kalau sudah ideal, lantas buat apa mereka di sana?

Tapi justru, itulah pertanyaannya. Buat apa PM di sana? Ada yang menganggap mereka ada untuk mengubah perilaku. Ada yang cukup puas dengan memposisikan diri sebagai teladan. Namun ada pula yang berusaha menjadi Messiah dengan 'menyulap' segalanya menjadi lebih baik dalam kurun waktu setahun. Macam-macam, namun sebetulnya intinya satu: membuat perubahan positif. Maka tidak heran apabila panggulan tersebut akhirnya justru memberatkan dan menimbulkan gesekan dengan rekan kerjanya di sekolah, karena seakan-akan hanya PM yang berjalan dengan panggulan sementara guru yang lain dapat ber-lenggang kangkung dengan ringannya.

Untungnya, para PM memiliki mantra yang—walaupun tidak diajarkan saat pelatihan—ampuh saat mereka terkadang terseok-seok dengan panggulannya: ‘ah hanya setahun’ atau ‘ah tinggal … bulan lagi’. Namun mantra itu dijamin tidak akan mempan digunakan oleh guru lain, sebanyak apa pun mereka merapalkannya. Para guru menjalani apa yang mungkin dianggap oleh PM sebagai salib panggulan, sebagai keseharian mereka. Seumur hidup. Menghadapi murid blingsatan, menghadapi ruang kelas yang jauh dari layak, melewati rute sekolah yang lebih mirip rute petualangan Indiana Jones—tanpa batas waktu, sampai Negara memberikan ucapan terima kasih atas pengabdian mereka dengan dana pensiun. Maka tidak heran apabila mereka merasa sedikit enggan saat tiba-tiba ada seorang anak bau kencur, yang notabene bukan dari jalur keguruan, menunjukkan ‘seharusnya begini, seharusnya begitu’. Apalagi yang mereka lakukan hanyalah setahun, lalu kembali ke kehidupan normal mereka masing-masing.

Namun apa betul para guru tersebut tidak memanggul apa pun? Jangan-jangan saat baru memulai perjalanan, mereka pun juga memanggul salib yang sama. Seharusnya pendidikan begini, seharusnya mendidik begitu. Salib yang—seiring dengan banyaknya langkah yang mereka tempuh dan terjalnya jalan yang mereka lalui—akhirnya bertransformasi semakin mengecil secara alami, sampai saking kecilnya tak pantas lagi untuk dipanggul. Salib itu masih ada sebagai pengingat; entah dikalungkan, disimpan atau pun dipajang. Sebagai pengingat segala tujuan awal saat mereka memilih jalan ini sebagai jalan hidup, karena apabila terus-menerus dipanggul, mungkin justru akan memberatkan dan menganggu perjalanan mereka. Tapi terang saja mereka sering lupa, wong salib itu hanya dijadikan sebagai pengingat, bukan tanggung jawab. Entahlah. Pada akhirnya Yang Maha pun membebaskan kita untuk mengelola salib kita masing-masing karena yang pasti, bukankah makna dari salib adalah berat namun tidak memberatkan?

Selamat merayakan Hari Kelahiran dan setiap Momen Kehadiran-Nya, Dia yang telah memanggul salib untuk kita semua

Tanjung Slamet, 14 Desember 2014


Cerita Lainnya

Lihat Semua