Sebatang Lilin, Sepotong Kertas, dan Sebuah Keputusan
Bunga Ramadani 2 Oktober 2013Sabtu, 28 September 2013. 08.00 a.m.
Saya bergegas menapaki tangga demi tangga menuju ruang kerja Bupati Maluku Tenggara Barat (MTB). Tadi malam di kediaman, beliau berpesan agar saya datang awal untuk mengurus beberapa kesiapan PORSENI Kecamatan Selaru. Selaru adalah nama pulau paling selatan di Kabupaten MTB, sekaligus pulau di mana saya bertugas. Biasanya, koordinasi dengan Bupati selalu saya lakukan bersama dengan 6 orang Pengajar Muda (PM) MTB lainnya. Tapi kali ini saya sendiri saja. Saya tahu, di saat yang sama, 6 orang rekan seperjuangan saya pun tengah melakukan apa yang harus mereka kerjakan di desa masing-masing.
Bekerja dalam tim, ataupun bekerja sendiri, tentu memiliki tantangan masing-masing. Pengalaman 3 kali berbivak solo saat pelatihan fisik di camp Pengajar Muda bersama Wanadri, ternyata memang sangat berguna. Apalagi pengalaman pertama ketika kami, 74 Pengajar Muda VI harus mendirikan bivak sendiri, dan tidur di sana seorang diri.
Sebelumnya saya hanyalah mahasiswa yang gemar menulis dan berdiskusi. Singkat kata, saya selalu berkutat dalam zona nyaman saya. Tapi kali ini, saya harus mencari sendiri pasak-pasak untuk bivak solo, serta tidak lupa membawa parang untuk membabat habis tanaman dan rerumputan yang membuat kulit gatal. Senja itu juga saya memastikan bahwa bivak sudah berdiri dengan baik. Karena akan menjadi cukup heboh kalau-kalau sewaktu saya tidur, bivak roboh dengan indahnya.
Malam itu hening. Kami dilarang keras berkomunikasi satu dengan yang lain, meskipun hanya beberapa langkah dari bivak saya, ada Intan dan Kahfi yang juga tengah menikmati ‘istana mereka yang sederhana’. Di tengah minimnya pencahayaan malam itu, di antara suara-suara penghuni hutan yang bersahutan dengan merdunya, saya mulai memikirkan tentang keputusan ini. Keputusan untuk menjadi Pengajar Muda. Saya hanya memiliki sebatang lilin dan sepotong kertas. Segera saya ambil korek api yang sudah sedikit basah, menyalakan lilin, lalu menancapkannya di tanah yang dingin. Saya mulai berkontemplasi dan menuliskan apa yang ada di pikiran saya. Menulis di bawah penerangan lilin, dengan tangan yang mengigil kedinginan, sambil tetap waspada jikalau ada ular mendekat, sungguh pengalaman yang berarti dalam hidup.
Ternyata untuk menuliskan hal-hal yang sederhana pun tidak mudah. Baru beberapa kalimat di dapat, ulat bulu yang cukup besar sudah menempel di kertas. Saya menyingkirkannya sambil tertawa saja. Karena akan tidak lucu kalau saya harus meniup peluit keras-keras, hingga kakak-kakak Wanadri menghampiri bivak saya hanya karena seekor ulat.
---
Oktober atau mungkin November tahun lalu, kepada keluarga dan orang-orang terdekat, saya mengutarakan keinginan saya untuk menjadi Pengajar Muda. Saya dibesarkan di lingkungan keluarga yang memiliki perhatian besar terhadap dunia pendidikan. Sejak kecil, kedua orangtua saya selalu memastikan bahwa saya mendapatkan pendidikan yang baik, dan segera menguasai berbagai macam hal, melebihi teman-teman saya yang lain. Jiwa kompetisi saya dibangun sedari kecil. Itulah yang memupuk rasa percaya diri saya hingga saat ini. Saya bersyukur sekali memiliki orangtua yang sangat peduli akan potensi-potensi yang ada dalam diri saya.
Ketika saya duduk di semester 5 kuliah, Ibu saya, yang notabene sangat rajin membaca surat kabar, bercerita kepada saya mengenai aktivitas Pengajar Muda angkatan I di Paser. Beliau terlihat begitu kagum dengan anak-anak muda ini, yang mau menyumbang 1 tahun dari masa mudanya untuk dunia pendidikan. Sempat terlintas dalam pikiran saya : “Okay. Someday I’ll be one of them”.
Tekad untuk menjadi Pengajar Muda semakin saya bulatkan ketika Agustus 2012, saya memperoleh gelar sarjana ilmu politik dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM.
Menjadi guru SD ? Di daerah terpencil ? Selama setahun ? Why do you wanna take that bumpy road ? Pertanyaan-pertanyaan ini cukup sering dilontarkan oleh teman-teman saya saat itu. Pilihan ini mungkin bukan hal yang populis, mengingat rekan-rekan saya sesama alumni HI UGM banyak yang meniti karir di perusahaan multinasional, kementerian luar negeri, ataupun sektor-sektor lain yang berhubungan dengan International Affairs.
“No !”,begitulah respon Ibu saya (yang saya kira akan cukup suportif) ketika saya mengatakan bahwa saya akan mendaftar sebagai Pengajar Muda angkatan VI. Sementara Ayah saya melempar pertanyaan skeptis, “Mengajar setahun aja ? Ngapain ?”.
Tapi Desember itu, diam-diam saya tetap mengirimkan esai-esai Pengajar Muda VI. Bulan itu juga, saya mendapat pengumuman bahwa saya lolos ke tahap Direct Assessment. Seleksi tahap ini sangat menyenangkan. Rasanya bahagia bertemu dengan teman-teman yang memiliki keinginan yang sama untuk ikut turun tangan melunasi salah satu janji kemerdekaan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Setelah melalui sesi-sesi Presentasi Diri, Focus Group Discussion, Interview, Psikotest, serta Simulasi Mengajar, saya hanya berharap mendapat hasil yang terbaik. Saya sudah berusaha. Tuhan lebih tahu apa yang paling tepat untuk saya.
Suatu malam di bulan Februari, saya mendapat e-mail dari Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar, yang mengatakan kalau saya lolos ke tahap Medical Check-Up. Ini adalah tahapan terakhir. Jika tahapan ini dapat dilalui dengan baik, saya dinyatakan lolos sebagai Calon Pengajar Muda (CPM) VI.
Pagi hari ketika MCU adalah pagi yang hectic. Saya berangkat dari Depok jam setengah 6 pagi, menuju lokasi MCU di Kartika Chandra, Kuningan. Menembus kemacetan Jakarta tidak menjadikan semangat saya berkurang. Tahapan MCU cukup banyak tapi sepertinya semua dapat dilalui dengan baik.
Awal Maret, saya dinyatakan lolos menjadi CPM, bersama 73 pemuda Indonesia lainnya. Butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk meyakinkan kedua orangtua saya di Solo, bahwa keputusan untuk menjadi Pengajar Muda, dan mengabdikan diri selama 1 tahun di daerah tidak akan menjadi sebuah kesia-siaan.
Tentu saja di saat yang sama saya memiliki pilihan lain. Karir yang mapan, ataupun beasiswa S2. Tapi semua itu saya tunda untuk ‘satu tahun yang mengajari saya arti kesederhanaan, ‘satu tahun yang menempa diri saya untuk lebih memahami realita di akar rumput’, dan ‘satu tahun yang membentuk karakter kepimimpinan dalam diri saya’.
Camp CPM VI dimulai pada 22 April. Lima hari sebelumnya saya baru resign dari pekerjaan di ibukota. Dua hari saya kembali ke Solo untuk menyiapkan segala perlengkapan selama setahun (Ya, selama setahun !), serta tidak lupa meminta doa restu dari Bapak dan Ibu. Bapak bertanya, “Penempatannya di mana saja ya ?”. Saya jawab, “Ada di sepuluh kabupaten Bapak. Paling dekat Lebak, paling jauh Fak-Fak”. Bapak menyahut, “Oh, semoga dapat di Lebak ya”.
Di minggu ke-3 camp, pengumuman penempatan yang ditunggu-tunggu pun tiba. Bapak dan Ibu saya jelas cukup kaget ketika penempatan saya adalah Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
“Apa nggak bisa ditukar penempatannya ?”, “Masih bisa mundur nggak ?”, “Maluku Tenggara Barat itu di mana ya ?”. Begitu kira-kira respon Bapak dan Ibu di rumah.
Hingga hari ketika deployment tiba, Bapak dan Ibu jelas masih menyimpan berbagai kecemasan. Tapi pagi itu tidak lama setelah pesawat kecil yang membawa saya beserta 6 PM MTB lainnya mendarat di Saumlaki, ibukota kabupaten MTB, sebuah pesan masuk. “Bapak dan Ibu bangga padamu, Nak. Selamat bertugas. Murid-muridmu di sana sudah menunggu.”
Sambil mengangkut dua carrier besar berukuran 60 liter dan 80 liter yang beratnya mencapai 25 kg, saya pun tersenyum lega.
Bagi saya, menjadi Pengajar Muda adalah sebuah pilihan. Karena pada dasarnya saya percaya bahwa mendukung dan berbuat sesuatu untuk pendidikan di negeri ini, dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Berhenti mengutuki kegelapan, ambil lilin kecilmu untuk menerangi, karena cahaya adalah sebuah harapan.
Berhenti mencerca permasalahan pendidikan yang ada. Lakukan sesuatu sekarang juga, sebanyak yang bisa kamu lakukan. Secara konstitusional, pendidikan memang menjadi tanggungjawab negara. Tapi mendidik, adalah tugas setiap orang yang sudah terdidik.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda