Pompa Semangat dari Ibu Camat

Bunga Ramadani 6 April 2014

“Beta mau turun ke desa-desa di belakang, sementara di katong pung tnyafar-tnyafar sa su talalu banyak anak putus sekolah. Beta seng bisa diam begitu sa”.

(Terj. Saya mau turun ke desa-desa di belakang, sementara di kebun-kebun kita saja sudah terlalu banyak anak putus sekolah. Saya tidak bisa diam begitu saja)

(Nita Lessy, 2014)

Namanya Nita Lessy, atau akrab disapa Usi Nita. Beberapa mengenalnya sebagai seorang guru TK di Saumlaki. Beberapa mengenalnya sebagai seorang penggerak PKK di Maluku Tenggara Barat (MTB). Namun, sejak 3 bulan terakhir, predikat sebagai Ibu Camat Selaru disandangnya.

Ibarat rumbia yang biasa dipakai penduduk setempat sebagai atap di rumah-rumah kebun, keteduhan adalah hal yang segera saja aku dapat ketika bertemu perempuan muda energik ini. “Hidup-hidup”, begitulah komentar positif orang-orang sekitar tentang ibu Camat, yang memang dikenal sebagai salah satu perempuan muda berpengaruh di MTB.

Hingga tulisan ini diunggah ke blog, pertemuanku dengan Ibu Camat masih dapat dihitung dengan jari. Ibu Camat yang kini tengah menyelesaikan kuliahnya di Saumlaki, rela bolak-balik Saumlaki-Adaut (ibukota kecamatan Selaru), meskipun naik speed dan menantang laut yang bergelombang adalah hal yang sebelumnya tidak biasa ia lakoni.

“Ibu Bunga, katong musti pi liat anak-anak di tnyafar dulu kah, beta paling prihatin sekali deng dong pung keadaan di sana.” (“Ibu Bunga, kita harus pergi melihat anak-anak di tnyafar dulu kah, saya paling prihatin dengan keadaan mereka di sana”.)

Kalimat yang keluar dari Ibu Camat di bulan Januari itu, adalah salah satu ajakan sekaligus bentuk perhatian paling tulus yang pernah aku dengar dari seorang penggerak lokal. Sebelumnya, aku memang sudah terbiasa turun ke tnyafar-tnyafar (baca : kebun-kebun khas masyarakat Adaut) dengan teman-teman dari PNPM-GSC. Kami tengah merancang sebuah program calistung bagi anak-anak putus sekolah di Tnyafar Adaut Tubun. Tnyafar yang ditempuh dengan jarak dari desa 2 jam berjalan kaki susur pantai-hutan-rawa ini, adalah tnyafar yang paling rawan putus sekolah, di antara 24 tnyafar yang ada di Adaut.

Jika kalian menyimak tulisan-tulisanku yang sebelumnya, mungkin sedikit banyak aku sudah bercerita mengenai kondisi desaku. Tim “Indonesiaku” dari Trans7 pun pernah datang ke desaku untuk meliput mengenai fenomena masyarakat Adaut yang senang tinggal di tnyafar selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Kondisi yang tidak menguntungkan bagi anak-anak Adaut.

Pagi ini di awal bulan April, aku menjumpai Ibu Camat di rumah dinasnya dengan kondisi penuh harapan. Kami bersama beberapa rekan dari pemerintah kecamatan Selaru, maupun pemerintah desa Adaut, berencana untuk turun ke salah satu tnyafar. Torun Tubun Silai (TTS), itulah nama tnyafar ini. Dengan speed kecamatan, pagi itu kami menjumpai anak-anak TTS. Di tnyafar inilah, keluarga dari ibu Kades Adaut berkebun. Begitu kaki kami menyentuh pasir TTS yang begitu putih dan halus, segera kami melakukan ‘adat’ bersama dengan Kepala Tnyafar dan Tuan Tanah di sana.

Ibu Camat yang sedari tadi terlihat begitu bersemangat, segera saja melakukan observasi di sekitar. Berbeda dengan tnyafar yang sebelumnya pernah kami kunjungi, TTS tergolong ‘aman’. Hari itu kami hanya menjumpai sekitar 5-6 anak usia playgroup dan TK . Ada juga satu anak difabel usia SD, yang memang pendidikannya belum terakomodasi dengan baik, karena belum adanya lembaga pendidikan di MTB yang bisa menampung siswa berkebutuhan khusus.

“Pompa...pompa...pompa sepeda....”, tidak lama terdengar suara renyah Ibu Camat yang tengah mengajarkan sebuah lagu kepada anak-anak TTS. Ada pemandangan haru bercampur salut yang aku temukan di pagi itu. Matahari bersinar dengan terik, menyapu seluruh TTS dengan panas menyengat, dan memantulkan kilau biru kristal di air laut yang begitu jernih. Damn, di bulan ke-10 kehadiranku di desa Adaut, aku tersadar bahwa pada akhirnya aku begitu mencintai tanah ini.

Bagi anak-anak TTS, kehadiran ibu Camat mungkin seperti seorang malaikat. Bright and Beautiful. Bagiku, kehadiran ibu Camat ibarat pompa semangat. Paling tidak aku tahu, akan selalu ada yang bergerak dan menggerakkan dengan hati. Menjumpai anak-anak negeri ini, terduduk belajar di sana tanpa alas kaki.


Cerita Lainnya

Lihat Semua