info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Good Morning, My Teacher

Bunga Ramadani 5 September 2013

 

Mataku masih terkerjap melawan rasa kantuk dan dinginnya udara Adaut pagi ini. Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 6 pagi, namun pekat masih menyelimuti seluruh desa. Awan hitam yang menggantung tebal di langit, ditambah angin yang tiada hentinya merangsak dengan kencang, membuat Adaut seolah masih larut dalam tidur lelapnya. Matahari di ufuk timur pun belum cukup berani untuk mengusik desa tertua di Pulau Selaru ini. Aku terdiam cukup lama, mencoba merefleksikan diri sejenak.

Setelah melewati kurang lebih satu bulan masa transisi dan adaptasi, baik di desa maupun di ibukota kabupaten Maluku Tenggara Barat, inilah saatnya aku menjalani hari pertama di sekolah. SD Inpres 2 Adaut menjadi tempatku mengajar selama satu tahun ke depan. Perlu diketahui, bahwa desa Adaut yang luar biasa luas ini, (there are about 1157 families here, imagine how big this village is) – memiliki empat SD ; SDN 1 Adaut, SDN 2 Adaut, SD Inpres 1 Adaut, dan SD Inpres 2 Adaut. Keempatnya terletak di satu kompleks, berdekatan dengan TK, SMAN Selaru, serta Kantor Polsek Selaru. Untuk menjangkau kompleks sekolah, aku membutuhkan waktu kurang lebih 15 hingga 20 menit berjalan kaki santai. Tenang, jalanan desa di Adaut sudah cukup baik, bahkan baru-baru ini sedang dibangun jalan lingkar (ringroad) mengelilingi desa. Hahaha. It’s clear enough that I do not find any difficulty like bumpy roads, but I won’t tell about my effort to get phone signal here :p).

Setelah bersiap diri dalam waktu yang relatif cepat, makan kue dan minum teh gula (orang-orang di Maluku biasa sarapan dengan homemade bakery dan teh hangat), aku beringsut menuju sekolah. Lower your expectations, Bunga. Itulah pesan yang aku simpan dalam-dalam. Menuju sekolah, aku mendapati jalanan desa masih sepi. Anak-anak di desa melakukan aktivitas pagi dengan santai. Ada yang masih duduk-duduk di depan rumah, menimba air, berjualan kue, bahkan bermain dengan ayam. Anak-anak ini tidak peduli atau bahkan tidak tau bahwa jam sudah bergulir menunjukkan waktu masuk sekolah.

Sesampainya di sekolah, aku mendapati bahwa aku adalah orang kedua yang datang paling pagi di hari itu, setelah Bapak M.Wangab, penjaga sekolah. Pintu gerbang saja yang terbuka lebar, namun tidak terlihat tanda-tanda kehidupan. Bahkan, pintu kantor guru masih terkunci dengan rapat. Tidak terlihat satu anakpun berseragam sekolah. Okay, welcome to reality !

Akhirnya aku putuskan untuk berkeliling saja, mengambil beberapa gambar, lalu duduk-duduk di tepi lapangan. Tidak lama, penjaga sekolah SD Inpres 1 menyapaku. Berselang berapa menit, tampak satu orang siswi dengan memakai seragam sekolah rapi – lengkap dengan topi dan dasi . Aku menyapa siswi tersebut dengan lembut. Namanya Martha Ngilamele, biasa dipanggil Ata. Ata terlihat masih malu-malu. Tak lama, beberapa anak mulai berdatangan. Mereka menyapa dan tersenyum padaku dengan hangat. I think it would be a nice day. So far, hehe.

Pukul 7 lewat 30 menit, sekolah masih terlihat sepi. Hanya beberapa gelintir anak saja yang terlihat. Pagi itu awan hitam menggelayuti langit Adaut. Selagi aku masih berusaha mengenal siswa-siswaku, dan mencoba memahami bahasa daerah yang mereka gunakan sehari-hari “.....breeees”, hujan deras disertai angin kencang pun turun tanpa permisi.

Aku memutuskan untuk berteduh di depan kantor guru. Tak lama, seorang siswi berusia kira-kira 7 tahun, dengan bando dan jam tangan berwarna pink berlari ke arahku, “Good morning my teacher, Bunga”. Hey....is that true ? Apa aku tidak salah dengar ? Ada rasa haru, takjub, dan kaget ketika mendengar siswi tersebut menyapaku dalam bahasa Inggris. Setengah belum percaya, aku menyapanya kembali “good morning my student, what is your name ?”. Sepersekian detik kalimat dalam bahasa Inggris meluncur kembali dengan lancar dari mulut mungilnya, “My name is Vita”. Masih dalam suasana hati terkaget-kaget dan sedikit tertampar, aku bertanya lagi, “Where do you live, Vita ?”. “I live in Adaut, Mom”.

Oh well, that’s a very nice welcoming for me, Vita. Dari kejauhan tampak seorang bapak melambaikan tangannya ke arahku dan Vita, beliau ternyata ayah dari Vita. Menjemput rasa penasaran, aku bertanya kepada si bapak, siapa yang selama ini telah mengajarkan Vita berbahasa Inggris. Aku curiga, Vita telah banyak belajar bahasa Inggris dari pengajar-pengajar muda sebelumnya. Tapi kecurigaanku tidak terbukti setelah si bapak mengatakan bahwa dia sendiri yang mengajarkan Vita berbahasa Inggris. Perlu diketahui, di Pulau Selaru sendiri, minat masyarakat untuk belajar bahasa Inggris sangat tinggi. Terlebih, salah satu perusahaan tambang asing (INPEX) memang beroperasi di wilayah ini. Jika diproyeksikan dalam tahun-tahun ke depan, akan sangat banyak ekspatriat yang masuk ke pulau ini. Itulah yang menjadi alasan utama, mengapa sebagian masyarakat di desa Adaut begitu excited belajar bahasa Inggris. Terlepas dari stigma ‘ignorant’ yang melekat pada masyarakat Adaut, tetap saja di desa ini aku menemukan pahlawan-pahlawan lokal yang dengan penuh kesadaran mau membimbing putra-putri mereka agar menjadi anak yang ‘lebih’. Meskipun salah satu pendorongnya adalah kehadiran perusahaan asing di pulau ini.

Mengenal lebih dekat seorang anak Adaut bernama Vita, aku jadi teringat pesan Ibu Weilin Han ketika masa pelatihan intensif Pengajar Muda VI. Bahwa nanti ketika berada di daerah penugasan, di pulau-pulau terluar yang jauh dari pusat-pusat kemajuan pendidikan, bukan tidak mungkin apabila kami, pengajar muda, akan menemukan mutiara-mutiara terpendam. Anak-anak dengan bakat, potensi, dan kecerdasan yang luar biasa.

Belum genap satu hari mengajar, aku sudah dibuat takjub dengan anak-anak di Pulau Selaru ini. Di tengah pergelutanku untuk segera beradaptasi dengan semua hal-hal baru yang aku hadapi, aku semakin tidak sabar untuk menemukan anak-anak juara lainnya.

 “One, two, three, four......one hundred”,dengan tanpa cela Vita berhitung hingga seratus. Pagi itu, sungguh aku merasa beruntung. Meskipun aku harus memukul lonceng sekolah sendirian di hari pertamaku mengajar. Meskipun guru-guru tidak menampakkan batang hidungnya sekalipun rumah mereka hanya berjarak beberapa jengkal saja dari sekolah, tapi setidaknya aku menemukan anak-anak yang menakjubkan di sini. Selamat menikmati petualangan-petualangan kecil di Pulau Selaru Ibu Bunga, selamat belajar bersama anak-anak !

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua