Warna Paling Indah

Beryl Masdiary 25 Juni 2011

Siapa yang tak ingin melihat keindahan Lombok? Saya yakin semua orang ingin melihat ketenangan lautnya, pasir putihnya, dan kulinernya yang sanggup membuat orang menggagalkan tekad diet macam apapun. It’s been a long time i have intention to visit this amazing island. Rupanya, dengan kasih sayangnya, Allah mewujudkan salah satu mimpi saya- mengunjungi pulau sumbawa. Alhamdulillah, saya mendapat kehormatan bergabung sebagai pengajar muda dan akan bermukim di Bima, NTB, untuk satu tahun. Tepatnya, ke kecamatan yang ada di  gunung yang gagah, yang sempat menjadi primadona negeri ini, Tambora. Perjalanan menuju kesana? Bersiaplah terhenyak. Saya yakin teman-teman PM juga merasakan sensasi yang luar biasa menuju penempatannya masing-masing. Melihat banyaknya perbekalan kami, ibu Kepsek mengusulkan kami naik Truk (baca: trek). Beliau meyakinkan kami bahwa perjalanan hanya berkisar 5 jam. Jadi kami senang mengetahui bahwa kami akan sampai sekitar pukul 3 sore. Siap dengan vest hitam kebanggan dan topi a ala pantai, kami pun menyusuri laut flores dengan semangat dan rasa ingin tahu yang luar biasa tentang Tambora. Awalnya private hanya saya, shally, bagus, habib dan mas susilo, serta dua orang dari Dikpora. Mendadak di desa Bora, truk berbalik arah dan mengangkut penumpang serta hasil pertanian. Wow! Kami pun harus berbagi kursi kayu dengan serombongan penumpang dan melanjutkan perjalanan, melewati gelombang darat dan jalanan putus dengan pemandangan sabana serta padang ilalang. Seorang nenek disamping tempat duduk berpegangan padaku sambil berbicara bahasa Bima. Suasana alam sunyi; sapi, monyet dan anjing melintasi kami, menyambut kami menuju habitat mereka. Agak kontras memang dengan suara speaker cempreng yang tak henti memutar lagu india dan dangdut dalam bahasa Bima. Kami lalu ngobrol dengan penumpang, yang membuktikan kepada kami kata-kata orang Bima; jika bicara dalam bahasa Indonesia, maka akan lebih dihargai. Kami tak bermaksud demikian, karena di hari ketiga di Bima, kami baru tahu Bune Haba (apa kabar), wati wara (tidak ada), ngaha (makan), lau (pergi), dan caru poda (enak sekali) :D Gelap, hanya diterangi lampu jauh truk, kami memasuki satu dusun yang bernama Sori Ketupa. Rumah panggung berderet rapi, dengan pagar bambu dan anak-anak berlarian dan orang dewasa menatap truk di jalanan tanah berbatu. Saya ingat betul sensasi itu, rasanya seperti terlempar di tahun 50-an, entah dimana. Kami melewati sungai kecil dan akhirnya sampai ke dusun kering dengan air mengalir deras, tempat Shally selama setahun, Dusun Oi Marai. Tak jauh dari tempat shally menginap malam itu, banyak anak kecil berkumpul di satu rumah kayu yang agak besar, dengan televisi di tengah-tengahnya, menonton sinetron, entah ceritanya apa. Di atas, langit penuh bintang dan bulannya bulat, besar sekali. Kalau di Jakarta, maka pemandangan sebaliknya lah yang akan terlihat. Kapan lagi bisa melihat langit sebegitu romantisnya? Saya menatap ke depan, mendengar suara jangkrik, dan melihat kunang-kunang. Saya sudah berjalan sejauh ini. Saya sudah melakukan suatu lompatan dalam keseharian saya. Maka, saya bertekad akan mewarnai tahun ini dengan warna-warna paling terang dan paling indah dari yang pernah ada. Tak terasa sudah hampir 11 jam di atas truk, sampai akhirnya kami sampai di rumah kepala UPTD dan disambut seluruh kepala sekolah tempat kami bertugas, yang ternyata menunggu kami dari siang di arah selatan, sedang kami lewat utara. Mereka menyambut kami dengan sangat ramah, makan malam kami pun enak sekali, dan saya langsung tertidur pulas, di malam pertama di kaki gunung yang pernah menjadi puncak tertinggi di Nusa Tenggara. Satu kalimat untuk hari pertamaku di Tambora adalah, langit yang kulihat belum pernah seindah ini....


Cerita Lainnya

Lihat Semua