Aku Belajar, Aku Terinspirasi

Bella Moulina 6 Desember 2013

                “Bella bagaikan matahari terbit di timur dirimu, Nak. Memberikan pencerahan, kehangatan, dan menguatkan langkahmu, sang pencerah anak bangsa. Semoga niat tulusmu mengabdikan diri di negeri orang menjadi amal yang tak putus hingga fil yaumil akhir. Berkaryalah selagi kamu masih muda.”

                Tebak, siapa yang memberikan sms tersebut?

                Orangtua saya? Bukan. J

Calon suami? Bukan :p

 

Adalah 25 November, hari dimana para guru merayakan ulang tahun. Ya Hari Guru Nasional. Tepat dimana saya menjadi guru 1 tahun di kelas 3 SD Inpres Onatali, Rote Tengah, saat itu pula saya mengirimkan pesan kepada guru SD saya di Nipah Panjang, Tanjabtim, Jambi, Ibu Pane. Wanita asli Medan itulah yang mengirimkan sms balasan di atas. Menjadi penyemangat? Tentu saja. Sama seperti saya sekarang, yang menyemangati anak-anak saya untuk lebih baik di masa depan.

Menjadi guru adalah pilihan saya sejak SD. Bisa dibilang itu adalah cita-cita masa depan saya, selain menjadi penyanyi (yang tidak kesampaian, hanya sebatas untuk dinikmati diri sendiri). Menjadi guru pun saya sudah mengetahui resikonya. Pun juga sudah bisa membayangkan indahnya menjadi guru. Kini hampir 1 semester saya melewati pekerjaan ini di daerah yang sama sekali belum terpikirkan akan kesini. Kurun waktu 1 semester itu pula banyak membentuk kepribadian saya. Banyak juga kejadian yang tak terlupakan bersama anak-anak saya. Saya merangkumnya dalam beberapa kejadian akhir-akhir ini.

 

Winda, ini ratusan, puluhan, atau satuan?

                Sabar adalah kunci utama saya mengajar anak-anak. Sabar juga lah yang membuat saya semakin yakin bahwa usaha ini tidak akan sia-sia. Ketika itu, saya pernah diuji kesabarannya. Saya menanyakan kepada Winda, salah satu murid saya di kelas 3, tentang pelajaran Matematika. Waktu itu pembelajaran nilai tempat pada bilangan. Saya memberikan angka yang ditulis di papan tulis, kemudian meminta kepada Winda untuk menyebutkan angka yang saya tunjuk apakah termasuk ratusan, puluhan, atau satuan?

                Berkali-kali saya menjelaskan bahwa bilangan ini terdiri dari ribuan, ratusan, puluhan, dan satuan. Meski begitu, memang tidak semua anak paham dengan cepat apa yang saja ajarkan. Lalu, saya mencoba mengetes beberapa siswa, salah satunya Winda. Saya meminta ia untuk menyebutkan angka. Sedihnya, berkali-kali saya menjelaskan, berkali-kali pula Winda tidak mampu menjawab dengan baik. Suara keras saya tidak dapat dihindari, saya bingung. Saya menunggu Winda menjawab hingga tepat, namun waktu bermenit-menit itu seolah membuat saya yakin bahwa: “Sabar Bella, Winda sedang berpikir, jangan dipaksa, kemampuan anak-anak itu tidak sama.”

                Entah datangnya dari mana, tiba-tiba Winda menangis. Sontak di titik itu saya merasa bersalah pada diri sendiri. Kenapa saya tidak sabar? Kenapa saya memaksakan hanya kepada dia? Hingga membuatnya mungkin takut kepada saya dan ia jadi minder gara-gara disaksikan oleh teman sekelasnya. Saya belajar bersabar menjadi guru. Benar-benar sabar :’)

Ibu, saya mau ke Jogja, lihat Candi Prambanan!

                Pembelajaran bahasa Indonesia adalah pembelajaran favorit saya, begitu pula anak-anak. Apalagi kalau materi drama, dongeng, atau fabel! Nah! Anak-anak akan semangat mendengarkan luar biasa. Fokus matanya melebihi pembelajaran lain hehe. Apa mungkin mereka jarang melihat dongeng yang memang diperagakan oleh orang dewasa ya? Entahlah. Tapi saya sangat menikmati peran yang saya mainkan sendiri dengan monolog itu. Berusaha ‘gila’ dengan peran yang dimainkan, seolah-olah membawa anak-anak ke dalam cerita yang saya bawakan.

                Hingga suatu hari, saya memperagakan dongeng Candi Prambanan yang megah itu. Saya memerankan Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang sekaligus. Dengan gerakan-gerakan lincah, intonasi suara yang tidak biasa, dan cerita yang jarang mereka dengar, membuat mereka tertarik mendengar dongeng saya yang seadanya itu. Perhatian mereka dua kali lipat naik. Saya pun senang. Disaksikan 28 pasang masa anak-anak, seolah-olah menjadi pemain drama di pentas teater :D

                Di akhir cerita, saya bertanya kepada anak-anak. Dimana letak Candi Prambanan? Beragam jawaban mereka sebutkan, namun belum ada yang menjawab benar. Akhirnya saya berkata: “Candi Prambanan terletak di Jogjakarta. Bosong kalau su pintar, bosong bisa pi Jogjakarta! Keluar dari Rote biar bosong pintar. Mau ko?”

                Lantas suatu hari, ketika saya berjalan-jalan ke Pantai Batu Hun, salah satu siswa saya, Rival, berkata: “Ibu, saya mau ke Jogjakarta. Mau pi liat Candi Roro Jonggrang, eh Candi Prambanan.” Tidak ada yang lebih bahagia ketika ada anak yang terinspirasi untuk keluar Rote akibat apa yang telah saya lakukan kepada mereka :’)

 

Bekerja bakti dengan sendirinya

                Entah karena belum mengajar di sekolah dasar negeri di Jambi atau memang saya yang kurang peka, saya belum pernah melihat anak-anak di Jambi mengepel lantai kelas atau halaman sekolah, mengangkat sampah dedaunan di halaman sekolah, mengambil air di sumur atau menghidupkan keran air, menyapu kelas, menyiram bunga, dan membersihkan kelas. Di Rote, anak-anak saya dengan sendirinya terdorong melakukan kegiatan di atas sebelum masuk ke kelas. Kami para guru hanya memantau, tidak perlu berteriak keras untuk meminta mereka bekerja bakti.

                Ya, pelajaran kerja bakti masuk ke dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Pelajaran ini menurut saya bukan hanya sebatas nilai yang tertera di atas kertas, namun juga diaplikasikan di kehidupan nyata. Materi kerja sama di kelas 3 menurut saya telah diaplikasikan dengan baik oleh mereka. Saya terharu melihat mereka semangat bekerja bakti bersama-sama pada pagi hari. Kadang-kadang saya mengecek kegiatan mereka itu, dan tidak jarang saya memberikan pujian dan ucapan terima kasih atas kerja keras mereka. :’)

                                                                                                                             

Saya jalan kaki dari rumah, Bu, atau menunggu oto lewat di tepi jalan

                “Pagiku cerahku, matahari bersinar...

                Kugendong tas merahku..di pundak...

                Selamat pagi semua, kunanti dirimu di depan kelasku...

                Menantikan kami...

                Guruku tersayang, guruku tercinta, tanpamu apa jadinya aku...

                Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal...

                Guruku, terima kasihku...

 

                Lagu itu adalah lagu favorit anak-anak saya. Hampir di setiap sebelum memulai pejaran di kelas, saya selalu mengajak mereka bernyanyi dengan diikuti gerakan yang saya buat sendiri. Senang rasanya sebelum memulai pelajaran anak-anak melonggarkan pikiran dan badannya, sebelum fokus mendengarkan pembelajaran.

                Jauh sebelum lagu itu dinyanyikan, saya mendapati beberapa anak-anak yang tinggal di Leli, sekitar 3 orang, yakni Windy, Marta, dan Irfan, berdiri di barisan lain, bukan di barisan kelas 3 mereka. Berbaris dan berdoa adalah aktivitas apel pagi yang anak-anak laksanakan. Saat itu saya menghampiri mereka, bertanya apa yang membuat mereka telat datang ke sekolah?

                “Saya sudah bangun cepat, Ibu, tapi oto tidak ada yang lewat.” Begitu kata mereka.

                “Berapa jauh memangnya rumah kalian dari sekolah?” tanya saya.

                “6 km jaraknya, Bu,” jawab Windy.

                “Lantas pakai apa kalian sekolah kalau tadi tidak dapat tumpangan mobil?” saya bertanya lagi.

                “Jalan kaki, Bu.”

                Glek! Saya teringat masa SMP di Nipah Panjang dimana saya harus berjalan kaki sejauh 2-3 km. Itu saja sudah membuat kaki saya pegalnya minta ampun. Nah ini anak masih kecil, kelas 3 SD, jalan kaki dari rumahnya ke sekolah sampai 6 km! Salut saya, benar-benar salut! Mereka masih kecil, tapi mereka punya semangat bersekolah yang tinggi, meski mereka harus menumpang mobil yang lewat di tepi jalan atau berjalan kaki karena tidak dapat tumpangan. Dalam hati saya berkata, Tuhan pasti memberikan jalan bagi hidupmu, Nak, untuk kamu dapat membahagiakan orangtuamu kelak, lewat pendidikan yang telah kau titi sejak dini.

 

                Terlepas dari tagline Indonesia Mengajar, Setahun Mengajar, Seumur Hidup Menginspirasi, saya malah menyesuaikan dengan diri saya bahwa saya: Setahun Belajar, Seumur Hidup Terinspirasi. Banyak hal dari pekerjaan sebagai guru bagi anak-anak saya yang didapatkan. Pembelajaran bagi hidup yang menjadi kenangan tidak terlupakan, baik senang maupun susah. Sebagai guru justru saya bahagia karena anak-anak saya memiliki beragam karakter, yang membuat saya banyak belajar dan terinspirasi.

                Guru, layaknya mata air yang terus mengalir. Ia tidak akan berhenti mengalirkan ilmu kepada anak-anaknya. Menjadi penyemangat bagi beberapa pasang mata di kelas, menjadi pelaku seni mendidik dan mengajar, dan menjadi pelejit bintang kelas yang akan bersinar di masa depan.

              


Cerita Lainnya

Lihat Semua