Luka Itu
Ayu Dewi 19 Januari 2011
Rabu malam, 8.27 PM, 8 Desember 2010, teras rumah saya di desa Papaloang, Halmahera Selatan. Saya sedang mengajari Fitri, seorang anak kelas 2 SD, membaca. Ia tertatih-tatih meraba huruf-huruf di depannya. 'a-da a-ba a-ba ba-ca...' Sekitar 6 anak lain sedang duduk dan mengantre dengan sabar di belakangnya, untuk nyetor bacaan ataupun untuk mengumpulkan pe-er matematikanya. (Duh, malaikat-malaikat kecilku yang dekil ini kini sudah bisa ngantre!) Dan sekitar 10 lainnya duduk bersimpuh berserakan dalam berbagai posisi menghadapi buku masing-masing. Tiba-tiba ada teriakan dari arah sungai, dan manusia semburat. Udara riuh penuh dengan teriakan ibu-ibu yang memanggil-manggil nama anak mereka dengan panik, dan siapa saja menyeret siapa saja yang mereka kenal yang berada dalam radius seretan untuk masuk ke dalam rumah masing-masing. Anak-anak yang tadinya sedang sibuk berhitung/membaca/menulis berlari meninggalkan begitu saja buku dan pensil mereka sambil berusaha memberi tahu saya sesuatu. Meskipun anak-anak sudah saya biasakan untuk berbicara dalam Bahasa Indonesia dengan saya, tampaknya dalam kepanikan bahasa ibu-lah yang akan muncul. Papa piara (atau bapak angkat saya, dalam bahasa Halmahera) yang sedang menggendong anak terkecilnya, tergopoh menyongsong saya sembari berseru, ‘Ibu masuk! Ibu masuk rumah!’. Ia menyerahkan si kecil Risaldo dalam gendongan pada saya, menyeret si nomor dua Risando masuk, dan mengunci pintu depan. Si nomor satu Rosalia sedang berada di rumah kawannya, dan mama piara sedang berada di desa sebelah. Saya menerima si kecil masih dalam kebingungan, masih berusaha menyerap apa yang telah terjadi dalam beberapa detik terakhir. Papa piara terus menerobos rumah menuju ke dapur dan mengambil sebilah golok. ‘Ada orang dipanah...’. Itu saja yang bisa saya tangkap dari cerocosan papa piara dalam bahasa Halmahera. Lalu ia berdiri mematung di ruang tamu sambil menggenggam goloknya. Si kecil diam saja dalam gendongan saya, tidak biasanya. Saya bisa mendengar degup jantung saya. Lalu sepotong-sepotong saya mengumpulkan petikan desas-desus yang mencekam ini dari Risando dan papa piara. Ada orang warga desa kami yang dipanah oleh orang Kristen, katanya, namun meleset. Entah siapa, tidak terlihat, karena malam pekat. Tidak jelas juga kalau gelap dan tidak tau siapa yang memanah kenapa bisa langsung tau bahwa itu orang Kristen. Tidak jelas juga siapa yang dipanah. 9.05 PM, ruang belakang rumah saya di desa Papaloang, Halmahera Selatan Mama piara datang, membawa makan malam. Kami semua makan bersama, dan ruang itu dipenuhi tawa-tawa resah. Semua cerita tentang kerusuhan Maluku dulu diurai kembali. 9.58 PM, kamar saya di desa Papaloang, Halmahera Selatan Mobil polisi datang, dan tak lama kemudian terdengar suara tembakan. Sekali saja. Lalu senyap. Sampai detik ini saya masih belum tahu apakah peristiwa panah-panahan itu benar-benar terjadi. Tapi, bagaimanapun juga, desa ini –dan banyak desa-desa lain di kepulauan ini– dulu adalah tempat kerusuhan. Anak-anak kecil yang dulu belum lahir ketika terjadi kerusuhan sudah khatam mendengar cerita tentang kepala-kepala dan kaki-kaki yang terpotong berserakan. Orang-orang dewasa masih bisa mengingat jelas bagaimana dulu desa ini menjadi desa mati: wanita dan anak-anak diungsikan ke desa sebelah, sementara laki-laki dewasa bertahan hidup dengan memakan apa saja yang bisa ditemukan di kebun. Yadin, anak SMA yang keturunan Jawa, dulu masih SD ketika ayahnya dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai. Beberapa gereja yang kini sedang dibangun kembali adalah saksi bisu pembakaran massal pada masa itu. Luka itu tidak pernah benar-benar sembuh. Api dalam sekam itu masih ada. Ah, manusia... Makhluk Tuhan. Sama-sama makan nasi dan papeda (makanan khas Maluku yang tampak seperti lem kanji). Semoga bara tidak akan menyala. Semoga hujan kedamaian akan menyirami tanah Maluku dan menyejukkan semuanya. Selamanya. (catatan pagi hari) Hujan turun semalaman. Tampaknya alam ingin membantu menenangkan. Menurut isu, kejadian tadi malam itu hanya isu. Ah... Sahabat-sahabat, hanya karena sebuah slentingan isu yang tak jelas, seluruh kampung bisa panik. Semudah inilah kita tersulut. Sebentar lagi Natal, dan sudah terdengar isu akan ada penyerangan. Duh... Ayo kita bersama-sama membantu mendinginkan kepala siapa saja yang bisa kita sentuh. Ayo kita bantu wujudkan perdamaian di muka bumi. Setidak-tidaknya, di muka bumi yang didiami oleh anak-anak kita.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda