hutang mengajar. tenggat waktu: November 2012.

Ayu Dewi 21 Juni 2011
Saya tahu, mengisi rapor adalah sebuah pekerjaan menakutkan. Hanya dengan coretan di buku sakti itu, kita, para guru, akan menorehkan keputuskan yang akan berdampak pada hidupnya hari ini dan di tahun-tahun seterusnya. Tapi saya tidak pernah membayangkan kejadian yang saya alami pagi ini. Setelah UTS berakhir, saya gelisah. Dari 18 orang siswa di kelas yang saya ampu, ada beberapa orang yang saya prediksi akan tidak naik kelas. Sebenarnya standar kenaikan kelasnya sudah sangat saya turunkan. Karena bila saya benar-benar mengikuti standar yang ditetapkan dalam SKKD, barangkali hanya ada tiga anak yang naik ke kelas 3. Maka ketika pembagian rapor bayangan, saya sudah mewanti-wanti para orang tua yang anaknya saya prediksi akan tidak naik, agar benar-benar mengawasi waktu belajar anak di malam hari. Masa-masa setelah UTS saya pergunakan baik-baik untuk drilling soal-soal untuk persiapan UAS. Saya tidak henti mengajar mulai dari pagi hingga malam hari, untuk memberi berbagai pelajaran tambahan, dan terutama bimbingan belajar untuk anak-anak yang belum memenuhi standar. Hasil ujicoba menunjukkan ada peningkatan. Dari separuh kelas yang saya prediksi tidak naik, kini hanya tinggal segelintir anak. Dan hasil UAS memang tidak meleset jauh dari hasil ujicoba ini. Namun bahkan setelah saya beri remedial habis-habisan (baca: obral nilai), masih tetap ada dua anak yang tidak tertolong. Dua anak ini, setelah setahun di kelas dua, masih belum bisa membaca dan melakukan penjumlahan sederhana seperti 2+3. Maka dengan hati hancur saya menuliskan di rapor bahwa mereka berdua, Fitri dan Ical, harus mengulang di kelas dua. Yang lebih membuat saya perih, kedua anak ini adalah anak baik yang tekun belajar dan rajin datang ke sekolah. Tapi sungguh, saya tidak bisa membayangkan akan betapa tersiksanya mereka di kelas tiga nanti –bila saya ngotot menaikkan mereka dengan kemampuan membaca dan berhitung mereka miliki yang sekarang. Saya sudah membaca banyak diskusi tentang positif negatifnya tidak menaikkan kelas. Ada yang pro, dengan mengatakan bahwa kita harus jujur dan menghargai hasil belajar anak apa adanya. Dengan mentidaknaikkan seorang anak, kita berarti dengan besar hati mengakui kita belum mampu membuat anak itu menuntaskan pelajarannya. Anak-anak yang tidak naik itu adalah hutang kita. Ada pula yang kontra, dengan mengatakan bahwa dengan kondisi sekolah yang tidak kondusif, tidak menaikkan seorang anak sama saja dengan membuang waktunya setahun. Ada pula yang menekankan dampak negatif pada psikis anak. Pagi tadi, dua hari setelah pembagian rapor, kami melakukan apel pagi. Lalu setelah dibubarkan, seperti biasa, anak-anak mengerumuni saya dan menghujani saya dengan pertanyaan-pertanyaan dan cerita-cerita tentang apa saja. Maka saya tidak terlalu memperhatikan ketika ada seorang pengendara sepeda motor yang memasuki pekarangan sekolah. Saya baru sadar ketika saya melihat pengendara motor itu membawa pergi Fitri. Tanpa sepatah kata pun! Padahal saya jelas-jelas sedang berdiri di tengah lapangan. Anak-anak langsung berceloteh: si pengendara motor itu adalah ayahnya Fitri. Dia menyeret Fitri pulang karena marah Fitri tidak naik kelas. Dia sudah pernah mengancam bila Fitri tidak naik kelas maka dia akan mengeluarkan Fitri dari sekolah. Saya bisa merasakan perut saya seperti dihantam godam. Saya belum pernah bertemu ayahnya Fitri sebelumnya, karena selama ini ia bekerja di luar pulau. Biasanya selalu nenek atau ibunya yang datang ke sekolah mengambil rapor atau untuk menghadiri pertemuan orang tua murid. Saya segera bergegas menuju rumah kepala sekolah -yang kebetulan belum berangkat ke sekolah, dan menceritakan hal ini. Dan kami berdua segera melangkah menuju rumah Fitri. Di tengah perjalanan, beberapa anak yang sedari tadi mengikuti langkah tergesa saya, berteriak, ‘Ibu, itu Fitri pe papa!’ sambil menunjuk seorang pengendara motor yang sedang melaju menuju saya. Saya reflek mendorong anak-anak ke tepi jalan, dan saya tidak ingat bagaimana pose saya ketika saya menghadang sepeda motor itu. Yang saya ingat motor itu akhirnya berhenti tepat di depan saya. ‘Bapak, biking apa Bapak ambe Fitri tadi? Kasih masuk lagi ke sekolah, sudah!’, saya berusaha sebisa mungkin agar suara saya tidak terdengar pecah karena dada saya sudah terasa sesak. ‘Tarada, saya ambe saja karena tong ada mau kasih pindah sekolah Fitri’, jawabnya cepat. Dia sedang memboncengkan seseorang. Rupanya ia hendak mengantarkan penumpang ke kota. ‘Eh Bapak tara bisa begitu, kung. Bapak nanti ke sekolah sudah, kita bicara baek-baek’, ujar Kepala Sekolah yang tumben-tumbennya jadi bijaksana. Akhirnya, sekembalinya Pak Masno, ayahnya Fitri, dari mengantarkan penumpang, ia benar-benar mampir di sekolah. Maka, pagi tadi, untuk pertama kalinya, saya berbicara dengan Pak Masno. Dengan masih sedikit diliputi emosi ia bercerita bahwa ia semula heran mengapa Fitri tidak naik kelas. Jelaslah bahwa Pak Masno tidak pernah menerima rapor bayangan yang beberapa minggu sebelumnya diambil oleh Bu Masno. Tadi malam ia menyuruh Fitri mengambil pensil dan meminta Fitri menuliskan beberapa huruf. Kacau balau! Huruf e-nya terbalik, huruf b-nya tampak seperti q, dan lain-lain. Maka pecahlah pertengkaran antara Pak Masno dan Bu Masno. Pak Masno yang memang tidak pernah ada di rumah, menyalahkan Bu Masno karena tidak bisa mengawal pendidikan anak di rumah. Maka ia memutuskan untuk memindahkan Fitri ke SD lain yang lebih jauh, namun ada adiknya yang menjadi guru di sana. Ia melarang Fitri untuk datang ke sekolah saya lagi, sampai proses kepindahan diurus. Namun tadi pagi Fitri meloloskan diri dari rumah dan berlari ke sekolah. Mengetahui Fitri kabur, Pak Masno naik pitam dan datang ke sekolah untuk menyeret Fitri pulang. Saya agak lega mendengar penjelasan ini, satu, karena meskipun tidak naik, Fitri tetap bersemangat pergi ke sekolah; dan dua, Pak Masno bukannya berencana akan mengeluarkan Fitri dari sekolah, hanya memindahkannya ke sekolah lain, dengan harapan Fitri bisa belajar dengan lebih baik. Jadi bukan karena kecewa mengetahui Fitri tidak naik kelas. Setelah cerita ini terurai dari mulut beliau, Pak Masno tampak lebih rileks dan lebih terbuka. Maka mulailah saya perlahan-lahan bercerita bahwa Fitri adalah salah satu anak yang paling rajin. Setiap malam ia selalu datang ke teras rumah saya untuk belajar membaca, namun karena memang daya tangkapnya yang tidak secepat teman-teman sebayanya, ia masih juga belum bisa membaca dengan benar. Jadi, meski selama saya ajar saya melihat perkembangan sangat pesat pada progres membaca Fitri, sayangnya kemampuan membacanya belum cukup mumpuni untuk bisa dinaikkan ke kelas 3. Saya juga meminta Pak Masno mempertimbangkan kembali keputusannya untuk memindahkan sekolah Fitri. Apakah 1) Fitri akan tetap bersemangat pergi belajar di sekolah barunya, 2) guru-guru di sana akan bisa dan punya waktu untuk membimbing Fitri belajar membaca setiap malam, seperti yang selama ini saya lakukan? Beliau menghela nafas, dan tampak mencoba meresapi ucapan saya. Ia akhirnya berjanji besok akan memperbolehkan Fitri kembali ke sekolah sampai libur panjang dimulai. Dan ia juga akan mempertimbangkan kembali keputusannya untuk memindahkan sekolah. Ia juga berkata bahwa pekerjaannya kini tidak lagi mengharuskan ia berada di luar pulau sehingga kami bisa saling berjanji untuk memonitor perkembangan Fitri setiap minggu dan setiap bulannya. Untuk saya, Fitri tidak naik kelas itu adalah hutang saya. Saya toh memang sudah bertekad akan mengajari Fitri sampai ia bisa menguasai semua pelajaran kelas dua. Siang itu saya tercenung lama sekali di depan rumah. Apakah keputusan saya untuk tidak menaikkan Fitri itu memang salah sejak awal? Apakah memang seharusnya semua anak dinaikkan saja demi ‘kebahagiaan’ semua pihak? Namun bukankah itu menyalahi esensi pendidikan itu sendiri yang bertumpu pada pembangunan karakter: kejujuran dan kerja keras. Bila semua anak akan otomatis naik kelas, maka masihkah semua anak akan belajar tekun dan semua guru akan berusaha mengajar sebaik-baiknya? Ah, barangkali bila saya sudah pernah dibekali tentang hal kenaikan kelas ini sejak jauh-jauh hari, saya tidak akan sekalut ini. Semoga Fitri akan diperbolehkan meneruskan bersekolah di SD saya. Yang berarti saya akan diberikan izin untuk membayar hutang saya. Saya punya waktu sampai November 2012. Semoga! catatan: akhirnya, setelah beberapa hari saya datangi terus rumahnya dan ngobrol dengan Pak Masno, akhirnya beliau luluh dan mengizinkan Fitri terus sekolah di SD saya. syukurlah.

Cerita Lainnya

Lihat Semua