Antara rumah dan ketulusan.
Ayu Dewi 2 November 2010
Rumah adalah tempat kita pulang dan beristirahat. Sudut di mana kita merasa nyaman dengan segala isinya. Ruang yang penuh dengan ketidaksempurnaannya yang selalu kita rindukan.
Dalam bahasa kita, Indonesia, rumah adalah rumah. Titik. Namun orang bule memiliki istilah yang berbeda untuk house –bangunan fisik sebuah rumah, dan home –sebuah ruang di mana kita bisa merasa benar-benar pulang.
Satu hal yang tidak bisa lepas dari berpindah house (dan kadang-kadang home)ini adalah packing. Packing untuk saya tidak hanya mengepak barang, tapi selalu terasa seperti mengemasi hidup. Seperti menguliti selapis rasa yang telah kuat melekat pada raga, dan memastikan setiap incinya sudah bersih terkelupas. Seperti memasukkan dengan paksa semua kenangan yang telah tersusun dengan susah payah –dalam sebuah kotak kecil, lalu mengikatnya kuat-kuat agar tak ada yang tercecer dalam perjalanan, dan berharap sesampainya di rumah –house- baru nanti kita akan bisa menemukan sepercik rumah –home- yang menghangatkan.
Dulu –enam tahun lalu- ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Singapore, pada sebuah momen pertukaran pelajar, saya menyimpan baik-baik ez-link –kartu yang berfungsi sebagai tiket untuk naik bis dan kereta- di dompet saya, sambil berkata dengan sungguh-sungguh bahwa suatu hari saya akan kembali dan menggunakan kartu ini lagi. Barangkali istilah the law of attraction yang keren itu ada benarnya. Saya benar-benar kembali. Namun, menemukan rumah –house- di sana jauh lebih mudah daripada menemukan rumah –home. Maka ketika kurang dari dua bulan lalu saya mengemasi barang-barang saya dari kamar kecil yang saya sewa, yang paling berat bukan meninggalkan rumah –house, tapi meninggalkan kawan-kawan yang telah berjasa membuat saya merasa seperti rumah -homey.
Tapi tampaknya saya beruntung. Karena tak lama setelah saya meninggalkan house itu, saya segera menemukan house lain, dan tak lama kemudian saya segera merasa di rumah –home: Pengajar Muda training camp di Ciawi.
Kehidupan komunal yang ada di sini begitu kontras dengan kehidupan individualis saya dulu. Saya yang terbiasa tidur di kamar sendiri dengan kamar mandi yang saya pakai sendiri, tiba-tiba harus berbagi ruang hidup tinggal dengan 50 orang lain.
Komunitas ini adalah gado-gado kelas tinggi: semua ingredients-nya punya sifat dominan dan punya sederet profil mentereng. Setelah sedikit mengenal sahabat-sahabat baru saya, begitu mudah untuk saya membayangkan bahwa mereka inilah pemimpin-pemimpin Indonesia di masa depan dengan world class competence with grassroot understanding. Saya tahu bahwa suatu saat kelak saya bisa membusungkan dada ketika berkisah bahwa saya pernah upacara bendera bareng Menpora, atau pernah makan bakso bareng Mendiknas, atau pernah lari pagi bareng CEO sebuah korporasi. Cita-cita para pendiri Indonesia Mengajar bukanlah mimpi kosong.
People says time flies when you’re having fun. If that’s true, it means we have been having fantastic time. Tak terasa, sampai juga kami pada minggu ke-5, yang berarti ini adalah saatnya kita praktek mengajar kami di SD-SD sekitar asrama tempat kami setelah kami digodog selama 5 minggu. Kami diharapkan sudah bisa bertransformasi dari seorang muda (titik) menjadi seorang pengajar muda. Dan minggu ini adalah pembuktiannya.
Setelah 5 minggu bersama, kami ber-51 sudah menjadi sangat dekat. Kami bisa berbagi hampir segala hal, mulai tawa konyol sampai odol, mulai video lucu sampai sikat sepatu. Namun, berangsur-angsur ada perubahan dalam topik pembicaraan kami. Malam-malam (atau dini hari) menjelang tidur, kami semua adalah semut-semut yang berkerumun dan lebah-lebah yang bergemuruh sibuk mempersiapkan akan menampilkan apa besok di panggung kelas. Teriakan-teriakan, ‘wooooi, ada yang punya ide ngga gimana ngajar struktur pemerintahan yang menarik?’ atau ‘eh, kira-kira gimana ya caranya bikin metode konstruk untuk ngajar volume bangun ruang?’ atau ‘wah, gw kehabisan ide untuk games nih. Apa lagi ya?’ adalah hal biasa. Kami semua adalah seniman yang haus ilmu mengajar dan dahaga ide-ide penguasaan kelas. Tujuan kami jelas: besok pagi tampil dengan sukses di kelas. Indikatornya jelas: materi diserap dengan baik, di kelas yang aktif dan atentif.
Pada hari Senin, hari pertama kami mengajar, saya berdiri agak lama di depan lapangan bendera bundar (yang bundar lapangannya, bukan benderanya) dan tercenung. Saya memperhatikan teman-teman Pengajar Muda yang dengan penuh semangat membawa bahan-bahan ajar di tasnya dan ide-ide ice breaker di kepalanya. Jelas tampak bahwa tadi malam mereka telah berbuat tidak adil pada mata mereka: tidak memberikan cukup waktu tidur. Tapi cercah cahaya semangat pada binar mata mereka tak bisa disembunyikan. Saya menatap satu per satu PM melangkah dengan ceria meninggalkan gerbang dan saling meneriakkan ‘selamat mengajar! Semoga berhasil!’. Sungguh, sebuah pemandangan yang membayangkannya saja membuat saya tergetar lagi. Saya berharap semua guru di dunia sebersemangat mereka ketika berangkat mengajar.
Siang dan sore hari kami adalah waktu-waktu di mana kami, di asrama, sambil tersenyum jumawa, saling memamerkan betapa hebatnya murid kami, membanggakan hasil karya kelas yang tadi kami ajar, atau menunjukkan foto-foto keceriaan anak-anak di SD tempat kami mengajar. Kebanggaan khas orang tua pada anaknya. Kebanggaan seorang guru. Kebanggaan yang tulus.
Oh ya, terkadang bila teman-teman merasa tidak berhasil di kelas yang mereka ajar, entah murid-muridnya sulit memahami penjelasan kami, atau ketika kelas tidak bisa dikendalikan, kami semua mendadak jadi sedih dan murung. Suram. Luar biasa sekali. Padahal ini hanya kelas praktek. Dan anak-anak ini bukanlah siapa-siapa. Ketulusan teman-teman mengabdi benar-benar dari hati. Kemurungan yang tak akan terjadi bila teman-teman PM tidak tulus mengajar dengan hati.
Saya kagum sekali pada teman-teman PM. Dan bangga karena mereka adalah teman-teman saya. Saya lega sekali karena Indonesia masih punya anak-anak muda yang peduli pada negeri sedalam teman-teman PM. Saya jadi yakin bahwa Indonesia masih punya masa depan, dan gambaran masa yang akan datang itu tergambar jelas di wajah-wajah letih yang ceria itu. It’s an absolute privilege untuk bisa mengenal mereka dari dekat dan bisa belajar banyak dari mereka. Every single one of them. I’m just blessed to be here.
Saya pernah mendengar bahwa ketulusan itu menular dan menggerakkan. I couldn’t agree more. Hari ini ada 51 Pengajar Muda yang dengan tulus mengabdi. Semoga semangat ini menular dan menggerakkan lebih banyak anak muda Indonesia untuk berbuat sesuatu untuk bangsa. Apa saja.
Kembali ke house, home, dan packing. Beberapa hari lagi kami harus packing dan meninggalkan house kami ini, yang dalam waktu singkat -dengan segala isinya- sudah menjadi home buat saya. Membungkus semua kebanggaan dan kenangan dalam ransel dan melemparnya ke berbagai penjuru Indonesia.
Selamat berjuang, kawan, sahabat, temanku.
Selamat mengajar. Saya menunggu cerita-cerita seru dari pelosok-pelosok negeri.
Selamat menginspirasi. I have no doubt that this year will be the most inspirative year ever.
Saya bangga pernah kenal dengan kalian semua. Dan saya yakin Ibu Pertiwi pasti bangga punya putra-putri seperti teman-teman.
Ps: suatu siang, sepulang saya mengajar di MI Sirojul Wildan, saya berjalan menyusuri gang kecil bersama dengan Pengajar Muda lain –Dika, Dhani, Ajip, dan Jun. Kami bersenda gurau dan tertawa-tawa kecil mengingat pengalaman hari ini. Tiba-tiba saya tersadar bahwa sebentar lagi saya akan benar-benar mengajar di SD di Halmahera –yang akan sangat menyenangkan, namun saya tidak akan bisa lagi berjalan kaki pulang bersama-sama dan bercengkerama dengan Pengajar Muda lain. Duh! Saya akan sangat sangat sangat merindukan mereka semua!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda