info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mutiara-mutiara yang Terpendam

Astuti Kusumaningrum 25 Februari 2012

“ Ketika kamu mencintai anak-anak dengan sepenuh hati, mereka akan membalas cintamu berkali lipat dalam porsi yang besar dan tak berbatas….. (Astuti, 30 Oktober 2011)

Siang itu, di bawah terik matahari dalam upacara penutupan kegiatan Latihan Tingkat II di lapangan Pasir Kupu-kupu, Cokel, jantungku berdetak keras. Aku tidak tega melihat kekecewaan dan kesedihan di mata mereka lagi ketika mengetahui bahwa mereka tidak menang….

Saat itu, detik-detik pengumuman juara dari lomba-lomba yang diadakan selama PERJUSAMI (Perkemahan Jumat Sabtu Minggu) tingkat Kecamatan Curugbitung mulai tanggal 28-30 Oktober 2011. Satu persatu kegiatan lomba yang telah dilakukan disebutkan. Begitu pula dengan regu-regu yang menjadi pemenang. Ternyata kekhawatiranku tidak terbukti, bahkan sebaliknya! Nama sekolah kami pun disebutkan. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali…. Juara 3 Lomba Baris-berbaris Regu Putra, Juara 1 Lomba Pildacil Putra, Juara 1 Lomba Masak Rimba Putri, Juara 2 MTQ Putra, Karnaval Terbaik per-Pangkalan. Dan yang terbaik, mereka meraih predikat Regu Putra Terbaik II dan Regu Putri Terbaik III!!!! Sorak-sorai mewarnai pengumuman tersebut… Yel ‘good…we are..we are good! 2 Mayak is good!’ terus diteriakkan oleh anak-anak itu. Yang paling membahagiakanku adalah binar-binar yang terlihat di mata mereka….Binar-binar yang menunjukkan bahwa ‘AKU BISA!’

 

10 hari sebelumnya……

Hari itu, datang surat pengumuman untuk mengirimkan regu pramuka untuk Latihan Tingkat (LT) II dalam PERJUSAMI, tingkat Kecamatan Curugbitung, sebagai persiapan LT III menuju Jambore Nasional. Sebuah kabar baik, mengetahui bahwa perkemahan akan dilakukan di kampungku, Kampung Gobang, Desa Mayak. Lokasi kampungku yang terpencil dan jauh dari kecamatan sempat membuat dewan guru berpikir beberapa kali untuk mengajukan murid-murid apabila perkemahan dilakukan di kecamatan. Dengan adanya kabar ini, kami bisa memaksimalkan jumlah murid yang akan dikirimkan.  Maklum ini adalah perhelatan pramuka pertama setelah 2 tahun tanpa kegiatan di kecamatan kami. Dengan mengajukan lebih banyak anak, murid-muridku akan mendapatkan lebih banyak kesempatan dan pengalaman berkumpul dan berkompetisi dengan orang yang banyak dan berbeda.

Persiapan pun diserahkan kepadaku. Diputuskan bahwa SD kami, SD N 02 Mayak akan mengirimkan 3 regu, 2 regu putra dan 1 regu putrid dengan jumlah masing-masing anggota regu 15 orang. Dengan ditemani olehku dan Pak Ndeng, anak-anak berlatih mempersiapkan diri. Karena sudah dekat, kami pun memutuskan untuk meningkatkan porsi latihan. Latihan yang sebelumnya hanya seminggu 1 kali diperbanyak jadi 5 kali dalam seminggu. Ada banyak yang harus dikejar dan dipelajari. Sudah 2 tahun kegiatan pramuka di sekolah kami tidak berjalan.  

Awalnya sempat khawatir bahwa anak-anak akan merasa itu terlalu berat dan melelahkan. Ternyata dugaan kami salah! Anak-anak dengan semangat terus berlatih… Bahkan, tanpa sepengetahuanku, Mita dan kawan-kawan yang tergabung dalam regu putri berlatih setiap sore di sawah untuk mengompakkan barisan… Semangat mereka tidak terkalahkan! Walaupun mereka baru mulai latihan pramuka bulan September setelah sebelumnya libur lebaran, banyak dari mereka yang belum pernah mengalami bahkan tidak tahu apa itu kemah…

7 hari sebelumnya…

Hari ini, kami berlatih seperti biasanya. Latihan baru akan mulai jam 2, tapi anak-anak laki-laki sudah menghampiriku jam 1 untuk berangkat bersama. Sepanjang perjalanan, mereka dengan semangat mempraktekkan apa yang sudah dipelajari. Bendera semaphore berkibar dan bergerak seiring gerakan tangan Diki, P…R…A…M…U…., “PRAMUKA!” Teriak Dede dan Oib serempak. Mereka bertiga adalah perwakilan Regu Ayam Jago untuk lomba semaphore. Sementara, dari belakang terdengar siulan peluit. Rupanya, Cecep dan Alipsyah dari Regu Scorpion sedang berlatih sandi morse. Sesampainya di sekolah, Regu Kamboja (putri) sudah berkumpul bahkan sedang berlatih baris tongkat di bawah pimpinan Mita. Mereka tidak membuang-buang waktu. Begitupun denganku. Sudah 2 hari belakangan ini, aku terpaksa melatih mereka sendirian karena Pak Ndeng sedang mengurusi administrasi sekolah. Anak-anak SMP kelas 3 yang biasanya selalu menemaniku latihan juga harus latihan sendiri karena mereka mempersiapkan diri untuk lomba yang sama. Tapi tak mengapa. Semangat anak-anak itu menular dan membuatku menjadi bersemangat juga.

Hari ini kami hendak latihan pioneering (tali temali) dan memantapkan baris tongkat. Awan mendung menggantung di udara. Baru 30 menit latihan baris, hujan deras mengguyur. Sontak anak-anak berlari dan berlindung di teras depan kelas. Lantai putih kelas yang awalnya bersih terkotori oleh lumpur tanah merah dari sepatu mereka. Sembari menunggu hujan reda, kubuka kelas 3 untuk melanjutkan latihan di dalam kelas. Prok..prok…suara tongkat mereka serempak dan lantang.

Setelah berlatih, melihat kelas dan teras depan kelas yang kotor kami memutuskan untuk mengepelnya sebelum pulang. Menggunakan air dari tetes-tetes hujan, kami pun mulai membersihkan kelas.

Berawal dari keisengan, kegiatan membersihkan kelas kemudian menjadi arena permainan. Air dan kain pel beterbangan. Beberapa anak laki-laki bahkan meluncur di atas lantai menggunakan badan mereka. “PERANG AIR!” sontak semua berteriak. Tidak terkecuali juga diriku. Satu aturan yang pasti, lantai yang sudah bersih tidak boleh terkotori. Yang mengotori harus membersihkan. Bersama 45 muridku, siang-sore itu dihabiskan dalam guyuran air dan lumpur.

Jam 4.30 sore hujan mulai mereda, lantai sudah bersih tapi kami belum. Dengan baju masih melekat di badan, anak-anak mengambil air dari sumur dan mengguyurkannya ke badan. Basah, memang tapi lumpur dan kotoran menjadi bersih.

Langit mulai menggelap. Jam 5 akhirnya hujan reda dan kami pun berjalan pulang. Latihan hari ini, diakhiri dengan bermain hujan… Walaupun lelah dan kotor, senyum tampak tersungging di wajah murid-muridku….Dan itu, adalah harta yang tak ternilai….

5 hari sebelumnya….

Biasanya hari Minggu adalah saat-saat untuk bersantai di rumah. Tidur larut, bangun siang, dan bermalas-malasan adalah agenda di hari sakral itu. Tapi tidak untuk hari ini. Pagi ini, jam 6, terdengar ketukan di pintu. Dengan mata masih mengantuk, kubuka pintu hanya untuk mendapati sekelompok murid-muridku berkumpul di depan pintu. Mereka sudah berbaju rapi dan bertanya, “Ibu ngkena jadi gitu? Latihan pramuka jam 8?”. “Jadi, atuh! Ayena baru jam 6, kok udah rapi?”, balasku. “Badhe latihan heula”, jawab mereka sembari berpamitan.

Sesampaiku di sekolah, mereka sudah berkumpul bahkan sedang istirahat menikmati es yang dibeli bersama. Tampak semburat merah kepanasan dan peluh di muka mereka. Ternyata sejak jam 7 sampai jam 8 mereka sudah berlatih baris sendiri. Hari ini, kami akan belajar mendirikan tenda, simulasi baris, dan pioneering. Khusus hari ini, aku dibantu oleh Maulana dan Puji (siswa SMP Satu Atap Curugbitung), dan Pengajar Muda Lebak, Ida dan Main. Pagi hari, kami mengadakan simulasi lomba baris. Walaupun cuma di hadapan teman-teman sendiri ternyata perasaan nervous dan grogi tetap menghantui. Beberapa kesalahan kecil dibuat. Bagiku tak mengapa! Mengingat baru seminggu yang lalu mereka mulai berlatih baris dalam kelompok, kemajuan mereka sudah luar biasa! Setelah itu, dalam terik matahari jam 10 kami berlatih mendirikan tenda. Berbeda dengan hari-hari biasanya, terik matahari kali ini sangat menyengat. Dalam waktu satu jam, tenda regu-regu putra sudah berdiri tegak. Dengan segera, mereka merayakannya dengan berebutan memasuki tenda dan tidur di dalamnya. Aku menghadiahkan waktu bagi mereka untuk beristirahat. Mereka pantas mendapatkannya bahkan ketika mereka minta izin untuk mandi di sumur dekat sekolah. Aku   mengecek yang putri, bersama Maulana dan Puji mereka masih berusaha mendirikan tenda mereka.

Tanggal 28 Oktober akan segera datang, berulang kali aku mengecek kesiapan mereka baik dalam materi maupun alat-alat. Semua peralatan tenda sudah disiapkan. Mulai hari Jumat, guru-guru bergotong royong membuat pagar. Secara bergantian setiap ada waktu luang, Bu Nanah, Pak Darsa, Pak Haji, Bu Mae, Bu Yayah, Pak Yadi, dan Pk Ndeng mengecat tongkat dan gapura. Dalam hati, aku sangat senang dengan kebersamaan ini. Aku juga bangga pada murid-muridku. Walaupun aku meminta mereka untuk terus berlatih, mereka tidak menyerah. Mengeluh iya, tapi mereka tetap datang keesokan harinya dan terus berlatih.

Setelah istirahat untuk kedua kalinya, mereka berlatih bersama Ida dan Main, Pengajar Muda II yang mengajar di Sajira dan Muncang. Mereka membutuhkan waktu 1 jam naik motor, untuk bisa mencapai tempatku. Secara khusus, mereka kuminta datang untuk mengecek latihan pioneering dan baris tongkat. Kedatangan Ida dan Main langsung disambut dengan cium tangan. Di dalam kelas, murid-muridku menunjukkan kemampuan mereka baris dan yel-yel. Walaupun sudah tengah hari, semangat mereka tetap tinggi.. Jam 1, latihan pun selesai… Seperti kata-kata muridku, “Sudah tidak sabar untuk segera kemah!”.

2 hari sebelumnya….

Selama seminggu terakhir, hujan terus melanda Kampung Gobang. Lapangan kampung yang akan menjadi tempat kemah terletak di sebelah sungai. Sampai hari Rabu, air sungai tinggi hampir mencapai tepi lapangan. Oleh karena itu, diputuskan untuk memindahkan lokasi perkemahan ke Lapangan Pasir Kupu-kupu di Cokel yang berjarak 1,5 jam perjalanan dari kampungku. Perpindahan ini membuat kepala sekolah hendak mengurangi jumlah regu yang berangkat karena tidak memungkinkan untuk membawa 45 anak dalam mobil losbak. Selain itu, sekolah hanya memiliki 3 tenda, tidak ada tenda dan tidak cukup waktu untuk mencari 1 tenda untuk guru. Karena memperkirakan akan kemah di kampung, para guru awalnya diminta untuk menginap di rumah masing-masing.

Di satu sisi, aku memahami alasan tersebut. Di sisi lain, aku tidak tega kalau harus menyampaikan berita ini apalagi sampai harus menyeleksi lagi murid yang berangkat. Aku melihat bagaimana murid-muridku berusaha dan berlatih. Bagiku mereka semua sangat hebat! Bagaimana mungkin aku harus mengecewakan mereka yang sudah sangat bersemangat dengan memberitahu bahwa mereka tidak jadi diikutsertakan. Apalagi tinggal lusa, perkemahan akan diadakan!

Untunglah keberatanku dipahami oleh Pak Ndeng dan guru-guru lainnya. Walaupun sempat mempertanyakan masalah tenda guru, akhirnya diputuskan bahwa kami akan berangkat menggunakan truk agar semua bisa terangkut….

Hari H….

Pemberangkatan dijadwalkan jam 7.30 tapi sekali lagi, pintu rumahku sudah diketuk pukul 6 pagi… Anak-anak mengecek dan mengumpulkan perlengkapan mereka di rumahku. Pagi-pagi secara bergotong-royong mereka membawanya dengan tongkat. Truk sudah menunggu di persimpangan Jatake. Untuk mencapainya, kami perlu berjalan 20 menit dan harus melewati jembatan gantung yang separuh rusak. Perjalanan pun dimulai….

Sesampainya di tempat kemah, anak-anak turun dengan berbagai ekspresi. Ada yang mabuk, ada  yang pusing, ada yang melongo dan terkagum-kagum karena melihat banyak orang berada di satu tempat sekaligus, ada juga yang tak henti-hentinya tertawa. Suatu pemandangan yang unik! Satu per satu mereka meloncat turun dan menurunkan bawaan mereka. Kapling tempat tenda sudah disediakan dan kebetulan ketiga regu berada di tempat yang terpisah satu sama lain. Aku bertugas membantu Regu Ayam Jago. Bersama Abdul, Dede, dan Aditia, kami bertugas mendirikan tenda sementara yang lain membongkar barang-barang dan mulai mendirikan pagar dan gapura.

Abdul, kumaha badhe ntosan lamun manehna nte bantuan (gimana akan selesai kalau kamu tidak membantu)?”, kataku ketika melihat Abdul terdiam dan bengong. ”Ibu, seeur nu urang! Aya beraha jelma sedaya (Ibu, banyak sekali orangnya! Ada berapa orang semuanya)?” balas Abdul sambil tak henti-hentinya melihat sekeliling. Aku tertawa dan menjawab, “Ini satu kecamatan Abdul, yang ikut ada dari 20an sekolah lebih. Dari 1 sekolah paling tidak ada 2 regu yang ikut. Rata-rata 1 regu 13 orang, jadinya ada sekitar…..420 orang. Belum lagi guru pembimbing, bisa sampai 450 orang. Itu belum ditambah sama SMP lho!”. “Ibu, banyak amat!”, teriaknya. “Terus esuk-esuk kami tanding jeung sedaya, gitu? (besok, kami tanding sama semua, gitu?)”, tanyanya. “Mereun! (mungkin)”, jawabku sambil tertawa terkekeh-kekeh…

Ketika mengingatnya lagi, dalam hati aku merasa geli karena siapa sangka mereka justru akan menjadi juara umum II melawan semua sekolah itu.

Begitulah kami memulai perkemahan itu. Ternyata selama hari itu, hujan terus mengguyur. Beberapa anak kedinginan dan kebasahan. Alhamdulillah, tidak ada yang jatuh sakit.

Tentang lomba, setiap kali selesai mengikuti satu perlombaan dan ternyata kalah, murid-muridku selalu mendatangiku dan meminta maaf. Aku memahaminya. Tentu sulit bersaing dalam morse, semaphore, dan pioneering, ketika mereka baru mulai belajar sementara regu-regu yang lain sudah berlatih lama. Dengan senyuman dan high five, aku membalas kegusaran mereka. Bagiku, tidak penting kalah atau menang. Yang aku ingin hanyalah agar pandangan mereka terbuka dan pengalaman mereka bertambah. Setelah selesai lomba baris-berbaris, aku mengajak satu per satu muridku berhighfive agar mereka tahu bahwa aku tahu mereka telah melakukan yang terbaik dan aku menghargainya.

Ketika aku mengobrol dengan Sekar beberapa hari setelah kemah, ia mengungkapkan bahwa yang paling diingat dan membuat dia senang adalah ketika aku menanti mereka di pintu keluar area lomba baris dan berhigh five dengannya.

Dan ternyata, kekhawatiranku tidak beralasan…. Hal itu terbukti di hari ketiga! Tidak ada seorang pun yang menyangka, tidak diriku, murid-muridku, maupun guru-guru lainnya. Murid-muridku berhasil meraih Juara Umum II Putra dan Juara Umum III Putri, padahal mereka baru mulai berlatih pramuka kurang lebih 1 bulan lalu.

Hari itu, kami semua pulang dengan senyum mengembang. Selama perjalanan, kami bernyanyi dan tertawa di bak belakang truk yang melaju. Setelah kelelahan, anak-anak itupun tertidur… Sebelumnya, beberapa dari mereka memandangku dengan penuh kebanggaan. Kebanggaan yang aku tahu ditujukan kepada diri mereka sendiri. Kebanggaan karena apa yang telah mereka usahakan dan latih dengan keras berbuah manis… Nyanian, suara, dan tawa perlahan-lahan memudar seiring dengan terlelapnya anak-anak itu dalam kelelahan.

Dalam hati, aku membisikkan dan berdoa, “Ibu sangat bangga dengan kalian, nak!”

 

“Dan mereka membalasku dengan kebanggaan yang tidak terkira!” (Astuti, 30 Oktober 2011)


Cerita Lainnya

Lihat Semua