info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Meng-indonesia

Asril Alifi 1 Agustus 2011
Salah seorang temanku yang pernah ke luar negeri pernah berkata bahwa jika kau ingin merasakan apa itu nasionalisme, sebaiknya kau ke luar negeri.  Di sana kau akan merasa lebih meng-Indonesia. Di sana kau akan merasakan lagu Indonesia raya seakan menggetarkan seluruh bagian tubuhmu ketika kau menyanyikannya. Di sana kau akan merasakan bendera merah putih yang berkibar seakan menyentuh bulu kudukmu saat kau menghormat padanya. Seorang temanku yang lain pernah berkata bahwa saat-saat ia berada di stadion senayan bersama puluhan ribu suporter timnas Indonesia yang berlaga di stadion Bung Karno saat itu – adalah saat di mana ia menjadi seorang yang meng-Indonesia. Di tengah gegap gempita Gelora Bung karno saat itu, kau akan merasa menjadi sebenar-benarnya Indonesia. Bangga menjadi bangsa Indonesia. Jujur saya belum pernah mengalami kedua-duanya. Saya belum pernah ke luar negeri, saya juga belum pernah menginjakkan kaki di gelora Bung karno, apalagi menyaksikan laga timnas secara langsung. Namun jangan dikira saya tidak pernah merasakan uforia nasionalisme seperti mereka. di sebuah rumah bernama Gerakan Indonesia Mengajar saya mulai menemukan perasaan itu. sebuah kehormatan yang saya dapat untuk bergabung di rumah itu untuk menjadi seorang pengajar muda, seorang yang akan menjadi pengajar SD selama 1 tahun di daerah-daerah yang masih minim berbagai fasilitas hidup di penjuru Indonesia. Euforia itu dimulai dengan masa training selama 7 minggu di Ciawi Bogor dengan materi yang mengagumkan dan berkesempatan bertemu orang-orang inspiratif negeri ini – yang kemudian ditutup dengan pemberangkatanku bersama 50 pengajar muda yang lain pada saat itu. 10november 2010, Pukul 05.30 WIB, di bandara Soekarno Hatta, Pak Anies Baswedan, sang Founding father dan ketua gerakan Indonesia Mengajar bersama timnya melepas kami 51 Pengajar Muda Angkatan pertama. Acara pelepasan dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.  Bulu kuduk merinding. Mata-mata kami sudah berubah menjadi kaca-kaca bening nan mengkilap. Entah sudah berapa kali aku menyayikan lagu super keren karangan WR Supratman ini, namun di sini, saat ini, adalah saat di mana aku menyayikan lagu ini dengan dada yang berdetak kencang, dengan mata yang berkaca-kaca dan bulu kuduk yang mulai berdiri di sana sini. Suara Pak Anies terdengar di balik megaphone ketika lagu berakhir. “Bandara ini bernama Bandara Soekarno hatta. Soekarno hatta, mempunyai banyak pilihan untuk hidup nyaman, tapi ia memilih untuk berjuang mewujudkan kemerdekaan. Kalian memunyai banyak pilihan untuk hidup nyaman di kota-kota, tapi kalian memilih untuk menjadi pengajar di pelosok-pelosok negeri. You are pejuang.” Dadaku semakin berdegub kencang. Barisan  bulu kuduk semakin berdiri tegak. Acara ditutup dengan doa dan menyanyikan lagu padamu negeri.  Mataku yang tadinya mirip kaca-kaca mengkilap, langsung berubah menjadi awan yang memuntahkan hujan deras bercampur badai ke daratan, hingga suaraku berat untuk melanjutkan baris terakhir Padamu Negeri, Terhalang sesenggukan yang terus menjadi-jadi. Inilah the first sweet memory ku bersama Indonesia. Kalau saja ada bendera merah putih dihadapanku mungkin aku akan menyempurnakan perasaan ini dengan menciumnya penuh takzim. *** Di daerah penempatanku sekarang aku juga merasakan euforia batin yang sama seperti saat di bandara saat itu. Hampir tiap seminggu sekali di hari senin aku merasakan dadaku berdegub kencang sama seperti di bandara saat itu, bulu kudukku berdiri sama tegaknya seperti di bandara saat itu , hanya saja air mata yang sengaja aku tahan agar tidak jatuh, supaya tidak menjadi tontonan. Ya, di tiap upacara bendera hari senin di sekolah tempat aku bertugas ini aku merasakan semua itu. Mungkin sudah ratusan kali aku mengikuti upacara bendera dari mulai SD sampai SMA. Juga upacara-upacara hari besar kenegaraan lain di tempat yang lebih khidmat, baju yang lebih bagus dan rapi, serta hidangan mewah setelah upacara di berbagai instansi. Tapi semua itu tidak mampu menggantikan soul ketika upacara bersama mereka. Dengan pakaian yang sangat sederhana. Dengan celana dan sepatu yang terkadang harus kotor saat jalanan becek, juga berhiaskan bunga alang-alang yang lembut menempel di sisi-sisi celana karena rumput halaman sekolah yang terus meninggi dan melebat. Degub kencang dadaku sama sekali tak berkurang ketika bendera merah putih dikerek oleh sekelompok petugas pengibar bendera yang barisan dan jalannya masih harus dibenahi dengan usaha yang super keras itu. Suara paduan suara siswa-siswa kelas 6 yang sumbang dan bahkan berbelok jauh dari partitur lagu Indonesia yang seharusnya – tetap tak mengurangi feel ku untuk mengangkat tangan berhormat kepada sang saka merah putih. Saat harus menjadi pembina upacara, biasanya aku harus berdiam diri agak lama dulu untuk mengkondisikan diriku yang masih terpesona oleh Sang Merah putih, baru kemudian memberikan amanat upacara. Tak pernah dalam hidupku aku merasakan semelankoli ini dengan Indonesia. Jika ditanya mengapa perasaan itu bisa muncul aku juga bingung menjawabnya. Biasanya aku hanya akan menjawab dengan asal bahwa perasaan seperti itu akan muncul ketika engkau memosisikan dirimu sebagai abdi negeri. Ketika engkau memberikan sebagian hidupmu untuk kau persembahkan untuk mengabdi pada negeri, seperti yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan dulu. Seperti tokoh-tokoh republik ini  yang bekerja keras untuk menuntaskan janji kemerdekaan. Dan itu bisa di mana saja. Tidak harus ke luar negeri, tidak harus di gelora Bung Karno, di sini pun bisa. Di desa-desa yang sederhana seperti di sini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua