Memori di Hari Sabtu Itu...

Arina Nikma Baroroh 13 Oktober 2013

Aku membaca email itu pada hari Kamis petang, saat aku bermalam di rumah uwakku, di Desa Kota Padang yang berjarak kurang lebih 8 km dari desaku. Entah mengapa saat itu juga aku memutuskan untuk ikut serta berpartisipasi dalam salah satu agenda FGIM, yaitu telewicara anak. Alasanku saat itu : aku ingin memperkenalkan anak-anakku dan sekolahku.

#

Aku ditempatkan di SD Negeri 9 Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim. SD ku adalah satu dari empat SD yang baru tahun ini didatangi oleh Pengajar Muda. Meskipun desa kami termasuk desa terjauh di Kecamatan Semende Darat Tengah, namun anak-anak kami, terutama kelas VI, sudah dapat berbahasa Indonesia dengan cukup baik. Sehingga malam itu, aku membulatkan keputusan untuk besok Jumat, 27 September 2013 segera mengkonfirmasi keikutsertaan kami dalam telewicara anak.

Aku memilih Tiara dan Angga. Keduanya kelas VI. Keduanya mampu berbahasa Indonesia dengan cukup baik dan berprestasi pula di sekolah. Saat aku bilang kepada mereka untuk ikut aku ke desa sebelah hari Sabtu depan untuk berbicara dengan orang Jakarta, tanpa waktu panjang mereka mengiyakan dan mata keduanya berbinar.

Sabtu, 5 Oktober 2013 datang juga. Segera setelah bel sekolah berbunyi mereka menemuiku di ruang kelas IV—hari itu aku mengajar matematika kelas IV—dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajah mereka. Mereka sudah berganti baju. Seragam dan sepatu mereka masukkan dalam tas, diganti celana dan baju santai.

Aku melihat langit Rekimai siang itu. Dalam doaku beberapa hari belakangan, selalu kuselipkan satu permintaan : Tuhan, berikanlah kemudahan untukku membawa Tiara dan Angga Sabtu depan. Dan Tuhan memang maha baik. Doaku terjawab satu persatu. Kepala sekolahku bersedia meminjamkan motornya padaku. Orang tua Tiara dan Angga mengijinkanku membawa mereka ke desa sebelah. Listrik hari Jumat menyala sepanjang waktu karena semenjak seminggu belakangan desaku selalu hujan deras disertai angin. Bagi desa kami yang menggunakan PLTA sebagai sumber listrik, dengan adanya hujan deras, artinya pasokan listrik kami aman—begitu pula dengan baterai handphoneku, bisa kucharge sampai penuh. Hanya satu yang masih kucemaskan siang itu : kemungkinan hujan deras seperti hari-hari sebelumnya.

Bertiga kami berboncengan motor naik turun tebing. Mulanya aku berencana akan melakukan telewicara di desa Tanjung Raya, sekitar 10 km dari desaku. Disana ada warung makan pempek, model, bakso, tekwan yang enak. Kupikir sekalian makan siang, sekalian telewicara. Ternyata warung tutup.

Tiara dan Angga mengusulkan untuk makan di desa Pulau Panggung, sekitar 15-20 km dari desaku. Aku menyetujuinya dan segera memacu motorku.

Baru sampai di salah satu warung makan, handphoneku berbunyi. Nomor yang tidak kukenal. Aku tengok jam, masih jam 12 lebih sedikit. Setelah kuangkat, ternyata dari Panitia Telewicara FGIM yang intinya mengabarkan aku dan anak-anak harus stand by karena sebentar lagi telewicara akan dimulai. Beberapa menit setelahnya, aku dihubungi lagi. Kali ini aku diberi tahu tentang teknis telewicara. Saat aku memberi tahu Tiara dan Angga bahwa sebentar lagi kita akan segera bicara dengan orang-orang di Jakarta, mendadak wajah mereka pucat.

“ Bu, aku nak kemih kudai. “

“ Bu, aku ingin buang air kecil dulu. “

Angga, yang sebelumnya kulihat paling bersemangat, mendadak kulihat raut mukanya berubah dan meminta ijinku untuk ke kamar mandi dulu.

Tiara yang sepanjang perjalanan tidak berhenti bercerita tentang keluarganya dan bertanya ini itu, tiba-tiba diam dan menundukkan kepala. Saat kutanya kenapa, dia menjawab dengan bahasa Indonesia terbata-bata, “ Bu, aku gugup se..ka..li.. “ Lalu dia tersenyum.

Melihat kondisi mereka yang mendadak terkena penyakit grogi ini, kuputuskan untuk segera berpindah tempat dari warung makan ke masjid. Mungkin jika mereka ada di masjid yang sepi, tidak banyak orang, mereka bisa lebih tenang. Tapi ternyata sama saja. Mereka tetap gugup, dan rupanya menular pula padaku. Aku juga ikut gugup.

Akhirnya telewicara itu dilakukan juga. Dengan sedikit arahan dariku, mereka memperkenalkan diri dan menjawab pertanyaan dari audiens. Dengan segala keterbatasan yang ada, akhirnya Tiara dan Angga dapat berbicara dengan orang-orang di Jakarta.

Tahukah kalian, kalimat pertama yang diucapkan Tiara setelah telewicara berakhir? Kalimat campuran Bahasa Indonesia dan Semende yang dia ucapkan dengan senyum tak pernah lepas dari wajahnya.

“ Bu, gacang nian. Aku gugup kiamat, tapi senang pacak telepon jeme Jakarta. “

“ Bu, cepat sekali. Aku gugup banget, tapi senang bisa telepon orang Jakarta. “

Aku tersenyum—begitu pula dengan Angga. Lalu kami bertiga tos—high five dan berpelukan.

Aku berkata, “ Lain kali, kita bisa telepon lagi dengan orang-orang di Jakarta. “

“ Au, Bu. Kle aku dikde gugup kalu telepon jeme Jakarta lagi. “

“ Iya, Bu. Nanti aku tidak gugup lagi kalau telepon orang Jakarta lagi. “

Kami bertiga tos—high five (lagi) lalu sembahyang dzuhur sebelum kembali ke desa kami.

#

Alasan awalku mengikuti telewicara hanyalah untuk mengenalkan anakku dan sekolahku. Namun ternyata mungkin telewicara ini bisa sedikit banyak memotivasi anak-anakku—terutama untuk Tiara dan Angga.  

Saat perjalanan pulang, Tiara berkata setelah lulus SMA di Muara Enim nanti, dia akan kuliah di Jawa. Dia ingin melihat Pulau Jawa dan orang-orang Jakarta.

Tiara dan Angga, sepanjang perjalanan pulang tidak henti-hentinya bertanya tentang Jakarta dan Jogjakarta.

Untuk pertama kalinya seumur hidup Tiara dan Angga, hari Sabtu itu, mereka melakukan sembahyang Dzuhur, berjamaah bersamaku—aku sebagai imamnya.

Kami sampai di desa kami, Rekimai Jaya sekitar jam 15.00. 15 menit berselang, desa kami diguyur hujan deras disertai angin. Doaku terjawab sudah semua. Sungguh Tuhan Maha Baik.


Cerita Lainnya

Lihat Semua