Cengkeh Penyambung Asa

Anita 14 Juni 2012

Ketika Musim Cengkeh Datang

Apa yang dinanti-nanti oleh seluruh penduduk desa Bajo, Kabupaten Halmahera Selatan ketika libur kenaikan kelas datang? Bukan liburan ke tempat – tempat keramaian atau sekedar jalan- jalan di pusat kota seperti Ternate. Bukan. Bukan itu. Jika mereka diberikan pertanyaan, peristiwa apa yang paling berkesan dari tahun kemaren, tahun ini atau mungkin tahun depan. Tentunya jawaban mereka akan sama. Musim cengkeh. Ya, sang pujaan yang mareka nantikan penuh harap setiap tahunnya adalah musim cengkeh. Ada apa gerangan di musim cengkeh?

Mungkin kita masih ingat pelajaran Sejarah di bangku SMP, bahwa  bangsa Portugis dan Spanyol pertama kali datang ke Indonesia karena tertarik dengan rempah rempah di Maluku. Rempah - rempah saat itu dianggap komoditi dagang yang sangat menguntungkan. Ya, selama saya di Halsel pohon yang paling banyak saya temui adalah pohon pala dan cengkeh. Entah sudah berapa umur pohon - pohon cengkeh dan pala disana. Mungkin itu pohon – pohon yang sama ketika Portugis dan Spanyol datang ke Maluku.

Awal musim cengkeh berbeda untuk masing-masing pulau. Umumnya dimulai sejak bulan Juni hingga Agustus. Pada bulan – bulan tersebut pohon-pohon cengkeh akan siap untuk dipetik. Saya tidak tahu persis bagaimana musim cengkeh pada tahun – tahun sebelumnya. Tapi bagi saya yang sudah hampir satu tahun berada di desa ini, mengalami musim cengkeh merupakan peristiwa yang sesuatu bagi saya. Kenapa tidak?

Di desa Bajo, tidak semua warga memiliki kebun cengkeh, tapi jika musim cengkeh datang hampir semuanya dibuat sibuk. Tua, muda, besar, kecil semuanya turun ke kebun. Bagi yang tidak mempunyai kebun sendiri, biasanya menjadi buruh panjat di tuan empunya kebun. Sedangkan anak- anak saling berpacu untuk bapunggul (mengumpulkan) cengkeh-cengkeh yang sudah jatuh ke tanah. Tidak peduli siapa yan­­­g punya kebun cengkeh, yang paling cepat dialah yang dapat banyak.

Cengkeh yang diperoleh denganbapunggul dapat langsung dicuci dan dijemur. Sementara cengkeh hasil memanjat masih harus dibuang tangkainya. Satu tangkai biasanya berisi 5 sampai 20 biji cengkeh. Disinilah serunya­. Cengkeh yang dibawa berkarung-karung dari kebun, akan digelar di teras atau ruang tengah rumah. Lalu orang – orang akan datang beramai-ramai untuk turut membantu membuang tangkai cengkeh. Orang sini menyebutnya bapatah cengkeh (berpatah cengkeh).

Mengalami musim cengkeh, saya benar-benar banyak belajar tentang kearifan lokal disini. Setiap pekerjaan yang berhubungan dengan cengkeh, ada caranya tersendiri. Cara yang pintar dan unik, menurut saya. Seperti cara bapatah cengkeh, bapunggul ataupun menjemur cengkeh di atas terpal. Kedengaran gampang bukan? Apa susahnya mematahkan tangkai cengkeh, memunguti cengkeh yang jatuh atau bahkan menjemur cengkeh dibawah sinar matahari? Ya, itu menurut Anda dan saya (dulunya). Tapi sungguh jika Anda tidak tahu caranya, Anda akan setengah mati untuk mengerjakannya.

Untuk bapatah cengkeh, jangan katakan Anda akan membuang tangkainya dengan memetik satu – satu biji cengkeh seperti saat Anda memetik buah rambutan, memetik satu persatu dari tangkainya. Tangan Anda akan keburu pegal sebelum Anda menyelesaikan bapatah cengkeh satu karung. Cara jitunya adalah dengan memegang tangkai cengkeh di satu tangan dan mematahkannya pada telapak tangan lainnya.  Crek, sekali patah, langsung puluhan bulir cengkeh berguguran. Dan untuk bisa dengan cepat melakukannya, Anda harus belajar dan berlatih.

Sama halnya ketika bapunggul cengkeh. Jika Anda berniat memunguti cengkeh yang jatuh dengan satu tangan, tamatlah riwayat Anda. Teman Anda sudah mengumpulkan satu kaleng cengkeh sementara Anda mungkin belum sempat mengisi dasar kaleng Anda. Anda harus memunguti cengkeh dengan kedua tangan, kiri dan kanan dua- duanya bekerja. Tidak pakai lama. Apalagi ketika menjemur cengkeh. Anda harus benar-benar belajar caranya terlebih dahulu. Kalau tidak, Anda akan berakhir dengan berputar putar di atas terpal besar yang sudah Anda bentangkan, tanpa pernah selesai – selesai menyebarkan cengkeh dengan rata di permukaan terpal.

Semua ada caranya. Saya masih ingat, Ibu saya selalu bilang. Pikirkan dulu sebelum mengerjakan sesuatu. Jangan pernah menganggap gampang suatu pekerjaan hanya karena pekerjaan itu kelihatan gampang. Coba kerjakan dulu sendiri, baru bisa bilang gampang atau susah.

Rupiah Bulir Cengkeh

Berapa uang yang bisa dikumpulkan dari setiap bulir cengkeh yang dipetik? Satuan dalam perdagangan cengkeh disini adalah cupa. Satu cupa sama dengan satu kaleng kecil susu kental manis. Satu cupa dihargai Rp 3000 hingga Rp 4000 rupiah untuk cengkeh mentah. Sementara cengkeh kering biasa dijual per kilo dengan harga satu kilogram 70 ribu hingga 85 ribu, tergantung suplai cengkeh di pasaran. Mahal atau murah? Entahlah.

Bagi saya yang lulusan Teknik Industri masih susah untuk mengkuantifikasi biaya produksi hasil pertanian. Sulit menominalkan dengan uang berapa biaya setiap usaha jerih payah mulai dari menanam tanaman, merawat, hingga memetik hasilnya. Belum lagi proses pengolahannya hingga dapat dijual ke pasaran, mulai dari membersihkan tangkai cengkeh, menjemur hingga membersihkan cengkeh setelah dijemur. Bahkan jika ingin dibuat rumit, itupun belum termasuk perhitungan resiko ketika proses panen, penjemuran hingga kondisi pasar saat penjualan. Semuanya terlalu kompleks untuk dikalkulasikan.

Tapi saya sungguh takjub dengan perubahan sosial yang terjadi ketika musim cengkeh. Apalagi musim cengkeh tahun ini berdekatan dengan tahun ajaran baru dan lebaran Idul Fitri. Tentulah dua titik waktu itu merupakan dua antara sekian titik waktu dalam setahun dimana setiap keluarga harus memiliki simpanan uang ekstra.

Dengan adanya panen cengkeh, ibu-ibu tidak perlu khawatir memikirkan biaya sekolah yang harus dikeluarkan untuk anak-anak mereka, terutama yang baru memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Anak-anak PAUD masuk SD, lulusan SD masuk SMP, lulusan SMP masuk SMA juga yang baru lulus SMA yang ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana Tuhan memberkati penduduk desa ini dengan adanya cengkeh. Saya menyaksikan bagaimana Anto, salah satu siswa di SD Sawangakar, dapat mendaftarkan diri di salah satu SMP favorit di ibukota kabupaten. Anak pulau itu sedang merintis tangga menggapai cita-citanya, keluar dari desanya yang tidak bersinyal dan berlistrik menuju kota kabupaten yang lebih “berkehidupan” sosial. Anto tidak meminta uang pendaftaran bernilai ratusan ribu itu kepada bapak atau ibunya. Tapi dia mengumpulkan sendiri lembar demi lembar uang untuk dapat melanjutkan sekolahnya. Seusai ujian nasional, dia meninggalkan desa menuju Pulau Muari, salah satu pulau penghasil cengkeh terbesar di Halmahera Selatan. Anto bapunggul cengkeh, bersama puluhan warga Sawangakar lainnya di Muari. Tak terbayangkan jika saat itu bukan musim cengkeh, cara mana lagi yang tercepat untuk mendapat uang ratusan ribu dalam hitungan dua minggu. Mengail? Ikut kapal penangkap ikan? Itu semua penuh dengan ketidakpastian.

Atau kisah adik piara saya yang bisa melanjutkan kuliah ke kota propinsi di Ternate, karena kebun cengkeh warisan keluarga sedang mengeluarkan bunga- bunganya yang bernilai uang. Bapak piara saya memboyong karung berisi ratusan kilogram cengkeh untuk dijual ke Ternate.  Hasil penjualan cengkeh tersebut bisa membiayai anak keempatnya untuk kuliah di Ternate juga mengongkosi putri ketiganya yang sedang sekolah Kebidanan untuk studi banding ke Pulau Jawa. Cahaya harapan adik piara saya untuk tetap kuliah masih bisa terus bernyala karena berkah musim cengkeh. Saya bisa katakan bahwa hampir seluruh anak usia sekolah di desa ini dapat melanjutkan sekolah, membeli seragam dan buku baru, dari jerih payah mereka untuk bapunggul atau memetik cengkeh.

Tidak hanya untuk membantu biaya pendidikan, cengkeh juga telah memeriahkan suasana Lebaran di desa Bajo. Rumah – rumah panggung dari papan yang warnanya sudah kusam kini berganti dengan warna baru. Masing-masing keluarga sibuk mengecat rumah mereka, sekaligus untuk menyambut libur Lebaran. Anak- anak heboh berkeliaran dengan baju baru yang mereka peroleh dari hasil penjualan cengkeh. Ah, cengkeh memang surga bagi mereka. Berakhirnya musim cengkeh juga pelan – pelan mengakhiri wajah sumringah para mama, papa, om, kakak, cewe, dan nyong disana. Namun mereka percaya masih ada asa, di musim cengkeh tahun depan.  


Cerita Lainnya

Lihat Semua