Selamat Pulang KerumahNya, jagoan.

Anggun Piputri Sasongko 27 November 2013

Senyummu melebihi cerahnya matahari ketika menyapa di pagi hari. Ketika aku hadir di SD Inpres Oeoko Juni 2012, aku mendapat tugas menjadi guru mata pelajaran. Bahagianya menjadi guru mata pelajaran adalah mendapat kesempatan mengenal seluruh jagoan kecil di SD Inpres Oeoko tanpa kecuali. Aku ingat betul pertemuan pertama dengannya. Ketika hadir pertama mengajar di kelas 4, semua siswa menunduk malu. Kalau aku bertanya, tidak banyak yang hanya diam sambil menutup mulutnya dengan tangan. Tetapi ada dua diantaranya yang tidak malu-malu . Tubuhnya sangat ramping (kebanyakan anak-anak di Rote). Memakai aksesoris di kepala. Wajahnya seakan menunjukkan bahwa ia ingin sekali beriteraksi denganku. Bahkan aku yang jadi malu karena dipandanginya melulu.

Hari pertama aku tidak langsung memulai dengan materi pelajaran, namun dengan perkenalan dan permainan. Aku memberikan kertas warna ke masing-masing siswa untuk menuliskan namanya dan perasaannya pada hari itu. Lembar bertuliskan nama kuminta untuk ditutup sehingga yang terlihat diatas meja adalah lembar tulisan perasaan mereka. Ada yang menulis senang, cantik, baik, dan lain-lain. Permainan saya mulai dengan memberikan satu pensil yang kemudian diputar sambil menyanyikan sebuah lagu. Ketika lagu berhenti maka yang mendapatkan pensil ia harus berdiri dan memperkenalkan diri. Saya perhatikan wajah mereka satu persatu. Dua yang tidak malu-malu itu memang terlihat gagah, tubuhnya tegak melipat tangan dan wajahnya selalu tersenyum.

Namanya Irene. Perasaan yang ditulisnya ‘Senang’. Wajahnya selalu seperti itu, seolah-olah memperlihatkan bahwa dirinya ingin sekali mendapat kesempatan dariku. Dalam setiap kesempatan mengajar di kelas 4 aku selalu mengajak  dan memberikan kesempatan mereka men-challange dirinya. Irene selalu aku ingat karena ketika tidak mendapatkan kesempatan, pasti lalu cemberut. Lalu saat pulang sekolah ia tanya, “Ibu kenapa tidak pilih saya?” Saya menyadari bahawa Irene bukan ingin sombong di depan teman-temannya atau mencari perhatian berlebihan, Irene hanya berusaha menjadi percaya diri dan berani pada dirinya. Ya, kadang jawaban atau hasil pekerjaannyapun tidak sedikit yang salah. Irene mengajarkanku bagaimana menjadi seorang yang berani. “Coba dulu kalau salah kan bisa diperbaiki, yang penting berani mencoba”.

Walaupun sebagai guru mata pelajaran, kelas 4 menjadi salah satu kelas yang sering  diampu. Guru kelas 4 sering tidak masuk. Dan kepala sekolahpun menugaskanku untuk mengajar disana. Pernah 1 minggu penuh aku berubah jadi wali kelas 4. Selain itu, kelas jagoanku ini memang jauh dibandingkan kelas jagoan lain, bedanya dari kemampuan akademik mereka, lamban menangkap materi pelajaran. Hanya beberapa siswa saja yang punya kemampuan lebih. Karena itu akupun tertantang. Bersama-sama kami membuat kelompok belajar les sore. Setiap hari Senin, Rabu dan Jumat pukul 16.00 WITA disekolah.

Irene mendapat bagian di kelompok hari Rabu. Semangat betul ia. Pernah sekali waktu aku lupa kalau hari itu jadwal kelompok les. Irene ditemani Yeni datang kerumahku dan mengingatkan. Kalau pulang sekolah tidak pernah langsung pulang, selalu membantuku merapihkan alat tulis dan berjalan bersama. Rumah Irene memang lebih jauh dari rumahku. Irene 5 bersaudara, ia nomor tiga. Kakaknya nomor dua, Olven kelas 5. Adiknya Inggrid kelas 1 dan Mike 3 tahun. Karena mengajar semua kelas maka aku kenal dengan mereka semua bahkan dekat sekali dengan keluarganya, Mamak dan Bapaknya. Setiap lewat depan rumahnya selalu Mamaknya memintaku untuk mampir, menyuguhi teh dan sesekali makan (walau hanya nasi kosong). Perkenalanku dengan Mamaknya malah waktu di Gereja, beliau duduk disampingku memakai pakaian warna merah dan menggendong Mike. Mengajakku makan siang dirumahnya.

Selasa, 26 November 2013 pukul 11.36 WIB sms bersamaan masuk dari salah satu guru disekolah dan Pengajar Muda VI yang sedang bertugas disana. “Bu anggun, iren mdok su meninggal” sms berikutnya “Ka, iren modok, kakany inggrid dan adiknya olven meninggal hari ini. Kmarin kecelakaan motor”. Saat menerima sms tersebut aku sedang dalam perjalanan mengendarai mobil untuk rapat disebuah kantor klien. Air mata menetes seketika, seperti tidak percaya bahkan merasa tidak terima. Jagoanku yang pemberani dan murah senyum itu harus mendahuluiku ke sisiNya.

“Ini untuk Ibu, buat Ibu pulang ke Jakarta” Irene dan Inggrid memberiku uang 10ribu rupiah. “Ibu harus terima ini” tambahnya. Sayangnya Tuhan sama Irene melebihi apapun sampai ia dipanggil diusia yang sangat muda. Rote dan Jakarta mungkin berjarak ribuan kilometer namun aku dan Irene tidak pernah berjarak, jarak kami hanya 0 km.

Terima kasih Irene jagoan mengacung tangan. Menjadi berani itu sulit, tetapi kau mengajarkannya untuk Ibu. Menunduk teduh Ibu mendoakanmu. Kau sudah mencapai cita-citamu, kembali padaNya. Selamat jalan pulang jagoan.

 

 

Peluk erat

Ibu Anggun


Cerita Lainnya

Lihat Semua