Siapa Peduli Kesehatan ! (?)

Andita Destiarini Hadi 31 Oktober 2011

 

Sudah 3 bulan lebih bahkan hampir 4 bulan saya menghirup udara Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mengajar SD adalah tujuan saya datang ke kabupaten paling selatan Indonesia ini. Banyak pengalaman yang saya dapatkan, tak hanya sebatas tentang pendidikan, anak-anak ataupun kegiatan belajar-mengajar. Ya, salah satunya saya mendapatkan pengalaman tentang kesehatan di sini. Saya memiliki cerita tersendiri tentang kesehatan penduduk Rote khususnya kecamatan Rote Timur.

Bermula dengan diadakan perayaan HUT RI. Perayaan 17an di Rote Timur berlangsung sangat meriah. Hampir semua desa ikut ambil bagian dalam perayaan ini, baik sebagai peserta lomba, panitia ataupun penonton. Perayaan 17an dipusatkan di Pepela, sebuah desa dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Berbagai lomba diadakan, seperti tarik tambang, panjat pinang, tarian tradisional Rote, Jai (sejenis poco-poco), lari jarak jauh, gerak jalan, panjat pinang, sepak bola dll. Lomba diikuti semua kalangan: anak SD,SMP,SMA dan orang tua. Ya, tentu saja murid-muridku mengikuti lomba-lomba itu. Jadwal pertandingan yang sangat padat bahkan kami (aku, guru-guru, murid-murid dan orang tua siswa) harus rela menginap di sebuah SD yang dekat dengan pusat perlombaan. Jadwal perlombaan yang padat dan peserta yang hanya itu-itu saja (maklum, kami hanya membawa sedikit murid karena ini strategi yang dapat mengurangi pengeluaran, khususnya makan) membuat anak-anak kecapekan. Hal ini juga dirasakan oleh murid-murid dari sekolah lain. Dan… korban pun berjatuhan,…. Demam tinggi, malaria, radang mata, batuk, keracunan makanan, pingsan saat lomba, semuanya terjadi selama seminggu perlombaan. Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya tim kesehatan dari puskesmas.

 

Saya berangakat ke Rote dengan dibekali 1 kantong biru berisi obat-obatan standar yang diberikan pihak Yayasan. Dengan kantong itu, saya berusaha menolong orang-orang yang sakit saat acara 17an. Awalnya saya menanyakan, apa yang mereka rasakan, lalu saya melihat gejalanya. Dengan kebiasaan saya meminum obat di rumah, saya terapkan kepada mereka. Panas tinggi, saya berikan paracetamol, batuk saya berikan obat batuk yang enatahlah saya lupa mereknya dan saya berikan obat maag ketika mereka bilang terasa nyeri di ulu hati. Penanganan seperti ini saya rasa kurang tepat, tetapi Alhamdulillah hampir semuanya berhasil. Saya menyerah ketika saya rasa ada anak SMP yang sepertinya terkena malaria. Ya, saya jadi perawat jadi-jadian di Rote. Hehehe.

 

Di hari ke-3 perlombaan diadakan, salah satu murid, Saldy namanya, terkena tendangan di kepala ketika dia bertanding bola. Darah mengalir dari kepalanya. Kebetulan pada saat itu saya sedang pulang untuk berganti pakaian. Ketika, saya kembali ke tempat menginap, seorang bapak-bapak sedang memegang kapas di atas kepala Saldy. Setelah saya tahu bahwa Saldy mengalami luka di kepala dari cerita Bapak itu, Bapak itu mengambil kopi. Saya mulai kebingungan, dalam hati… “lho, ada anak sakit koq malah buat kopi….”.  Dan ternyata kopi tersebut akan digunakan untuk mengobati luka di kepala Saldy. “Orang sini biasa klo ada luka, pake kopi saja ibu…”, ujar Bapak itu.

 

Salah satu perlombaan yang menarik adalah, lomba lari. Setiap SD dan SMP mengirimkan perwakilan 2 putra dan 2 putri untuk mengikuti lomba lari. Lomba ini diadakan jam 3 sore, matahari masih muncul dan sangat terik, dapat dibayangkan betapa panasnya hari itu. Lomba lari antar siswa SMP merupakan pertandingan pembuka. Sekitar 2000 meter jarak yang harus ditempuh. Belum setengah dari jarak yang ditentukan, terdapat peserta lomba yang pingsan dan lagi-lagi tim kesehatan pun tidak ada. Alhasil, panitia yang harusnya mengawasi peserta agar tdiak terjadi kecurangan, harus turun tangan. Saya melihat anak itu, seperti kesulitan nafas dan kepanasan. Dan tiba-tiba seorang Bapak-Bapak berumur 40an, menyiramkan 1 botol air minum ke badan anak itu. Anak itu tetap tidak bangun. Saya lalu menyarankan sebaiknya segera bawa anak itu dibawa tempat yang lebih teduh dan nyaman, karenan anak itu berusaha dibangunkan tetapi tidak berusaha dipindahkan dari pinngir jalan. Ucapan saya tidak diikuti, bahakan ada seseorang yang bilang..” sebentar juga bangun ini, ibu…”. Beberapa detik kemudian, tak jauh dari tempat saya berdiri, seorang anak dari sekolah lain, pingsan juga. Setelah kejadian itu, barulah anak yang pertama pingsan dipindahkan ke dalam ruangan. Saya diminta membantu menyadarkannya. Saya pun ikut ke dalam ruangan yang tentunya lebih nyaman dan teduh. Anak itu sudah mulai sadar tetapi belum dapat mengatur nafas dengan baik, sehingga terkesan anak itu kesakitan. Ketika saya mencoba membantu anak itu untuk bernapas dengan benar, ternyata beberapa ibu-ibu sedang sibuk membalurkan/mengolesi tangan dan kaki anak itu dengan bawang. Saya mulai kebingungan. Setahu saya anak ini kesulitan bernapas dan bukan masuk angin, jadi buat apa harus pakai bawang seperti anak kecil yang masuk angin. Saya mengabaikan apa yang dilakukan mereka dan tetap menuntun anak itu bernapas dengan tenang dan setelah cukup membaik, saya meninggalkannya.

 

Beberapa minggu setelah perlombaan berakhir, saya sempat mengobrol dengan dokter PTT disini. Dia telah bertugas lebih dari 1 tahun. Saya menceritakan tentang kejadian pemberian kopi dan pembaluran bawang. Dia hanya tertawa kecil dan dia berkata…” Itu belum seberapa, bahkan ada yang pakai oli dan minyak rem untuk mengobati luka akibat jatuh”. Sungguh, penanganan yang aneh. Lalu saya menanyakan kepada beberapa penduduk desa "apakakah tidak ada penyuluhan dari dokter dan puskesmas mengenani pertolongan pertama kecelakaan di lingkungan rumah?"  dan sebagian besar menjawab, " son ada"  (tidak ada). ok, saya langsung berpikir bahwa desa tempat saya mengajar berjarak sekitar 17 km dari puskesmas. Cukup jauh untuk berobat. Apalagi kondisi ini diperparah tidak adanya angkutan menuju puskesmas. Jadi kini siapa yang peduli kesehatan??


Cerita Lainnya

Lihat Semua