Ramadhanku Tak Sendiri

Amalia Fitri Ghaniem 9 Agustus 2013

Fitrii, gimana suasana Ramadhan di Rote?” pertanyaan itu sering teman-teman saya tanyakan kepada saya. Ketika saya jawab bahwa hanya saya seorang muslim di desa saya, kebanyakan dari mereka bersimpati memikirkan Ramadhan saya yang sendiri. Namun jika saya ulang kembali ingatan saya selama satu bulan kebelakang, saya tidak pernah merasa sendiri. Inilah cerita singkat saya mengenai suasana Ramadhan di desa Modosinal (Kabupaten Rote Ndao), desa yang semua penduduknya beragama Kristen.

Hari pertama puasa, saya mendapat banyak kiriman makanan untuk berbuka. Ada kiriman satu piring penuh ubi goreng dari tetangga depan rumah. Mamak pun memasak ikan dan sayur (penduduk sini biasanya hanya makan nasi saja atau nasi sayur). Lalu teman guru datang mengirimkan saya sepiring besar gulai kambing dan satu potong besar ayam goreng untuk saya sahur (“Tenang Ibu Fitri, ini sudah dijamin halalnya,” begitu kata beliau). Perhatian dari penduduk sekitar cukup mengobati rasa kangen saya dengan keluarga.

Setiap malam Mamak membangunkan dan menemami saya sahur, terkadang Mamak sudah masak atau Mamak menemani saya masak untuk sahur. Jika saya bilang “Mamak nanti malam tidak usah masak, biar beta makan abon sa”, maka Mamak tetap akan membangunkan saya dan menemani saya. Setiap hari jika sudah dekat buka, saya membantu Mamak masak, atau jika Mamak sedang pikul kayu maka saya yang memasak bersama adik-adik saya. Terkadang mamak membeli tepung untuk membuatkan saya pisang goreng, roti goreng dan makanan-makanan ringan untuk teman saya buka. Sering juga tetangga memberikan donat (yang bahasa Rotenya kukis a.k.a cookies).

Pengalaman lainnya, selama bulan puasa ini saya sudah diminta potong ayam dua kali untuk perayaan kematian dan syukuran rumah baru. Jika mereka makan daging, maka saya pun harus makan daging. Begitulah kira-kira prinsipnya. Dalam sebuah perayaan kematian, ayam yang niatnya akan saya potong susah sekali ditangkap sehingga harus tunggu gelap jika ingin menangkapnya. “Ibu’e maaf ya, ayamnya susah sekali ditangkap. Nanti kalau su buka, ayam son ada, ibu’e makan sedikit dulu sa. Baru makan ayam sama-sama kotong. Maaf ya ibu’e. Jangan sampai ibu’e son makan”, begitulah kata salah satu bapak kepada saya. Walaupun dalam hati saya tidak apa-apa jika tidak makan ayam, namun mereka merasa sangat bersalah jika saya tidak makan daging padahal mereka makan daging.

Setiap hari guru agama di sekolah saya, Pak Lafu, selalu bertanya “Bagaimana Ibu Fitri? Aman ko rumah? Ibadah son terganggu kan? Puasa lancar? Kalau ada apa-apa Ibu langsung lapor saja sama beta”. Kebetulan Pak Lafu adalah guru senior dan cukup disegani oleh penduduk desa. Guru-guru pun sering berkata “Kasian’e Ibu Fitri, lagi puasa, harus ngajar, muridnya nakal-nakal lagi.”

Saya pernah dua kali telat bangun, sehingga tidak sempat sahur, hanya sempat minum air dan vitamin saja. Mamak pun paginya berkata, “Ibu’e maafin mamak ya, kemarin mamak terlalu capai sehingga son bangunkan Ibu sahur. Bagaimana ini kasian ibu son sahur. Makan dulu sa sedikit sekarang ya Ibu’e”. Ba’i (panggilan untuk kakek) di rumah pun begitu mengkhawatirkan saya yang tidak sahur dan membujuk saya untuk makan sedikit saja nanti lanjut puasa lagi. “Bagaimana ini Ibu sonde makan selama sehari berarti, manusia sonde bisa itu kalau sonde makan. Su Ibu makan sa sedikit,” kata kakek. Saya hanya bisa tertawa dan mencoba menjelaskan bahwa saya tidak bisa. Tapi perhatian dari mereka benar-benar menambah semangat saya puasa. Ba’i pun khawatir jika saya pergi ke kota. Dia memikirkan bagaimana saya makan dan bagaimana saya sahur. Ketika saya bilang kalau di kota saya beli makanan, Ba’i pun bilang “Ibu’e, nanti kalau ke kota, su bawa beras sa. Nanti ibu masak sama teman-teman Ibu. Bagaimana kalau Ibu sonde dapat makan nanti?

Setiap sore, anak-anak sering melewati rumah saya sambil teriak “Sahuuuuuur, sahuuurrr” dan pukul-pukul dirijen. Terkadang mereka malah teriak “Sayuuuuuur, sayuuuur”. Mereka sebenarnya tidak tahu sahur itu apa, mereka hanya meniru dari iklan di tv. Namun karena mereka, setiap sore saya merasakan suasana Ramadhan. Walaupun tidak mendengar adzan, tapi saya mendengar suara “Sahuuuuur" (atau "sayuuuur"). Walau saya tidak sahur bersama keluarga, tapi karena Mamak menemani saya sahur (terkadang sambil menonton acara sahur di tv), saya tetap merasakan suasana Ramadhan. Walau di sini tidak ada yang berjualan ta’jil, tapi perhatian Mamak dan masyarakat yang suka membuat dan mengirimi saya kue untuk buka, membuat saya tetap merasakan suasana Ramadhan. Toleransi agama yang begitu besar di Modosinal membuat saya benar-benar terharu. Bahkan mereka menawarkan saya ayam untuk di potong ketika lebaran sehingga saya bisa buat opor. “Ibu’e nanti lebaran ayo kotong masak-masak. Rayakan lebaran bersama kotong sa. Pasti rame,” kata mereka kepada saya.

Murid-murid saya tidak tahu hari Idul Fitri itu apa, ketika saya mengajak mereka untuk membuat kartu lebaran dan video ucapan hari raya, mereka tidak tahu arti yang mereka ucapkan. Bahkan awalnya mereka selalu mengucapkan "Selamat Hari Raya Ibu Fitri" (karena nama saya Fitri). Kelucuan mereka benar-benar membuat saya terhibur. setelah beberapa kali latihan akhirnya mereka bisa mengucapkan kata-kata dengan benar.

Jika dipikirkan lagi, walaupun saya muslim sendiri di sini, tapi saya tidak benar-benar melalui bulan Ramadhan sendiri. Oh nikmatnya Ramadhan kali ini. Makna Ramadhan kali ini adalah bukan dimana kita berada, tapi bagaimana kita memaknainya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua