SEGER WARAS SUNGAI KUBU

Aik Vela Pratisca 2 Desember 2014

Matahari masih lambat bersinar. Suara klakson kapal Speed tujuan kota Palembang sudah berbunyi berulang kali memanggil penumpangnya. Tepat pukul enam pagi, saya merasakan udara menyegarkan di desa Karang Agung. Seger waras (segar dan sehat) menjadi doa dan rasa syukur saya setiap hari.

Pertama kali menginjakkan kaki di Karang Agung saya melihat rumah-rumah dari papan kayu yang berdiri di pinggir sungai, lalu hewan-hewan seperti ayam, kambing, dan anjing, berjalan-jalan di sekitarnya. Tidak ada perasaan takut atau khawatir. Saya justru merasa sehat.

Kemudian, saya mandi dengan air sungai yang saat itu berwarna coklat susu (begitu orang sini menyebut warna air sungai). Melihat air itu, saya masih ragu. Namun, panas di tubuh saya meminta untuk segera disiram air. Gayung pertama saya mulai. Lanjut gayung kedua yang tidak saya pikirkan lagi itu air sungai yang keruh. Mandilah badan ini dengan air sungai Kubu. Setelah mandi pertama kali tersebut, belum ada tanda-tanda gatal atau iritasi kulit. Itulah yang membuat saya ketagihan mandi dengan air sungai Kubu hingga saat ini.

 

Saya juga menyempatkan diri untuk main ke rumah warga sekitar. Banyak balita dan anak usia sekolah dasar. Hampir setiap rumah tidak memiliki halaman. Tidak ada spasi antar rumah. Banyak plastik dan sisa bungkus makanan bertebaran di atas tanah. Sesekali warga membakar sampah anorganik tersebut agar tidak semakin menumpuk. Anehnya, saya justru merasa sehat.

Kemudian, lauk-pauk yang digemari orang-orang di sini adalah ikan. Sayur dan buah jarang ditemui karena jauh dari tempat penghasil. Padahal, Saya adalah pecinta sayur dan buah. Pem pek dan cuka selalu ada setiap hari. Bahkan, minuman dengan es batu sangat laris. Berbeda jauh dengan tempe dan tahu yang merupakan lauk-pauk favorit saya. Tapi, lagi-lagi saya justru merasa sehat dengan menu baru yang hampir setiap hari adalah ikan.

Saya heran dengan diri saya sendiri. Mengapa saya tidak merasa khawatir dengan lingkungan baru ini. Padahal, sebelumnya Saya tidak tenang karena sering mengalami gangguan pencernaan akibat air dan makanan berserat yang kurang. Sampai pada suatu malam, Ibu saya menelepon.

“Piye manganmu? Ana sayur apa ora? Akeh banyu ‘kan nang kunu?”

Saya menjawab apa adanya, bahwa aku makan teratur dengan lauk ikan. Sayur ada, tetapi jarang ditemui. Air pun banyak, tetapi keruh. Mendengar jawaban Saya, Ibu menghela nafas.

“Ora usah bingung. Sing penting pikirane ditata supaya awake seger waras wae.”

Ya, Saya tersadar dari kata-kata Ibu. Menata pikiran dengan bijak bisa membuat Saya segar dan sehat. Berdamai dengan kenyataan lingkungan baru, membantu Saya bertahan dalam kondisi baru di alam sekitar. Ini juga yang mungkin membuat orang-orang di aliran sungai Kubu seger waras dan menjalani rutinitas dengan apa adanya.

Karang agung, 16 Juli 2014

22.00 WIB

Aik Vela Pratisca, Pengajar Muda angkatan 8,


Cerita Lainnya

Lihat Semua