Di Tepian Sumur Kita Bercerita

Agriani Stevany Kadiwanu 24 Oktober 2012
Berlindung di bawah pohon pala di samping sumur, aku nimbrung dengan seorang Ibu yang sedang mencuci pakaian. Cucian kotor menumpuk. Satu-satunya cara supaya aku kuat menghadapi tantangan mencuci baju kotor menumpuk menyebalkan dan membuat lelah jiwa ragaku itu ialah dengan cara bercerita dengan si ibu. Ada suatu kedekatan yang terjalin di antara sesama pencuci baju. Proximity. Kedekatan emosi. Kami mulai bercerita kesana-kemari. Bukan berarti kami bercerita sambil kesana dan kemari. Pahamilah bahwa itu ungkapan. Jangan coba-coba bilang, “apa sih?” karena aku sedang ingin bercerita dengan cara yang menyebalkan. Si Ibu, yang akrab disapa Tante Eta bercerita tentang anaknya dan bagaimana ia akan berusaha semampu mungkin agar anaknya bisa sekolah sampai tingkat tertinggi, atau minimal menyelesaikan wajib belajar 12 tahun. Aku akui, anaknya memang brilian. Anaknya terkenal pandai dan haus pengetahuan di kampung ini. Selain anak sulung yang kami bicarakan, kami juga ngobrol tentang anaknya yang kedua, seorang bocah berusia 5 tahun. Anak ini belum bersekolah, dan anak ini dekat denganku. Nama Felix, ia lucu dan sanguinis. Dia ceria dan tawanya yang melengking selalu dikumandangkan setiap kali dia gembira. Dia juga selalu punya banyak pertanyaan. Aku ingat Felix pernah bertanya, "Ibu, Sangir ini Indonesia?" atau "Ibu tahu bahasa filipina? saya tahu!" dan masih banyak pertanyaan lainnya lagi. Kembali ke tepi sumur. Setelah bercerita banyak, barulah aku tahu bahwa memang sejak di kandungan, felix sudah diperhatikan. Setiap bulan diperiksakan di dokter kandungan di Manado, karena kebetulan waktu itu sang ibu sedang bekerja di Manado. Ibunya juga memperhatikan kepenuhan nutrisi selama hamil, bahkan membeli vitamin untuk membantu perkembangan otak bayi dalam kandungan. Bisa dibayangkan, keluarga buruh dan nelayan yang begitu memperhatikan generasinya. Dari pembicaraan kami di tepi sumur, aku juga mengetahui sesuatu tentang anak itu yang cukup membuatku terkejut. “Enci, waktu itu, si Felix ada dapat liat dos. Ada nama saya. Dia lalu datang dan bilang, mama, ini mama punya dos? Napa ini ada mama punya nama. Ini ada huruf E-T-A. Trus kita tanya, Felix sudah bisa membaca? Siapa ada ajar? Lalu dia bilang Enci ada ajar” Aku terkejut dan reaksiku dan nada bicaraku seperti mendengar pernyataan cinta, “Masa? Felix sudah bisa membaca?” sambil menyentuh dada dengan tangan. Bergaya terkejut tapi cute. Jujur, i have no idea! Aku Cuma mengajarinya beberapa kali. Menggunakan lagu ABCD-Z, dengan cara diulang-ulang bertahap. Setiap kenal 5 huruf, baru ditambah lagi. Sambil bermain menggunakan lagu itu. Sambil duduk-duduk kami nyanyikan bersama, sambil berjalan-jalan juga kami nyanyikan lagu itu sembari melompat-lompat. Kadang kusuruh Felix bermain dengan spidol, menuliskan huruf-huruf yang pernah kuajari. Tapi aku tak pernah menyangka bahwa dia belajar secepat itu. Anak yang luar biasa :)

Cerita Lainnya

Lihat Semua