Hati Buatan Tuhan

Aghnia Mega Safira 28 Juni 2015

Hati Buatan Tuhan

Sebelum memulai bercerita mengenai kekuatan luar biasa banyak hati buatan Tuhan ini, ijinkan aku bercerita mengenai sekolah dimana aku diberi amanah untuk mengajar setahun ke depan. Sekolah ini adalah SD N Tambora, Dusun Tambora, Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima. SD yang hanya memiliki tiga ruang kelas ini ada di ketinggian kurang lebih 700 mdpl, di dusun paling atas Jalur Pendakian Kebun Kopi Gunung Tambora. Untuk mencapai sekolah dari kabupaten Bima diperlukan dua moda transportasi: bus umum selama 6-7 jam dan ojek motor untuk naik ke kaki gunung selama 1 jam.

Saat mendapat kabar aku akan tinggal kampung bawah, 1 jam jalan kaki dari sekolah, hatiku sedikit guncang karena syok. Saat pergi untuk pertama kali ke desa, aku menumpang pick up milik Pak Kades. Di atas pick up yang diguncang medan berat jalan setapak, hatiku ikut pula guncang. Aku yang tidak memiliki tubuh dan kebiasaan berjalan yang ideal harus naik turun gunung setiap hari, total 2 jam, dengan medan naik turun pula!

Hari selanjutnya di desa, aku diajak berkeliling desa ke kampung-kampung sebelah, tempat dimana guru-guru tinggal, menggunakan sepeda motor. Pikiran pertamaku tentu saja lega. Aku sudah biasa naik motor saat kuliah, medan seperti ini tak jadi masalah.

Di luar dugaan, aku hampir jatuh berulangkali. Ban selip karena pasir dan tanah kering sudah tak terhitung frekuensinya. Ada kalanya aku harus turun berjalan kaki dan membiarkan senior PM atau murid yang menemani membawa motor melewati tanjakan karena aku sendiri tak berani.

Gila, pikirku. Setiap hari guru-guru harus melewati medan ini untuk berangkat sekolah, selama setengah hingga satu jam. Sementara semua guru di sekolahku adalah guru sukarela yang digaji dari dana BOS, jumlahnya bahkan hampir tidak menutup bea transportasi. Aku pernah bertanya pada seorang guru, beliau ini selain mengajar juga aktif di berbagai forum pengembangan profesi guru. "Pak, apa sih sebenarnya yang membuat Bapak bertahan mengajar di atas (Atas adalah sebutan kami untuk SDN Tambora, yang berada di paling atas gunung dibanding SD lain di desa) ?" tanyaku saat ia sedikit curhat mengenai medan dan banyak tuntutan hidup yang notabene tidak bisa tercukupi hanya dengan mengharapkan gaji dari sekolah, serta berbagai tawaran pekerjaan lain yang bisa dikatakan lebih menjanjikan.

"Yah selain karena anak-anak, ini kampungku, bu! Aku pernah sekolah di sekolah itu, aku dulu SD di situ!" tandas beliau. Jujur, hatiku bergetar mendengarnya.

Kalau ada yang boleh dibilang lebih gila dari semangat para guru sukarela, adalah semangat anak-anak siswa. Siswa-siswa di sekolah berasal dari 3 kampung yang ada di Dusun Tambora. Untuk pergi sekolah setiap harinya, mereka harus mendaki dan menuruni bukit melalui jalan setapak. Kampung terdekat berjarak 45 menit jalan kaki dan kampung terjauh bisa ditempuh selama 1 jam jalan kaki.

Anak-anak ini menapaki jalanan begini setiap hari. Betul-betul setiap hari sekolah. Terkadang, karena alasan tuntutan kebutuhan hidup, para guru sukarela atau honorer ini tidak naik ke sekolah. Terkadang, di sekolah sama sekali tidak ada guru. Anak-anak tak jarang harus pulang dengan tangan kosong. Namun rupanya hal ini tak cukup kuat untuk patahkan semangat mereka. Esok pagi mereka tetap berjalan beramai-ramai, naik turun bukit, menyusuri hutan dan kebun kopi di kanan kiri untuk berangkat ke sekolah.

Ada tangan Tuhan yang mengatur mengapa aku yang bukan anak gunung ada di tempat ini. Namun jauh sebelum itu, ada banyak hati buatan Tuhan yang begitu kuat dan penuh semangat di tempat ini, dan kekuatannya akan terus bertahan lebih dari masa pengabdianku yang hanya setahun lamanya.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua