Di Bawah Sinar Lentera, Aku Jatuh Cinta

Adhiti Larasati 24 Juni 2011
“Jam begini listrik belum menyala, mungkin ada gangguan. Biasanya jika su padam begini listrik tarada sampai pagi” Itulah kalimat yang dikatakan Mamak saat jam 18.40 WIT listrik tak kunjung menyala di Desa Offie. Hari ini, 18 Juni 2011 adalah hari keduaku tinggal di desa berbukit di tepian Teluk Patipi. Gelap telah menyelimuti seisi rumah saat itu. Mamak kemudian menyalakan pelita yang terbuat dari botol obat bekas, dan berpendarlah cahaya lentera menerangi sudut – sudut rumah. Seketika saja, rasa galau menghebat dan memaksaku untuk menulis saat itu juga. Romantisme lentera menuntunku untuk bercerita, bahwa hari ini aku telah jatuh cinta. Sejujurnya sejak kemarin siang cintaku telah berlabuh pada desa eksotis di ujung timur Indonesia ini. Betapa tidak, Mamak dan Bapak yang kepala dusun menyambutku dengan begitu hangat. Bahkan Mamak memelukku saat aku tiba, seolah aku ini anaknya yang telah lama hilang, membuatku merindukan Ibu dan mendesak air mataku keluar dari sudut mata. Tetapi rasa itu belum memuncak karena tertahan oleh rasa rindu akan teman – teman Pengajar Muda dan rasa gelisah untuk terus menatap layar HP yang berlabel “no service”. Pengawas sekolah bernama Pak Kadang yang mengantarku untuk bertugas kemudian mengajakku mampir ke sekolah untuk melepaskanku secara resmi kepada Kepala Sekolah dan guru – guru disana, tetapi ternyata Kepala Sekolah sedang mengantarkan anaknya ke Jayapura dan guru – guru di SD Offie sedang berkuliah di kota Fakfak, sehingga yang menyambutku tinggal seorang Ibu Guru manis bernama Bu Sumarni. Mereka baru akan kembali sekitar tanggal 20 Juni. Di sana aku tak sempat berinteraksi dengan murid – murid karena mereka sedang melaksanakan ujian akhir sekolah. Setelah berbincang sedikit dengan Bu Sumarni yang ternyata berasal dari Sunda, kami kemudian pamit untuk kembali ke rumah Mamak dan Bapak. Di sanalah Pak Pengawas meninggalkanku dan menitipkanku pada mereka untuk menjadi bagian dari masyarakat Offie. Perjalananku dimulai. Setelah berbincang – bincang dengan Bapak, Mamak, dan Pak Penjaga sekolah yang ternyata adiknya Bapak, aku kemudian mengikuti Mamak ke dapur. Tak lama setelah itu para tetangga  berdatangan ke dapur untuk menyambutku. Di sana aku belajar bahwa dapur memang sarana yang tepat untuk menebarkan jejaring sosial di kalangan Ibu – ibu. Banyak informasi yang kudapat tentang sekolah, salah satunya tentang guru – guru disana. Sekitar pukul 14.00 WIT aku pamit untuk beristirahat. Sedikit kebablasan, aku bangun pada pukul 16.30. Setelah mengumpulkan nyawa aku meminta Mamak menemaniku menemui Bu Sumarni dan tetangga lainnya. Aku berbincang dengan cukup seru bersama Bu Sumarni dan keluarganya, mungkin karena kami sama – sama berasal dari Sunda walaupun Bu Sumarni sama sekali belum pernah menginjak tanah Sunda. Beliau lahir dan besar di Toli – toli, Sulawesi dan baru pindah ke Papua saat menjalani pendidikan PGSD di Fakfak. Setelah itu Mamak mengajakku untuk melihat perumahan guru dan Rumah Laut keluarga besar Bapak, karena saat itu tempat tinggalku belum diputuskan. Mamak & Bapak hanya memiliki satu kamar di rumahnya dan hal ini sempat membuatku sedikit khawatir walaupun Mamak berkata padaku ia tidak ingin melepaskanku dan berharap aku tinggal di rumahnya saja. Akan tetapi, berhubung guru –guru sedang tidak ada dan penunggu rumah laut (Bang Dahlan, keponakan Bapak) sedang pergi ke desa lain, kami akhirnya berkeliling desa. Kami menemui Sekretaris Desa Pak Umi dan keluarganya, menyapa anak – anak yang sedang berceloteh riang bermain di jalanan, dan akhirnya kembali ke rumah untuk mandi dan sholat magrib. Semua menyambutku dengan sangat baik, membuatku merasa tenang dan diterima. Tak lama kemudian Pak RT Usman mengunjungi rumah kami. Perbincangan kami seputar tujuanku datang kemari dan masalah – masalah desa (akan kutuliskan pada bagian tersendiri jika nanti saatnya tiba). Mereka berkata padaku sebaiknya aku menjadi guru tetap saja dan meminta diangkat PNS kepada Dinas Pendidikan setelah mengetahui bahwa aku hanya akan mengajar selama setahun di Offie. Hal ini membuatku tersenyum simpul. Senyum sarat makna dan tanda tanya (memang mungkin saja aku menjadi terlalu jatuh cinta pada desa ini suatu hari nanti). Pak RT juga menyinggung soal jodoh, hal yang juga disinggung oleh hampir semua orang saat aku berbincang – bincang. “Dulu guru – guru datang kemari juga bujang lalu bertemu jodohnya disini, seperti Bu Sumarni dan Bu Nur, siapa tahu ibu juga berjodoh di sini”. Aku kembali tersenyum simpul, memang sih, siapa yang tahu? Tapi aku menjawab dengan kalimat pamungkas bahwa aku dilarang menikah oleh Yayasan selama bertugas.  Obrolan dengan Pak RT berakhir ketika kami sudah sama – sama mengantuk dan kekurangan bahan pembicaraan. Pukul 22.30 aku tidur di kamar bersama Mamak sementara Bapak tidur di luar (hal yang sungguh membuatku tidak enak hati). Dengan ditemani lentera aku masuk ke alam mimpi untuk menutup hari dan mengawalinya kembali keesokan harinya, yaitu hari ini. Setelah solat subuh Mamak mengajakku ke pasar kaget, pasar yang hanya ada setiap hari Sabtu pagi. Jaraknya cukup jauh karena berbeda kampung. Untuk menuju ke pasar kami harus melewati kelokan jalan raya berbukit, mungkin 5 sampai 6 tanjakan dan turunan. Aku bersemangat sekali pergi ke pasar, sekaligus sarana menguji stamina setelah 7 minggu pelatihan di Hubla. Ternyata olahraga pagi di Hubla sangat membantuku melewati medan ini.  Aku cukup menyesal dulu sering mengutuki olahraga pagi dengan lolongan sirenenya yang kini aku rindukan.  Sedikit lelah, tapi rasa segar udara pegunungan-teluk di pagi hari membuatku merasa hidup. Kabar lebih baik lagi : ternyata di pasar ada warnet, oh wow WOW! Bahagianya aku. Walaupun baru beroperasi saat listrik mulai menyala yang artinya hanya buka pada saat malam hari, hal itu cukup membuat hatiku serasa ditetesi embun pagi. Akhirnya aku bisa punya akses ke dunia luar tanpa harus ke kota terlebih dahulu. Kabar baik kembali datang : ternyata di desa seberang ada Puskesmas ! Puji syukurku kuucapkan pada Allah karena pada awalnya aku diberitahu disini tidak ada fasilitas kesehatan. Lengkap sudah kegembiraanku pagi itu. Sepulang dari sana, aku langsung bersiap – siap untuk pergi ke sekolah. Akan tetapi sifat leletku ketika mandi masih terbawa sehingga aku terlambat tiba di sekolah (artinya besok – besok aku harus mandi lebih pagi). Pukul 07.45 aku tiba di sekolah. Terlambat 15 menit, Bu Sumarni sedang mengawasi ujian kelas IV, kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Aku ditugasi untuk mengawasi ujian kelas III dan V. Di sanalah rasa cintaku mulai memuncak. Tantangan pertamaku. Kelas III dan V berada di satu kelas tanpa sekat walaupun SD Offie memiliki fisik bangunan yang sangat layak dan bagus. Hari ini ujian IPA.  Aku mulai membagikan lembar soal dan lembar jawaban kepada mereka pada pukul 07.50. Setelah selesai membagikan soal dan lembar jawaban, aku minta izin untuk mengambil tas di ruang guru sambil berpesan agar tidak bekerjasama. Saat hendak berjalan kembali ke kelas, aku mencuri – curi waktu untuk berkenalan dengan kelas I dan II yang sudah tidak ada KBM maupun UAS. Anak – anak di Offie ternyata anak yang pemalu. Ketika aku minta mereka berdiri di depan kelas untuk menyebutkan nama dengan suara lantang, mereka tidak mau dan hanya duduk di bangkunya masing – masing, tersenyum malu – malu dan tertunduk, kemudian menyebutkan namanya dengan sangat pelan. Berhubung waktuku tidak banyak, aku biarkan saja sikap malu-malu itu dan kembali ke kelas III & V setelah perkenalan dengan seluruh murid kelas I & II usai. Saat masuk kelas, kekacauan terjadi : mereka sedang sibuk bekerja sama. Aku membiarkan kondisi ini menahan luapan emosi sambil memikirkan cara untuk mengubah kebiasaan ini suatu hari nanti. Lagipula, salahku sendiri meninggalkan mereka walaupun hanya sebentar. Aku hanya berpesan kepada mereka “Lebih baik hasil ujiannya jelek daripada kalian mencontek teman”.  Nasihatku bagaikan angin lalu, mereka tetap saja saling bekerjasama. Aku menghela napas. Ya, semuanya butuh proses bukan? Pukul 09.00 satu persatu dari mereka mulai menyelesaikan ujiannya. Tepat pukul 09.30 seluruh murid telah menyelesaikan ujian. Bu Sumarni memintaku untuk membahas soal ujian bersama anak – anak setelah lembar jawaban dikumpulkan. Sedikit kaget, aku berusaha mengingat – ingat kembali pelajaran IPA di kala SD dan selama pelatihan I-Teach di Hubla. Beruntungnya, ada kunci jawaban dari dinas walaupun tingkat akurasi kunci jawaban cukup diragukan karena banyak terdapat kesalahan ketika aku periksa. Tapi aku merasa, ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk mengenal mereka dan mengukur sejauh mana mereka telah belajar. Aku tidak langsung melakukan pembahasan soal. Kukenalkan mereka pada lagu “Selamat Pagi” yang biasa kami gunakan saat PPM. Kemudian kuajak mereka berkenalan seperti kelas I dan II, disini aku juga meminta mereka menyebutkan cita – citanya. Hal yang membuat perasaanku membuncah – buncah. Di awal perkenalan, murid – murid sangat sulit menyebutkan cita – citanya. Tak ada satupun yang mau menyebutkan cita – citanya, “Ayo, kalau sudah besar nanti mau jadi apa?”. Tak ada sahutan, hingga akhirnya aku berkata “Ibu bantu ya, mungkin ada yang ingin menjadi petani, dokter, guru, pedagang, polisi?” . Murid – murid tetap bergeming. Akhirnya aku meminta murid yang berada di pojok kanan paling depan untuk lebih dulu menyebutkan nama dan cita – citanya. Rijal namanya. Setelah berpikir cukup lama akhirnya ia berkata bahwa ia ingin menjadi petani. Ada perasaan lega dalam hatiku. Setelah Rijal, aku minta anak – anak secara berurutan menyebutkan cita – citanya dan barulah disana mereka berani menyebutkan cita – citanya. Kosa kata mereka tentang cita – cita masih terbatas, tetapi aku bahagia pada akhirnya mereka mau menyebutkan cita – citanya. Ada yang ingin menjadi petani, guru, dokter, tentara, polisi, suster, pemain bola, bahkan menjadi dosen Matematika. Aku mengajak mereka mengapresiasi setiap cita – cita temannya dengan bertepuk tangan. Dan disanalah perasaanku semakin membuncah. Ada sorot bahagia di mata mereka ketika bertepuk tangan. Ada binar –binar cahaya yang melambangkan harapan. Ada batas – batas yang hilang ketika mereka tertawa dan bertepuk tangan. Ya, mereka telah berani bermimpi ! Tak cukup sampai disini, aku lanjutkan dengan pembahasan soal. Ketika aku membahas satu persatu jawaban yang ada, kebanyakan dari mereka tercengang – cengang. Ternyata mereka belum sepenuhnya memahami materi pelajaran selama ini. Aku mafhum dengan kondisi ini karena mereka tidak memiliki buku pegangan. Misalnya saja ketika membahas tentang pusat benda – benda langit. Kebanyakan dari mereka menjawab bumi. Akhirnya kujelaskan pada mereka bahwa mataharilah pusat benda – benda langit dan bumi yang justru mengelilingi matahari. Sedikit di luar pelajaran kelas V, kujelaskan juga tentang tata surya dan planet – planet yang mengelilingi matahari. Di sana mata mereka menyiratkan tanda berpikir. Sorot mata mereka adalah sorot mata yang penuh rasa ingin tahu, sosok – sosok yang haus akan sebuah cakrawala baru. Ketika membahas energi yang dapat dihasilkan matahari, tak kusalahkan ketika ada yang menjawab listrik walaupun jawaban sesungguhnya adalah panas, pun sesungguhnya mereka tidak mengerti bagaimana matahari dapat menghasilkan listrik. Kupaparkan sedikit tentang solar cell, kusebut itu sebagai “teknologi baru” dimana energi panas matahari dapat disimpan untuk kemudian diubah menjadi energi listrik. Aku juga bilang bahwa teknologi ini masih mahal dan hanya negara – negara maju yang telah menggunakannya secara masif. Kusisipkan mimpi pada mereka bahwa pada suatu hari nanti, kita pun akan dapat menghasilkan berbagai teknologi canggih layaknya negara – negara maju itu, karena merekalah yang akan membuat hal itu menjadi nyata asal mereka rajin belajar. Dan ketika aku berkata demikian, mereka tersenyum senang. Ada binar yang membiusku, membawa damai.  “Belajar itu asik kan?”. Kali ini dengan cepat mereka menganggukkan kepala dan serempak berkata riang “Iyaaaaaaaaa”, dan aku akan terus menyisipkan mimpi – mimpi itu dalam hati – hati mereka. Pelan – pelan ya Nak, kita wujudkan mimpi itu bersama – sama :) Offie, 18 Juni 2011 Sinar lentera telah tergantikan lampu ketika tulisan ini selesai dibuat. :)

Cerita Lainnya

Lihat Semua