Pernikahan versi Mandar
Adeline Susanto 4 Desember 2010
Minggu, 21 November 2010
Baru pulang dari kawinan saudaranya rekan guru, Bu Rapidah. Yah, di sini mah sepertinya semuanya saudara. Baru benar-benar sadar bahwa Majene itu kecil sekali. Siang tadi aku diundang makan di rumah seorang kawan, guru olahraga di SDN 21 Totolisi yang kebetulan di’perintah’ pengawas sekolah wilayah 3 Sendana untuk mengangkut saya ke Limboro pekan lalu, di Kampung Baru Kota Majene. Ternyata, rumah pribadi Ketua Kecamatan Sendana berada di sebelah rumahnya dengan petak kosong kecil yang memisahkannya. Saat ingin pulang, tiba-tiba bertemu dengan Pak Camat yang meminta saya berkunjung ke rumahnya. Dengan halus saya menolak dengan alasan sudah janji dengan Bapak di rumah untuk pergi ke kawinan. Seperti kebanyakan orang kota, kepada orang baru saya tidak suka bercerita detail tentang apa yang akan saya lakukan atau tentang siapa yang menikah dalam hal ini. Pak Camat bertanya dan dengan enggan saya jawab saudaranya rekan guru. Ternyata, Pak Camat mengenalnya, dan bahkan tahu nama serta jabatannya. Dalam kaget akan kecilnya Majene, saya mencoba bersikap biasa saja. Hidup adalah panggung sandiwara to?
Kawinan di Majene lama sekali rupanya. Undangan jamuan pernikahan dimulai pukul 13.00-17.00 lalu dilanjutkan 19.00-selesai (??!!?). Karena siang masih di Majene, saya datang bersama Ibu sekitar jam 19.30. Kata Bu Anti, sahabat saya sesama guru, biasanya perjamuan yang ramai itu siang sedangkan malam hanya jamuan sederhana. Yang saya alami cukup berbeda. Jamuan masih ramai. Dekorasi warna-warna stabilo dan emas. Perempuan-perempuan cantik berbaju Mandar dan bersarung indah mewarnai upacara adat yang tampak megah itu. Kedua mempelai terlihat begitu serasi difoto di atas panggung. Mempelai pria menggunakan jas merah marun dan wanitanya menggunakan gaun putih yang cantik. Hal berbeda yang saya temui dalam perkawinan-perkawinan sebelumnya di Jawa adalah ketiadaan semacam buku tamu. Sumbangan? Dimasukkan ke wadah yang tepat berada di depan kedua mempelai. Sambil mengucap selamat, sambil memasukkan sumbangan. “Tidakkah akan membuat mempelai gundah di hari nikahnya kalau ada orang-orang, seperti saya, yang tidak memberi sumbangan?” pikir saya melihat mempelai selalu melihat ke arah wadah sumbangan.
Turun dari panggung selepas mengucap selamat, saya dan Ibu menuju tempat makan prasmanan. Makanan baru dibuka kalau ada yang mendatanginya. Menarik karena menurut saya mereka sangat menjaga kebersihan makanan. Setelah makan, Ibu mengajak saya keluar dan mengambil souvenir berupa gantungan kunci. Selesai? Rupanya belum. Di sebelah panggung mempelai, ada panggung lain yang dilengkapi sound system bertuliskan REZCheck. MCnya mengatakan bahwa perlengkapan dan pemanggungnya itu dari Majene. Pemanggungnya, seperti yang bisa diduga tapi baru saya lihat, adalah jejeran wanita cantik yang bernyanyi dangdut dengan gaya yang begitulah serta pakaian agak kekecilan. Untung mempelai pria tidak dapat melihat performa tersebut karena dibatasi kain. Mungkin juga hal ini disengaja. Apa jadinya kalau di malam pertama pernikahan, orang yang dibayanginya adalah wanita-wanita semok tersebut?
Sebagai orang asing yang tidak suka keramaian apalagi ditambah cahaya remang-remang dengan lampu warna-warni, saya merasa tidak nyaman. Sepertinya Ibu merasakan hal yang sama. Ia tidak suka makanan yang disajikan karena tidak ada ikan (baru tau juga kalau dia sebegitu suka ikan) sehingga hanya makan nasi dan kuah sayur. Saya sendiri makan enak dengan sayur, telur, abon, dan sate yang disajikan. Setelah tidak sampai 10 menit menonton performa panggung yang ramai ditonton masyarakat sekitar, Ibu mengajak saya pulang dan langsung saya iyakan.
Bicara tentang pernikahan orang Mandar, pasti bicara juga tentang tawar menawar. Untuk dapat meminang seorang gadis, seorang laki-laki harus bekerja keras untuk mendapatkan uang banyak. Semakin tinggi kualitas seorang gadis, semakin tinggi pula pihak keluarga dapat mengajukan “harga”. Laki-laki terkadang dapat juga melakukan penawaran yang lebih rendah dan berusaha mencapai kesepakatan bersama. Dalam prakteknya, laki-laki harus menyiapkan nominal sekitar dua kali lipat dari harga kesepakatan karena umumnya pernikahan dilakukan dua kali, di pihak wanita dan pria. Kata Bapak, pria di sini mungkin baru menikah umur 25-27 sedangkan perempuan umur sekitar 16 atau selepas SMP. Bagi seorang gadis ABG, mendapatkan pesta merupakan suatu hal yang diimpikan sehingga banyak dari mereka tidak keberatan kala dipinang. Adakalanya, calon mempelai pria mencari pinjaman untuk menikah dan masih dalam proses membayar ketika anak ke-empatnya lahir. Kata lainnya, menurut saya, adalah istri dan anak-anaknya belum “lunas”.
Pulang dari pernikahan, biasanya orang-orang yang sudah menikah bernostalgia akan pernikahannya sedangkan yang belum menikah membayangkan dirinya segera menikah dengan pesta yang lebih meriah. Saya pribadi tidak suka perayaan pernikahan untuk menunjukkan hirarki sosial. Buang-buang uang. Lebih baik uangnya dimanfaatkan untuk nikah tamasya atau keperluan rumah tangga daripada memberi makan orang-orang yang sudah berlimpah makanan di rumah. Semoga dimaafkan kalau suatu saat saya hanya memberi “berita pernikahan” dan bukan undangan resepsi nikah.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda