Menjadi Abdul yang Lebih Baik

Ade Ayu Kartika Sari Rezki 13 Mei 2014

Abdul Majid, Abdul Hamid, Abdul N, Abdul S. Di sekolah, nama Abdul adalah nama yang sering saya jumpai. Sepertinya  banyak orang tua yang menyukai nama Abdul untuk diberikan kepada anaknya.

***

Siang itu, seperti biasa, selepas mengajar Matematika saya duduk di ruang guru.

“Bu, mau masuk kelas 3 kah?”, tawar Bu Budi, guru wali kelas 3.

Di sekolah, saya menjadi guru Matematika dan hanya mengajar kelas 4, 5, dan 6. Tawaran Ibu Budi untuk mengajar kelas 3 ini, merupakan tawaran untuk kesekian kalinya. Memang anak-anak kelas 3 sering meminta saya untuk masuk mengajar di kelasnya.

“Boleh bu, saya mengajar Bahasa Indonesia ya bu. Membaca puisi.”, jawab saya.

Ya, kali ini saya meng-iya-kan tawaran Bu Budi, karena sudah mempersiapkan materi yang mau diajarkan. Buku yang berisi kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono pun saya bawa.

Ketika langkah saya baru menginjak masuk kelas 3, saya disambut dengan “meriah”.

“Horeee, Ibu Ade masuk kelas!!!”, teriak mereka sambil berlari dan melompat kesana-kemari.

Baiklah, saya anggap anak-anak terlalu larut dalam kegembiraan. Setelah sedikit lebih tenang, saya meminta anak-anak untuk maju satu per satu membaca salah satu puisi dalam buku yang saya bawa.

Dua anak sudah berhasil maju, dan membawakan puisinya dengan baik. Sampai pada saat menunjuk giliran ketiga, semua anak terlalu bersemangat dan ingin maju sesegera mungkin. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba ada seorang anak yang menangis. Anak-anak serempak menunjuk Abdul si ketua kelas yang katanya mendorong-dorong, sehingga temannya itu jatuh dan menangis. Saya mendekati Abdul, memintanya untuk meminta maaf kepada temannya. Abdul hanya terdiam.

“Iya itu bu! Abdul ketua kelas malah bikin ribut”, kata anak-anak lain.

“Nah, Abdul dengar kan. Abdul ketua kelas harusnya bantu Ibu supaya teman-temannya tidak ribut. Eh, ini malah bikin ribut”, tambah saya. “Ayo, minta maaf.”

Abdul tetap bergeming. Matanya mulai berkaca-kaca. Tangannya menutupi wajahnya. Wah, sekarang malah dia yang ikut menangis.

Aih, rasanya habis sudah sabar saya. Keras kepala sekali anak ini. Saya pikir pengalaman masuk kelas 3 untuk pertama kalinya akan menyenangkan. Saya pun memutuskan untuk mengakhiri pelajaran dan keluar kelas.

Esoknya, saya ceritakan peristiwa tersebut ke wali kelas 3. Kabar bahwa Ibu Ade Ayu marah di kelas 3 pun sudah terdengar sampai ke kelas-kelas lainnya. Saat jam istirahat, beberapa anak kelas 3 menghampiri saya.

“Bu, kami minta maaf yang kemarin itu ya bu”, kata mereka.

“Iya, Ibu juga minta maaf ya”.

“Bu, Abdul sudah minta maaf ke Ibu kah?”.

“Hmm? Belum.”. Ternyata di kelas, Bu Budi meminta anak-anak kelas 3 untuk meminta maaf ke saya, khususnya Abdul si ketua kelas itu.

***

Di sore hari saat sedang les, saya melihat Abdul melintas di depan saya.

“Eh ada Abdul, mau main apa?”, sapa saya.

Tanpa menoleh, dia ngeloyor pergi begitu saja. Wih, saya merasa diabaikan.

“Abdul marah bu, sama Ibu”, ujar anak lainnya.

Haaa... anak itu marah dengan saya?

***

Hari pun berganti. Saya memikirkan mengenai sikap Abdul itu. Bukannya sebagai ketua kelas, dia harus memberi contoh yang baik ya? Bukannya melompat-lompat, dan justru membuat temannya menangis. Kenapa dia bersikeras tidak mau meminta maaf ya? Bahkan sekarang Abdul marah dengan saya. Ckckckck, saya merasa perlu menemukan cara untuk merubah sikap Abdul yang keras hati itu. Menjadi Abdul menjadi lebih baik.

Semesta sepertinya meng-amin-i. Di pameran buku, saat mencari buku-buku untuk bacaan anak-anak, saya menemukan sebuah buku berjudul Kisah 10 Abdullah yang berisikan kisah-kisah inspiratif dari orang yang bernama Abdullah. Aha, ini buku yang tepat untuk dibaca Abdul. Semoga setelah membaca buku ini, dia jadi sadar dan mau merubah sikapnya, harap saya.

***

Saat sedang les, Abdul pun datang lagi. Kali ini, dia mengikuti les yang saya adakan. Tapi, sikapnya masih sama, selalu menghindar bertatap wajah dengan saya. Nanti sepulang les akan saya pinjamkan buku itu, pikir saya. Les pun usai, saat satu per satu anak pulang, Abdul menghampiri saya

“Bu, saya minta maaf ya bu” ucapnya lirih.

Kaget. Saya terdiam beberapa detik. Abdul minta maaf duluan? Padahal, saya belum sempat meminjamkan buku itu.

“Eh, iya dul” jawab saya yang tak siap. Abdul pun langsung berlari.

Esoknya, saat di sekolah saya menghampiri Abdul, sekarang giliran saya yang meminta maaf, dan mengajak untuk berbaikan. Kami saling menautkan jari kelingking, tanda saling berbaikan.

***

Sekarang Abdul atau yang lebih akrab dipangggil Dung-Dung (agar tidak tertukar dengan Abdul-Abdul yang lain) menjadi salah satu anak yang paling rajin les. Saat kami berjanji untuk les pukul 3 sore, pada pukul 2 lebih sedikit, dia sudah ada di rumah saya, “menjemput” ibu gurunya.

Ah, mungkin saat itu butuh waktu bagi Abdul untuk memikirkan kesalahannya. Mungkin untuk meminta maaf, Abdul perlu mengumpulkan segala keberaniannya (Kadang meminta maaf, bukanlah hal yang mudah kan?). Lalu, apakah semua kesalahan ada pada Abdul?

Saya jadi berpikir lagi, mungkin saat itu Abdul merasa terdesak, apalagi teman-temannya memojokkannya. Disaat tidak ada satupun yang membelanya, saya sebagai guru bukannya bersikap netral, malah memaksanya untuk meminta maaf. Tanpa bertanya dulu atau sedikit bersabar lagi. Hmmm... pantaslah jika Abdul merasa kesal.

Dibalik keinginan untuk menjadikan Abdul bersikap lebih baik, saya jadi belajar untuk memahaminya dulu dengan (lebih) baik.

 

 

Rantau Panjang, Mei 2014


Cerita Lainnya

Lihat Semua