Eding Akhirnya Sekolah

AdamHastara Aji 2 Januari 2016

“Pak Adam aja yang masuk kelas satu, saya kangen sama bapak, enak kalau sama bapak, kita nyanyi-nyanyi di kelas”, ucap seorang murid yang akhirnya membuat saya bangkit dari meja kerja saya dan berangkat menuju kelas satu untuk mengawas ujian Bahasa Inggris padahal saat itu saya sedang mengoreksi hasil ujian kelas lain.

Edi nama murid itu, teman-temannya biasa memanggilnya Eding. Lebih dari satu semester yang lalu, anak laki-laki ini tiba-tiba ikut bergabung  dengan murid-murid saya lainnya saat saya sedang belajar malam bergilir di desa Muara Telake bagian hilir. Postur tubuhnya yang lebih tinggi dari anak-anak murid saya, membuat saya mengira dia adalah salah satu murid kelas tinggi madrasah di seberang SDN 005 Long Kali tempat saya mengajar. Namun saat saya menanyakan kelas berapa dia, anak-anak yang lain serempak menjawab, “Dia gak sekolah pak!”. Iya, setelah saya telusuri lebih lanjut Eding hanya pernah merasakan bangku sekolah selama beberapa bulan saja dan itu sudah lima  tahun yang lalu, dan saya tahu kalau Eding sebenarnya masih ingin bersekolah, namun orang tuanya lebih mendukung jika Eding membantu pekerjaan orangtuanya.

Sampai di saat pembukaan pendaftaran murid baru SDN 005 Long Kali, Eding yang sebelumnya sudah berkata ingin bersekolah lagi tak kunjung mendaftar. Memang SDN 005 Long Kali menerapkan aturan pendaftaran murid baru yang sangat panjang waktunya dari mulai stau hari setelah pembagian rapor sampai hari pertama masuk tahun ajaran baru, namun yang dilayani di sekolah hanya tiga hari, selanjutnya pendaftaran  dilakukan di rumah guru yang tinggal di desa. Saat itu sudah hari terakhir pendaftaran yang dilayani di sekolah, ketidakhadiran Eding ataupun orangtuanya membuat saya resah, sebagai seorang pengajar muda terakhir harusnya saya mampu menggerakkan dewan guru untuk mendatangi langsung anak-anak Muara Telake yang putus sekolah, ataupun menggerakkan orang tua agar mau mendaftarkan anaknya di sekolah. Namun, ternyata saya belum bisa melakukan hal itu, dan saya ingin bergerak sendiri karena saya rasa akan lebih cepat. Saya sangat khawatir jika Eding tidak mendaftar sekarang, mungkin Eding tidak akan pernah bersekolah selamanya, karena kemungkinan orangtuanya datang ke sekolah atau ke rumah guru untuk mendaftarkan Eding sangatlah kecil.

Saat itu akhirnya saya berangkat ke rumah Eding, dalam perjalanan, saya berpikir bahwa ini hal yang yang bukan seharusnya saya lakukan, tetapi pada akhirnya saya mengabaikan semua pikiran itu. Saya hanya terfokus pada satu tujuan kalau Eding harus sekolah. Sesampainya di rumah Eding, saya kembali bertanya, “Ding, jadikah kamu mendaftar sekolah?”, Edingpun mengiyakan. Setelah mendapat jawaban dari dia, saya langsung menemui orangtuanya untuk meminta izin mendaftarkan Eding ke sekolah, sekaligus meminta berkas kartu keluarga dan akte kelahiran untuk keperluan pendaftaran. Ibunya Edingpun mengizinkan dan memberikan kartu keluarga yang tidak disertai akte kelahiran, karena Eding sejak lahir tidak mempunyai akte kelahiran. Semua itu karena sulitnya dan mahalnya biaya untuk mengurus akte kelahiran yang harus dibuat di kota kabupaten yang untuk ke sana memerlukan waktu tempuh kurang lebih 3 jam dari Muara Telake. Sekalipun belum memiliki akte kelahiran, untungnya dewan guru SDN 005 Long Kali tetap mengizinkan Eding untuk mendaftar sekolah. Hari itu Eding resmi menjadi calon siswa SDN 005 Long Kali.

Waktupun terus berjalan, selama satu semester ini, Eding yang kini sudah menjadi siswa kelas satu dan duduk sebangku dengan Randi, seorang siswa yang pernah bersekolah sampai kelas tiga di sekolah lain, namun harus kembali mengulang dari kelas satu karena rapor di sekolah sebelumnya hilang. Sekalipun usia mereka di atas rata-rata usia teman-temannya, namun mereka selalu menunjukkan semangat untuk bersekolah dengan hadir tepat waktu. Bahkan Eding mampu memberi contoh cara berseragam yang rapi kepada teman-temannya. Pernah suatu hari saya bertanya pada Eding, “Ding, gimana rasanya sekolah?enak kan?”. Eding menjawab, ‘Iya pak enakan sekolah soalnya kalau saya gak sekolah, saya disuruh kerja ikan terus, capek pak, panas juga”. Mendengar jawabannya saya merasa senang karena melihat Eding sangat menikmati setiap waktunya di sekolah.

Tanggal 4 Januari 2016 nanti Eding akan memasuki semester kedua. Eding yang sangat antusias ketika diajak berhitung dalam Bahasa Inggris, kini sudah mampu mengenal semua abjad dan membaca gabungan dua sampai empat huruf. Memang masih menjadi beban pikiran saya, sampai sejauh mana Eding akan bertahan untuk terus bersekolah, sementara usianya sudah semakin remaja. Saya hanya bisa berharap semangat Eding untuk belajar tidak pernah padam, dan orangtuanya tetap mengizinkan Eding untuk bersekolah, tidak berhenti sampai ketika Eding bisa sekedar membaca, menulis, serta berhitung.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua