Mimpi Sederhana yang melampaui batas Desanya

Abdul Ghofur 4 Mei 2014

Hobi petualangan yang di mulai sejak saya masuk di UGM, dan kini saya menjadi bagian dari gerakan Indonesia mengajar dengan sebutan pengajar muda angkatan VII. Ketika masih mahasiswa saya suka berpetualangan itu sekedar ingin tahu tentang wisata dan budaya yang di miliki negeri ini yang konon keduanya itu sangat populer terdengar oleh orang-orang yang suka melancong. Namun kini petualangan ini berbeda dari biasanya, di gerakan Indodnesia mengajar saya di kirim ke suatu daerah yang sebagian tanpa listrik karena masih penuh dengan hutan. Araelo, sebuah dusun di kecamatan sawang kabupaten Aceh Utara yang dulu sebagai sarangnya GAM.  Di ujung barat Republik inilah saya merasakan atmosfir pendidikan laksana langit dan bumi, karena jauh dari kecamatan apalagi kabupaten. Di tempat baru inilah saya mulai mengalami dan mengerti akan realitas dunia pendidikan di ujung barat pelosok negeri ini. 

            Tiga bulan sudah saya lalui di daerah penempatan. Saya di hadapkan pada kenyataan pendidikan bangsa ini, Dari kaca mata seorang guru yang ada di pleosok. Suatu hal yang yang dulu hanya bisa di liat di TV atau berita di media, kini pemandangan berada tepat di depan mata dan menjadi bagian dari keseharian saya, jalanan menuju sekolah yang naik dan rusak, bangunan sekolah yang masih polos, meja dan kursi yang bergantian di saat ada guru yang masuk kelas serta buang air besar yang harus lari ke hutan sebagai wc-nya. siswa-siswi dengan seragam kumal alias lusuh bahkan tak berseragam serta menggunakan sandal jepit adalah nyata adanya. Maka, meski sekarang saya benar-benar menjalaninya sebagai kehidupan sehari-hari, rasanya mulut ini serasa terkunci untuk mengeluh, mencaci dan ngomel-ngomel, terutama jika melihat dan mengingat semangat dan mimpi anak-anak pelosok yang begitu polos dan luar biasa.

            Rozali dan hamal namanya, dua anak yang pernah jadi pemeran Si-Bolang Araselo ini begitu bersahabat karena selalu berdua ketika bermain, sangking akrabnya keduanya, mereka pun punya mimpi dan cita-cita sama, yaitu ingin jadi artis kelak kalau sudah besar. Hamal pandai menyayi sedangkan rozali suka bermain alat musik, sehingga terkadang mereka berdua menyanyi bersama-sama. terutama lagu-lagu aceh kesukaanya. Ketika di sekolah dua siswa inilah yang sering jadi patner untuk jadi keamanan kelas tatkala kelas lain ribut maupun gaduh karena kelas yang lain kosong. Sedangkan di luar sekolah mereka berdua terpisahkan oleh jarak yang lumayan jauh, si Hamal di lorong empat, sedangkan Rozali lorong tiga. kebanyakan anak-anak Araselo memang besar di didik oleh lingkungan alam yang lumayan menantang.

            Hamal dan Rozali sekarang sudah kelas enam dan sebentar lagi mereka juga akan menghadapi ujian sekolah sebagai syarat mereka lulus untuk meneruskan ke jenjang selanjutnya. Di sela-sela keseharian mereka di rumahnya masing-masing, saya pun sempat berkunjung dan ngobrol santai ke rumah mereka berdua. Aktivitas mereka selepas sekolah biasanya memang membantu kedua orang tuanya, baik itu pergi ke kebon, kupas pinang maupun bantu potong kayu. Di sela-sela mereka membantu orang tuanya lah saya bincang-bincang sama mereka tentang mimpi dan mau ke mana setelah kalian berdua lulus sekolah.

            Awalnya Hamal menjawab, saya mau pergi ke dayah pak, biar pintar ngaji. Sedangkan Rozali menjawab saya akan melanjutkan sekolah pak, tapi tidak di sawang, melainkan di kampung saya dulu pak. Wah keren sekali Rozali, namun setelah memuji Rozali.

saya kembali bertanya sama Hamal?

Saya: Di dayah hamal sambil sekolah tidak,

 Hamal: tidak pak,

Saya: kenapa tidak hamal?

Hamal: tidak punya biaya pak, dan saya ingin ngaji saja.

Jawaban Hamal membuat saya diam dan membisu, setelah diam lima menit, saya pun teringat cerita Hamal kepada saya beberapa waktu lalu. Ingatan itu saya gunakan untuk memancing pertanyaan kepada Hamal lagi.

Hamal ingat waktu Hamal bilang sama pak Ghofur, Hamal waktu itu bilang sama pak Ghofur bahwa kelak kalau sudah besar ingin bertemu pak Dimas, pak Ari di Jawa. Kalau Hamal punya mimpi seperti itu berarti Hamal harus lanjutin sekolah sampai tinggi (kuliah) seperti pak Dimas, pak Ari, mereka semua bisa ketemu Hamal, Rozali dan anak-anak Araselo di sini karena pak Dimas dan Pak Ari sekolah sampai tinggi.

Mendengar penjelasan saya di atas, Hamal pun diam dan menangis serta memeluk saya, pak Ghofur, saya dan Rozali sayang dan merasa senang sejak kedatangan pengajar muda seperti pak Dimas, pak Ari dan pak Ghofur. Bisik Hamal pelan. Air mata saya pun meleleh dengan sendirinya, Hamal dan Rozali pun kembali berbicara. Mereka serentak bilang: pak Ghofur doakan kami berdua ya, biar bisa sekolah tinggi seperti pengajar muda. Saya pun spontan menjawab, semua guru termasuk bapak selalu mendoaakan anak-anak pak Ghofur termasuk Hamal dan Rozali.

Perbincangan di sore itu pun tidak terasa, matahari sudah mulai menyembunyikan mukanya di ujung barat. Akhirnya sebelum pulang, kedua anak ini pun berinisiatif menulis di atas batu bahwa Hamal dan Rozali bertekad untuk sekolah terus untuk meraih mimpi dan cita-citannya sehingga kelak mereka bisa ketemu pak Dimas, pak Ari dan pengajar muda lainnya

Kehadiran mereka berdua memang membuat saya teringat akan niat dan tujuan saya ke sini. Saya pun berpesan kepada semua yang membaca tulisan ini, kususnya pemerintah Aceh Utara, tengoklah anak-anak ini, lihatlah keadaan sekolahnya, anak-anak ini hidup memang di pelosok, sekolah mereka memang jauh dari fasilitas, mimpi mereka memang sederhana, namun mimpi dan cita-cita mereka jauh melampui desa dan hutan yang membatasinya.

Terima kasih Hamal dan Rozali, semesta ini mendukung dan mendoakan mimpi kalian.

Salam, Abdul Ghofur, Pengajar Muda Aceh Utara.

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua