info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Wajah ibu dalam sebutir telur asin

9 September 2011

Hari ini saya mendapat kejutan yang menyenangkan. Dua orang Pengajar Muda angkatan pertama: Faisal Effendi dan Rusdi Saleh datang ke kantor Indonesia Mengajar menjelang kembali ke daerah penempatan mereka. Lebih mengejutkan lagi, Faisal mengeluarkan dua kotak telur asin Brebes dari tasnya.

Telur asin yang dibawa Faisal memang unik. Aku seolah melihat wajah ibuku di sana. Ya, aku memang suka telur asin. Tetapi, kesukaanku pada telur asin mungkin tidak akan pernah mengalahkan kasih sayang ibu kepadaku: beliaulah yang memperkenalkanku dengan 'makanan ajaib' itu.

Ketika aku kecil, ibu pernah menekuni usaha rumah tangga: produksi telur asin. Produknya dijual di sejumlah pasar di Yogyakarta. Kalau ada yang pernah melihat telur asin dengan stempel bergambar Donal Bebek dengan label "Syah Product", hampir bisa dipastikan itu produksi dapur kecil di rumahku. Pilihan ibuku menekuni usaha rumah tangga itu ternyata mempunyai beberapa pertimbangan filosofis: selain untuk menyemai jiwa wirausaha dan memperkuat ekonomi rumah tangga, ibuku tidak ingin jauh-jauh dari putra-putranya yang masih kecil.

Di sela-sela kesibukannya itu, ibuku masih sempat mengajariku membaca, mengeja kata-kata dan memperkenalkan Indonesia lewat peta yang ia belikan kepadaku waktu kecil. Aku bisa membaca ketika usiaku belum ada lima tahun. "Mungkin karena dulu sering makan telur asin, ya Bang,"  ujar ibuku suatu waktu. Aku tersenyum. Yang jelas, kesukaanku yang dimulai dari makan telur asin rusak (karena pecah ketika direbus) itu, tidak mengenal kata 'dulu'. Telur asin selalu mengingatkanku kepada ibuku, hingga hari ini. 1)

Ibuku memang berhenti memproduksi telur asin ketika kami mulai beranjak besar. Di samping karena  pernah sakit yang membuatnya keguguran dua adik terkecilku, beliau akhirnya memutuskan bekerja sebagai pekerja sosial di sebuah NGO internasional. Ya, ibuku--sang produsen telur asin itu--memutuskan bekerja di lembaga yang bertujuan mendorong anak-anak kecil di Kabupaten Gunung Kidul untuk bersekolah. Dalam sistem lembaga itu, sejumlah orang tua angkat di luar negeri akan menyekolahkan anak-anak SD di kabupaten yang dulu dikenal kering dan gersang itu. Ibuku yang ikut menghubungkan mereka. Beliau menjalaninya selama hampir 14 tahun: setiap hari ia sedikitnya menempuh jarak 80 km dengan sepeda motor dan angkutan umum untuk menjalankan passionnya.

Passion itulah yang diturunkan ibu kepadaku. Terpisah jarak dengan Pengajar Muda yang sedang ditempatkan, di sinilah aku sekarang: di kantor Indonesia Mengajar di Jakarta, mendukung mereka melalui upaya serius memperkenalkan gerakan ini kepada publik. Harapan saya, agar semakin banyak yang peduli pendidikan di negeri yang dulu daerah-daerahnya hanya aku kenal lewat peta ini.

Aku juga terpisah kota dari ibuku yang saat ini menikmati usia tuanya bersama ayah. Beliau kini tidak membuat telur asin, tetapi kini membuat jamu untuk mengisi waktu. Mudah-mudahan beliau bahagia di Yogya. Hari ini, aku mensyukuri lagi bahwa produsen telur asin--perempuan perkasa itu-- mengajariku membaca dan mengenal Indonesia sejak kecil.,

**** (09.09.2011, satu hari menjelang usia 71 tahun ibuku)

Catatan:

1. Di kemudian hari, aku belajar tentang indahnya menekuni usaha makanan. "Dalam kondisi sepahit apapun, makanan itu bisa kita makan," ujar Lee Iacocca dalam autobiografinya "IACOCCA". Ia  mengenang masa kecilnya di mana ibunya membuat salah satu gerai pizza pertama di Amerika di masa krisis di tahun 1930-an. Seorang icon besar yang pernah menjadi CEO Ford, Chrysler dan Coca Cola itu membuatku semakin yakin: ibuku menyayangiku.


Kabar Lainnya

Lihat Semua