Untukmu, Calon Talenta Terbaik!
31 Agustus 2022Hingga detik ini, saya masih sulit memahami mengapa masih banyak orang yang bersusah-susah menjadi orang susah.
Sepanjang Indonesia Mengajar membuka pendaftaran Pengajar Muda, deretan angka-angka yang muncul selalu membuat saya berdecak kagum. Beragam kombinasi angka telah kami saksikan. 8.249, 6.535, 14.846, 10.020 pendaftar. Hingga yang mencengangkan pernah menembus angka 21.376!
Bahkan saya pernah membayangkan jika pendaftar Pengajar Muda Angkatan 23 (yang terakhir kali kami lakukan) dilakukan offline menggunakan formulir secara manual dan menerapkan peraturan social distancing, panjang antriannya setara dengan jarak kompleks olahraga Gelora Bung Karno menuju Monumen Nasional (Monas).
Tentunya panitia juga kesusahan. Buat apa kami repot-repot menyeleksi sekian ribu aplikasi hanya untuk mendapatkan Pengajar Muda sejumlah 40 (hingga yang terbanyak 75) orang tiap angkatan?
Ah, pikiran saya ini melayang begitu jauh. Jika saya boleh menyebut proses seleksi ini sebagai ‘kompetisi bersusah-susah’, jumlah pendaftar yang ‘segitu jumlahnya’ ini ‘kan happy problem bagi kami. Alangkah pusingnya kami jika pendaftar tak habis dihitung menggunakan tangan seorang manusia.
Nyatanya, happy problem kami belum usai. Kerap kali kami dibikin geleng-geleng kepala oleh profil para pendaftar. Ada yang sudah bekerja 9 tahun di dunia profesional, tapi memilih resign. Pernah juga ada yang pekerjaan sebelumnya sebagai Manager di sebuah perusahaan multinasional. Tak jarang pula kami menemui pemuda yang ‘rela’ menunda kesempatan studi di luar negeri. Buat apa? Tentu saja, buat bersusah-susah selama satu tahun menjadi Pengajar Muda.
Kami juga banyak menjumpai best graduate dari kampus-kampus ternama yang menjadikan Pengajar Muda sebagai kampus magisternya. Saya kadang-kadang bingung, pemuda-pemuda ini, (dugaan saya) jika dirata-rata, IPK-nya pasti di atas Cum Laude. Mereka bisa memilih untuk bekerja di mana saja. Tapi, mengapa, mau susah-susah jadi Pengajar Muda?
Semoga kali ini, Anda sedang menanyakan sesuatu yang saya harapkan: memangnya sesusah apa jadi Pengajar Muda?
Sebut semua tantangan. Perihnya ditolak masyarakat di desa penempatan, ditolak kepala sekolah ketika mengajukan ide, ditolak oleh calon orang tua piara, ditolak Bupati untuk membuat janji temu, atau ditolak oleh anak-anak yang ingin diajari oleh Pengajar Muda.
Mengapa banyak sekali kata ‘ditolak’? Ah, kamu bisa aja, Anak Muda. Barangkali jika saya harus menulis daftar penolakan yang diterima oleh Pengajar Muda, sulit bagi saya untuk membayangkan berapa waktu yang saya butuhkan.
Ngomong-ngomong, tantangan tadi belum saya tambahkan dengan tantangan domestik yang dialami oleh Pengajar Muda. Rindu dengan orang tua, jauh dari kekasih, tidak cocok dengan makanan di penempatan, atau sulit sinyal, air bersih, dan jaringan listrik.
Hampir usai juga tulisan ini. Sekeras apa pun saya mempertanyakan motivasi pemuda-pemuda itu, nyatanya kami tak pernah kehabisan niat baik dari hati yang ingin menjadi Pengajar Muda. Niat baik bagaikan orang yang baru pulang dari apotek yang sudah tutup: nggak ada obatnya!
Teman-teman pembaca, sadar nggak kalau tulisan tadi banyak tanda tanyanya?
Kalau begitu, alangkah sempurnanya jika cerita ini juga saya tutup dengan kalimat tanya. Jadi apakah kamu mau jadi bagian dari ‘kompetisi bersusah-susah’ untuk Jadi Pengajar Muda?
Tertanda,
Saya yang menunggumu untuk bersusah-susah bersama.
Kabar Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda