info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Laboratorium Pengabdian

20 Februari 2015

Paparan penugasan Pengajar Muda (PM) punya dua sisi dampak. Pertama, dampak baik yang diterima oleh warga Sekolah Dasar (SD) yang diajar maupun masyarakat di daerah penempatan. Kedua, dampak untuk PM itu sendiri.  

Manajer Divisi Pengelolaan PM dan Daerah, Susilo, menjelaskan, Indonesia Mengajar (IM) sejak awal mendesain programnya untuk menyasar kedua dampak tersebut. Tantangan dan keterbatasan yang dihadapi Pengajar Muda dilihat menjadi medium yang cocok bagi mereka untuk melatih kompetensi kepribadian. IM menamai kesempatan menempa diri selama setahun ini sebagai Sekolah Kepemimpinan.  

IM sadar bahwa perubahan perilaku positif yang berkelanjutan adalah pekerjaan jangka panjang. Karena itu, IM menempatkan PM secara bergulir selama lima kali penugasan untuk  dapat menjahit tenunan perubahan yang diharapkan. Hingga di ujung tahun kelima, di daerah penempatan PM terjalin sebuah pola yang dinamakan perubahan perilaku tiap aktor yang membangun kemajuan pendidikan berkelanjutan.   

Di sisi lain, Sekolah Kepemimpinan IM terus menempa para PM dalam ‘laboratorium’ besar bernama penugasan selama satu tahun. Kesempatan ini memberikan pelajarannya—melalui tempaan pengalaman dan pemahaman—sehingga PM menjadi pribadi yang lebih baik sepulang dari daerah tugas.  

Laboratorium yang juga diharapkan akan mampu mengondisikan pemuda-pemudi terpilih ini agar dapat mengemban amanah dengan baik, di segala tantangan dan keterbatasan yang akan hadir di masa depan.    Karena itu, Sekolah Kepemimpinan IM merancang kurikulum pengembangan diri setiap PM sejak masuk tahap rekrutmen sampai dengan pasca-penugasan. Mereka disiapkan untuk mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin memuat variabel yang tidak terkalkulasi sebelumnya.   

IM mengharapkan kondisi menantang inilah yang menambah dan memperkuat bekal-bekal yang telah disiapkan, bukan menghabiskan bekal praperjalanan tadi. Karena itu, IM merekrut PM dengan kompetensi minimal tertentu. Sehingga dapat berkembang optimal sepanjang menjalani kurikulum masa pendidikan di Sekolah Kepemimpinan IM.   Susilo menjelaskan, yang dimaksud dengan kompetensi minimal tertentu adalah karakter yang diprediksi dibutuhkan di daerah penempatan yang sarat tantangan. "Kurang lebihnya kita mencari orang yang (saat bertugas) tidak minta pulang, berinisiatif melakukan sesuatu dengan merespon keadaan, juga mampu berhubungan baik dengan mengajak pihak lain untuk berkolaborasi mencapai tujuan yang diinginkan.”   Ketiga karakter tersebut diturunkan menjadi kriteria yang digunakan untuk merekrut para kandidat PM. Dalam menyusun sistem perekrutan PM ini, Indonesia Mengajar didukung oleh Daya Dimensi Indonesia melalui Yayasan Indonesia Lebih Baik.  

Bagaimana batas minimal tersebut dapat terlihat dari para kandidat? Inilah peran penting tahap rekrutmen.   

Melalui seleksi administrasi dan motivasi, kandidat dinilai dari berbagai aspek –akademis, organisasi, sampai dengan gerakan kerelawanan. Di tahap selanjutnya, melalui berbagai alat seleksi yang disesuaikan dengan gambaran kebutuhan PM di lapangan, proses rekrutmen menyaring aplikasi yang masuk. Hingga angkatan ke-10, proses seleksi semakin kompetitif dengan rasio penerimaan (acceptance rate) PM kurang dari 1%.   

Setelah mendapatkan kandidat PM yang memenuhi kriteria minimal, IM mengelola mereka memasuki tahap selanjutnya yaitu Pelatihan Intensif. Dalam wadah berupa tujuh minggu kamp pelatihan intensif, Calon PM mendapat pembekalan pengetahuan, keterampilan, dan pembiasaan. Bukan hanya karena pembekalan tersebut disajikan dalam bentuk simulasi dan pendampingan penuh oleh fasilitator terlatih, namun juga faktor penyempurnaan yang berkelanjutan dari tiap angkatan PM lah yang mendukung tercapainya tujuan menyiapkan bekal PM dalam bertugas. 

Kemudian selama satu tahun penugasan, PM memiliki tantangan untuk mengimplementasikan bekal yang didapat sebelumnya. Bertugas sendirian di sebuah SD di satu desa selama setahun membuat PM harus menghadapi momen pengambilan keputusan yang tak terhitung banyaknya sembari beradaptasi dengan konteks baru yang mereka hadapi. Menyertai itu, PM juga menghadapi tantangan untuk membangun relasi yang positif dan efektif dengan mitra di daerah.   

Di ujung masa penugasan, IM mengumpulkan setiap angkatan PM dalam Orientasi Pasca-Penugasan (OPP) di Jakarta selama satu pekan. Sepulangnya mereka dari penugasan, bukan berarti Sekolah Kepemimpinan IM telah usai. Sejatinya para PM menapaki fase selanjutnya, yaitu membangun jejaring sebagai alumni. Di fase ini, IM mendukung pengembangan kapasitas pascatugas alumni selama tiga bulan pertama.  

IM bercita-cita Indonesia di masa depan dipenuhi oleh para alumni PM yang sudah menjadi pemimpin-pemimpin di negeri ini. Mereka yang tak hanya memiliki kompetensi tingkat dunia, namun juga kepekaan terhadap realita masyarakat di akar rumput. Melalui tempaan selama setahun menjadi PM, mereka memberi manfaat sekaligus mendidik diri dalam pengabdian untuk negeri.  

***

Oleh Tinitis Rinowati (Asisten Program Divisi Public Engagement | rinowati@indonesiamengajar.org)  

Artikel ini juga diterbitkan Kabar Indonesia Mengajar Nomor 6.


Kabar Lainnya

Lihat Semua