Catatan Kamp Pegiat IM: Akar Rumput di Cilember

17 Mei 2013

Sembari membayangkan ulang saat-saat diskusi di beranda belakang, menghadap halaman rumput kecil, aku menuliskan catatan kecil ini. Salah satu catatan sederhana untuk menghormati semua hal yang telah dilakukan para pegiat IM selama 3 tahun ini, dari para PM di lapangan, para pegiat di Galuh, relawan berbagai inisiatif IM serta aktifis pendidikan lain yang terasosiasikan secara prinsip dan nilai dengan IM.

Berandanya sendiri menghadap selatan, menghadap Gede dan Pangrango di kejauhan. Melihatnya dalam kanvas yang maha luas dengan batas-batas cakrawala tampak di belakangnya, menggodaku untuk mengambil gunting dan memotongnya. Kupikir bisa juga kutempelkan di halaman belakang rumahku, dengan sedikit meminjam tembok-tembok rumah tetangga dan menggunakan beberapa tiang telpon serta listrik di sekitarnya.

Namun diskusinya jauh lebih menarik daripada itu. Jadi kutinggalkan ide itu, dan kuteruskan mendengarkan cerita-cerita dari berbagai program inti IM dan berbagai inisiatif gerakan lainnya. Dan sebagian dari apa yang didiskusikan itu, sampai diskusi lagi di malamnya dan keesokan harinya, kutuliskan di sini.

***

Kamp Pegiat IM sendiri punya dua tujuan. Satu, mencatat pengalaman kita bersama sejauh ini dan kemudian merumuskannya menjadi pokok-pokok pengelolaan IM dan nilai-nilai gerakan. Dua, menyusun cara tentang bagaimana prinsip-prinsip gerakan dan program IM dapat disosialisasikan, diakses bagi siapapun yang menginginkannya dan dapat digandakan bagi siapapun yang ikut mempercayainya. Tidak ada yang disebut resep rahasia di IM --termasuk cara pengelolaan program, misalnya rekrutmen dan pelatihan-- sehingga justru IM ingin terus menyebarkan dan membuka diri bagi siapapun yang juga ingin menggandakannya.

Kamp mencatat bahwa kita pada Minggu siang itu akhirnya dapat merumuskan pokok-pokok implementasi gerakan, prinsip-prinsip dasar gerakan serta skema pengelolaan untuk penggandaannya. Tim Galuh berencana untuk membuat satu-dua kamp lagi menjelang Juli ini; dan Solo-Mengajar dan KI/Penyala Jogja juga akan menyelenggarakannya. Tim fasilitator kamp yang sekarang akan membantu menyusun dokumentasi, sedangkan Denies-Ajeng-Helmi juga akan mencoba menuliskan modul kamp ini.

Pelajaran yang muncul, dibahas dan tercatat --setidaknya menurut saya-- sangat bermakna. Iya, bermakna karena cerita yang disampaikan dan diuji bersama menggambarkan kerja keras para Pengajar Muda, staf Galuh serta para relawan berbagai inisiatif kita. Bermakna karena semua kerja keras itu mulai menuai dampak dan juga bergulir lebih luas. Bermakna karena sesungguhnya apa yang kita pikirkan dan yakini selama ini, dan tak sempat kita tuangkan tertulis dalam berbagai manual, juga terkonfirmasi dalam berbagai inisiatif kita semua. Sungguh aneh bahwa kita bergerak ternyata dalam irama, prinsip dan nilai-nilai yang identik tanpa kata-kata diumbar ke sana ke mari. Bermakna justru karena di atas segala-galanya semua kerja itu dilakukan dengan ketabahan dan kerendahhatian, jauh dari kesibukan seremonial dan sorak sorai semata.

Sebagai murid dari kamp itu, aku mencatat pula beberapa pelajaran menarik. Pelajaran lengkapnya ditulis oleh Zaki L Khusna. Catatanku ini juga pemancing bagi teman-teman lain untuk ikut berbagi pelajaran yang ditulis dalam memori atau catatan lainnya.

Pelajaran pertama, bahwa di atas belepotan yang kita lakukan, tujuan fundamentalnya adalah untuk memberikan manfaat sosial. Bahwa sesederhana apapun atau semeriah apapun kerjaan kita harus diuji dan bisa menjawab pertanyaan sederhana: manfaatnya apa untuk masyarakat? Prinsip ini penting menjadi batu-penguji karena bisa jadi kita terlupa untuk sekedar secara gegabah mencontek sebuah inisiatif yang tampak keren dan meriah tetapi sesungguhnya tanpa manfaat bagi sesama. Atau sebaliknya bahkan dalam kerjaan yang rendah hati, sepi dari kemeriahan publik dan tanpa publisitas penuh sanjung tetapi bila sungguh bisa dapat memberikan manfaat bahkan hanya bagi 1-2 orang anak maka ini sungguh layak untuk diperjuangkan.

Lalu apa sih sesungguhnya yang dibayangkan IM sebagai 'social impact'? Kita semua belajar dari berbagai pengalaman selama ini bahwa pada akhirnya kemajuan yang berlanjut adalah ketika perilaku tumbuh dan terikat satu-sama-lain menjadi interaksi dan perilaku bersama yang positif di suatu entitas masyarakat. Kasus-kasus dan pengalaman selama ini mengajarkan bahwa terlalu simplistik dan juga tak berjalan asumsi-asumsinya bila pendekatan hanya fokus pada aspek tunggal semata, entah itu hanya membangun fasilitas, melatih secara sporadis dan waktu terbatas apalagi cuma sekedar mengirimkan bantuan semata. Terlalu banyak hal dan variabel yang mempengaruhi tumbuhnya perilaku dan karena itu kita tidak bisa hanya mengandalkan satu-dua aspek semata lalu berharap semua asumsinya dapat terpenuhi dalam perjalanannya. Kita tidak bisa membangun budaya membaca hanya dengan mengirim buku lalu berharap angin dan awan yang menyelesaikan sisanya, mengharap pohon mendampingi anak-anak kita untuk membaca dan mengharap gunung untuk menjadi role-model bagi anak-anak itu. Tidak, fokusnya adalah perubahan perilaku; dan semua hal yang diperlukan untuk itu akan kita perjuangkan adanya.

Uniknya pengalaman juga mengajarkan bahwa justru hanya hadir memberi bantuan dan fasilitas semata malah memberi pesan bahwa yang dimaksud kemandirian adalah menunggu aktor-aktor dari luar untuk membantu kita, masyarakat di suatu tempat. Dan ini malah sungguh-sungguh mengganggu kemajuan yang berlanjut. Karena itu apa yang kita bayangkan sebagai 'social impact' adalah tumbuh kuatnya perilaku masyarakat; dan kita akan hadir, tumbuh dan bergerak bersama mereka sampai kemajuan berlanjut itu tercipta. Tidak selesai tugas kita hanya karena tahun anggaran telah ditutup dan laporan telah disusun.

 

Pelajaran berikutnya adalah soal pendekatan dasar. Apa sih pendekatan dasar selama ini yang menjelaskan bekerjanya program inti IM dan juga gerakan sosialnya yang luas? Cerita dari berbagai pengalaman menunjukkan beberapa pelajaran, salah satunya bahwa cara termudah untuk menggerakkan adalah dengan mengambil bagian kerja terlebih dahulu. Kita tidak akan dapat menggerakkan orang hanya dengan kata-kata indah, kita akan dapat lebih efektif menggerakkan orang dengan menggeser batu lebih dahulu dan dengan mengangkat cangkul lebih dulu.

Kita juga belajar bahwa keterlibatan adalah kunci, kunci agar orang terjaga untuk terlibat terus. Menularkan motivasi untuk bergerak dan berbuat justru dengan memfasilitasinya melakukan satu langkah pertama baginya. Satu langkah baik akan mengikat langkah baik berikutnya. Bisnis dasar gerakan sesungguhnya adalah pelibatan, melibatkan; dan bukan melulu kampanye serta sosialisasi.

Pengalaman selama ini juga mengajarkan bahwa motivasi seseorang untuk mengabdi dan berbuat baik itu ada di mana-mana. Dunia, keluarga dan bahkan film-film kartun pun mengajarkan bahwa berbuat baik itu keniscayaan manusia. Karena itu tidaklah perlu menghina diri kita sendiri dengan berasumsi bahwa seseorang mau atau tidak mau melakukan sesuatu hanya melulu karena alasan uang. Bila demikian maka gerakan juga tidak hanya mengandalkan motivasi tunggal soal uang, kita pasti bisa mengandalkan niat baik dan segala motivasi abstrak di belakang hati dan akal budi seseorang. Gerakan kita sejauh ini membuktikannya.

Pelajaran ketiga adalah soal elemen-elemen berikutnya dari gerakan sosial yang baik. Beberapa prinsip ini harus dikerjakan pula bersama dengan prinsip-prinsip sebelumnya. Enam hal ini sebenarnya terpilah jadi dua bagian besar, yaitu prinsip engagement dan prinsip organisasi. Ternyata empat dimensi dalam gerakan, yaitu pengelolaan relawan, pendanaan, kampanye dan kemitraan, didasari oleh prinsip-prinsip pelibatan atau engagement, khususnya pelibatan personal. Bahkan pendanaan juga mengajarkan bahwa ketika seseorang terlibat langsung maka pada akhirnya akan tergoda juga untuk membiayai pengelolaan gerakan yang juga menjadi bagian kepemilikannya. Demikian pula dengan kemitraan dengan lembaga lain, misalnya sekolah dan dinas, di mana jauh lebih efektif untuk memperlakukan mereka sebagai sesama warga negara yang ikut bertanggung jawab demi kemajuan bersama daripada memperlakukan relasi ini dengan konsep kerja sama antar lembaga. Orang-orang yang sama-sama percaya lebih kuat daripada kerja sama seremonial antar lembaga.

Dua dimensi lain terkait dengan prinsip pengeloaan organisasi, yaitu dimensi manajemen organisasi dan relasi dengan IM. Terkait ini kami belajar bahwa kredibilitas hanya dapat dibangun dengan keterbukaan. Dan keterbukaan bukanlah masalah karena ini adalah gerakan sosial yang bercita-cita adanya kemajuan bersama yang berlanjut; dan toh ini semua bukan tentang kami tetapi tentang mereka semua. Prinsip lain terkait dimensi ini adalah soal learning organization. Tidak ada referensi memadai di Indonesia tentang bagaimana gerakan sosial dijalankan dan dikembangkan. Karena itu --apalagi ini juga bukan tentang kami-- maka selama tujuannya adalah adanya kemajuan bersama maka tidak perlu ragu untuk terus belajar dan terus mencoba. Sesekali kita gagal dan salah, tetapi penting untuk terus belajar dan mengembangkan gerakan ini lebih lanjut. Kegagalan dan kesalahan dalam gerakan bukanlah semacam 'aib dalam laporan' karena toh ini bukan tentang ego kita kan? Salah dan terus belajar lebih berharga daripada tampak benar dan berhenti belajar.

Pelajaran terakhir adalah soal kelengkapan dan keterkaitan semua elemen. Kebermanfaatan sosial adalah tujuan puncaknya. Tujuan puncak menentukan pendekatan dasarnya, dan bukan melulu mencontoh sesuatu yang ramai dibicarakan. Dan pelibatan dan pengorganisasian adalah elemen operasional dari dua hal sebelumnya. Semuanya penting untuk lengkap, terkait dan terikat satu sama lain. Karena setiap perjuangan menuju puncak pastilah bukan hanya soal bekal, jalan kaki dan imajinasi soal puncak. Ini soal semuanya.

***

Lalu saat semuanya berkemas untuk turun dari kamp ini, aku sempatkan untuk melihat lagi Gede-Pangrango di kejauhan. Dan karena mata kujatuhkan pada halaman rumput itu maka tiba-tiba ingatanku jatuh pada ribuan atau jutaan anak-anak di luar sana beserta keluarga di sekitar mereka. Sebagian mereka ada di pusat-pusat kemajuan, sebagian lain ada di berbagai penjuru nusantara.

Selama ini kita --atau setidaknya aku-- melihat mereka dalam rangkaian angka, data dan laporan. Mereka tersaji dalam perspektif kebijakan, sektor dan --seringkali-- masalah dan keluhan. Padahal di balik itu adalah jutaan cita-cita, jutaan cara pandang dan ribuan makna. Mengajak mereka untuk berjalan bersama menggapai puncak seringkali jatuh hanya sebagai acara, upacara atau kadangkala gunting pita semata. Dan cara pertama dan terbaik memulainya bukan dengan berdiskusi panjang lebar dan membuka seminar di mana-mana.

Cara pertama yang harus dilakukan justru dengan mendengar dan merasakan bagaimana akar rumput tumbuh dan menyerap mineral-mineral lalu mengirimnya ke daunnya yang kemudian mengubahnya menjadi oksigen. Cara terbaik untuk memulai justru dengan rendah hati mencoba memahami kenyataan kita seperti bagaimana akar rumput dengan rendah hati menyerap unsur hara dan mendengarkan kicau burung, desah daun dan nyanyian mars rintik hujan.

Dulu waktu kecil aku berdebat soal Tuhan ada di mana. Sebagian pendapat di agamaku bilang, Tuhan terlalu hebat untuk bisa ditunjukkan ada di mana. Sebagian lain bilang, Tuhan ada di 'Arsy. Pendapat yang lain menyatakan bahwa Tuhan bersama orang-orang yang miskin dan lemah, mereka yang ada di bagian terbawah piramida sosial kita. Lalu seiring tumbuh, aku meyakini bahwa Tuhan ada di mana -mana.

Tetapi di sini, dalam konteks ini, aku meyakini bahwa Tuhan ada di akar rumput.

-------

Ditulis oleh Hikmat Hardono, Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar


Kabar Lainnya

Lihat Semua