Mimpi Seorang Anak Pemecah Batu

Yenni Triani 26 Januari 2015

Sore itu, sepulang sekolah, tanpa berganti baju terlebih dahulu, kuputuskan untuk menghabiskan waktu bersama Aldy. Aldy, anak PAUD-ku yang baru berusia 4 tahun, adalah teman mendayungku di beberapa sore terakhir ini. Kujemput dia dan dia segera lompat ke dalam perahu. Aldy always acts as a fearless kid, dia selalu begitu. Masih kuingat di bulan pertama aku di sini, aku sempat membawanya ke puskesmas saat kepalanya bocor membentur batu.  Saat itu, aku panik bukan main melihat luka menganga di kepalanya. Segera kularikan dia ke puskesmas di kampung Degen, kampung seberang laut.

Melihat luka Aldy yang cukup parah, dokter memutuskan untuk menjahitnya. Aku ngilu menyaksikan proses jahit-menjahit ini, tapi Si Kecil Aldy malah terbaring tenang sambil mengunyah gula-gula yang aku berikan padanya. Dia tidak menangis, sama sekali. Bahkan,  tak lama kemudian dia tertidur lelap, sementara dokter sibuk menjahit luka di kepalanya. Ya, itulah Aldy, dia hanya menangis ketika lapar.

Dan sekarang,  aku dan dia berada di perahu yang sama, kita berdayung berkeliling kampung. Aldy looks so happy.

“Aldy, ko ikut ibu pi Jawa sudah. Ko mau toh?” (Aldy, kamu ikut Ibu pergi ke Jawa ya. Kamu mau kan?)

“Iyo Ibu, katong mau. Tapi, ibu kasih kembali katong di Offie lai O. Kalo Ibu tara kasih katong pulang, katong pi toki batu. Katong dapat uang, katong pulang di Offie sendiri O.” (Iya Ibu,saya mau. Tapi, nanti ibu antar saya pulang ke kampung Offie lagi ya. Kalau Ibu tidak antar saya pulang, nanti saya pergi memecah batu.  (Dari hasil memecah batu) nanti saya punya uang, terus saya bisa pulang sendiri ke kampung Offie, deh.)

Toki batu atau memecah batu adalah pekerjaan musiman yang sering dilakoni oleh anak-anakku ketika ada proyek pembangunan jalan di kampung. Sebenarnya, ini seharusnya menjadi pekerjaan para orangtua mereka saja. Tetapi karena anak-anakku adalah anak-anak kuat, mandiri, dan senang bekerja membantu orangtua mereka, jadi mereka turut serta melakoni pekerjaan ini. Hampir semua anak, bahkan Aldy yang baru berumur 4 tahun pun ikut terlibat dalam hiruk pikuk memecah batu ini, tanpa paksaan. Anak-anakku menyukai pekerjaan ini, mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang menyenangkan layaknya permainan, dan permainan satu ini bahkan lebih menyenangkan karena menghasilkan uang. Dan Aldy sudah menyaksikan sendiri rupiah-rupiah yang kakak dan orangtuanya kumpulkan dari upah memecah batu.

Percakapan dengan Aldy di sore itu begitu berkesan bagiku. Aku masih tak percaya, anakku yang baru berusia 4 tahun sudah paham sebuah konsep  yang begitu dewasa; bahwa untuk menghasilkan uang dia harus bekerja, meski harus memecah batu.

“Ko mau toki batu di Jawa buat dapat uang, Nak? Tara bisa mo. Orang Jawa tara toki batu, Nak. Dorang cari uang itu, jadi dokter, polisi, guru, tentara. Dorang sekolah baik-baik, jadi dorang mudah dapat uang. Aldy harus sekolah baik-baik e, jadi mudah dapat uang, tara usah toki batu O.” (Kamu mau memecah batu di Jawa untuk dapat uang, Nak? Tidak bisa lah. Orang Jawa tidak memecah batu, Nak. Mereka di Jawa cari uang dengan menjadi dokter, polisi, guru, tentara. Mereka sekolah dengan baik, jadi mudah mendapatkan uang. Jadi, Aldy harus sekolah baik-baik ya, biar nanti mudah menghasilkan uang, tidak perlu memecah batu”.

“Iyo, Ibu, nanti katong jadi tentara sudah. Katong toki batu, katong dapat uang, katong jadi tentara”. (Iya, Ibu, nanti saya jadi tentara saja. Saya memecah batu, nanti saya dapat uang, saya jadi tentara).

Aldy, Aldy...bahkan dia sudah tahu bahwa untuk mewujudkan cita-citanya menjadi tentara dia butuh biaya. Dan untuk membayar biaya menjadi tentara tersebut dia harus mencari uang. Dan memecah batu adalah satu-satunya profesi yang dia tahu untuk mencari uang saat ini.

Sore itu, Aldy kembali mengingatkan ku akan kerasnya hidup yang dijalani oleh anak-anakku di kampung ini, bahkan untuk mewujudkan cita-cita mereka. Belatarbelakang dari keluarga petani pala, yang seringkali memecah batu untuk makan,  membuat mereka sadar betul bahwa hidup itu butuh perjuangan. Tidak ada yang instan.

Tetapi aku yakin sekali bahwa kerasnya hidup tidak akan pernah bisa mengalahkan semangat  mereka untuk berani bercita-cita dan menggapainya. Buktinya, bahkan Aldy kecilku pun sudah siap untuk bekerja keras demi mewujudkan cita-citanya, meski harus memecah batu...

Aku percaya mimpi anak-anakku lebih keras dari batu manapun.  Tidak akan ada yang bisa memecah mimpi dari anak-anak pemecah batu. Batu saja pecah, apalagi rintangan lainnya.

 

Yenni Triani-Pengajar Muda Fakfak-

(When I Believe Aldy’s Dream is Harder Than Any Rock).


Cerita Lainnya

Lihat Semua