info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

HANYA Kapal Harapan

Widhi Wulandari 4 November 2013

“ Anak-anak pada tanggal 24-29 Oktober 2013, kita mendapat undangan dari UPTD Tabukan Utara, untuk mengikuti acara Latihan Tingat II (LT II) Pramuka Kwartir Cabang Tabukan Utara. Nanti kalian akan melakukan kemah dan banyak permainan di alam terbuka. Dan yang akan menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti LT II tersebut, adalah siswa-siswi kelas 5 dan 6. Hari ini sepulang sekolah, Ibu akan pilih 12 orang, campuran dari kelas 5 dan 6, untuk selanjutnya melakukan latihan dan persiapan ke Tahuna.”

 

Begitulah kira-kira bunyi amanat di apel pagi yang disampaikan oleh Kepala Sekolah SDN. Matutuang. Seraya mendengar pengumumam tersebut, anak-anak pun sorak soray bergembira, terutama siswa-siswi kelas 5 dan 6. Bagi sebagian besar siswa-siswi SD di Matutuang, kesempatan pergi Tahuna itu adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Hal ini terjadi karena, jarang sekali mereka bisa pergi ke luar pulau dan menginjakan kaki di kota, jika bukan karena acara dari sekolah. Selain karena jarak antara pulau dan kota yang jauh, ketidakadaan sarana transportasi yang memadai, juga menjadi faktor penghambat yang membuat anak-anak terisolasi di Pulau Matutuang.

 

Ditengah-tengah kegembiraan mereka, rupanya ada kekhawtiran yang menyelimuti pkiran anak-anak dan juga guru-guru. Mereka takut tidak dapat berangkat ke Tahuna, karena nampaknya tidak ada kapal yang akan berlabuh di Matutuang pada tanggal 24-29 Oktober 2013. Mereka juga trauma karena dari pengalaman yang sudah-sudah, kalau pun SDN. Matutuang dapat memenuhi undangan untuk datang ke Tahuna, biasanya selalu saja terlambat dari waktu yang ditentukan dan selama perjalanan pun banyak insiden-insiden yang tidak diharapkan. Sebut saja, ketika akan menghadiri Festival Anak Sangihe (FAS) 2013 di Tahuna, karena terlalu lama berada di kapal perintis dan kehabisan bekal makanan, dua orang siswa dari Matutuang sampai muntah darah dan batal ikut FAS. Meskipun yang lainnya sampai dengan selamat, mereka sudah tertinggal 2 hari rangkaian acara FAS. Cukup ironis dan memprihatinkan memang.

 

Aku yang begitu percaya akan adanya bantuan Tuhan jika umatnya sudah berupaya, tetap meyakinkan anak-anak dan guru-guru, bahwa pasti ada jalan bagi kita semua menuju Tahuna guna mengikuti LT II di Tabukan Utara. Keesokan hari setelah pengumuman di apel pagi, telah terpilih 12 orang yang terdiri dari 9 orang kelas 6 dan 3 orang kelas 5. Merekalah yang akan mewakili SDN. Matutuang pada LT II Pramuka di Tabukan Utara. Aku pun membuatkan jadwal latihan dan silabus materi yang akan disampaikan selama seminggu ke depan. Ibu Kepala Sekolah, mengamanati aku dan Pak Guru Lukas untuk menjadi kakak-kakak pembina di Gugus Depan SDN. Matutuang. Kami pun melaksanakan amanat tersebut semampu kami. Tiap jam 16.00-18.00, Aku dan Pak Guru Lukas, memberi materi mengenai sejarah singkat kepramukaan di Indonesia serta beberapa kemampuan dasar seorang pramuka, seperti kemampuan tali temali dan berbagai macam sandi.

 

Di hari pertama latihan ada hal yang menggelitikku. Salah seorang siswa bernama Jalali bertanya kepadaku, apakah ia harus menggunakan seragam pramuka ketika nanti di tempat kemah. Aku pikir ia bercanda bertanya hal tersebut, ternyata ia benar-benar menanyakan hal itu, karena rupanya ia memang tidak memiliki seragam pramuka. Aku yang masih heran dengan cepat menjawab, “kalian memang harus memakai pakaian pramuka lengkap dengan kacu dan topi nanti disana!Bagi yang belum memiliki baju seragam maupun perlengkapannya, akan sekolah coba tanggulangani dengan dana BOS.” Tanpa sadar aku telah sembrono menjawab, kepala sekolah belum ACC, namun apa boleh buat, aku harus tetap menenangkan anak-anak dan jika memang kepala sekolah tidak meng- ACC pembelian kelengkapan Pramuka dari Dana BOS, maka aku akan membelinya dengan uangku sendiri. Namun setelah aku mengajukan permohonan tersebut, ternyata Ibu Kepala Sekolah menyetujuinya, lega sekali rasanya saat itu. Aku pun dapat dengan tenang melanjutkan jadwal latihan Pramuka dengan anak-anak setiap sore harinya.

 

Sepanjang berlatihan ada saja tingkah lucu dan unik dari anak-anak Matutuang. Mereka adalah anak-anak yang cerdas dan cukup cepat menangkap materi. Meskipun baru pertama kali latihan sandi semphore, namun mereka dapat dengan cepat mengahapal huruf A-Z lengkap dengan gerakan benderanya. Begitu pula ketika berlatih berbagai macam simpul dalam tali temali, Wilmer dan Jalali adalah dua anak yang paling cepat menghapal nama dan jenis simpul-simpul dalam tali temali. Ketika mereka hendak membuat tandu dari tongkat pramuka, terlebih dahulu mereka membuat tongkat secara mandiri. Aku yang sewaktu SD hanya tahu jadi dan hanya modal membeli tongkat, dibuat takjub oleh anak-anak ini. Mereka secara berkelompok pergi ke hutan, menebang bambu dan kemudian meraut bambu tersebut sehingga menjadi tongkat yang diinginkan. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang mencat tongkatnya dengan warna-warna yang menarik. Kreatif dan mandiri sekali mereka. Demi untuk menghayati perkemahan mereka kelak, anak-anak dan para guru sepakat untuk membuat simulasi kemah. Pantai Bangka adalah pilihan kami semua. Malam hari itu, keduabelas anak-anak dan empat guru bermalam di Pantai ditemani terangnya bulan dan hangatnya semangat anak-anak yang ketika sudah larut pun masih asik berkirim pesan menggunakan bendera semaphore. Melihat kegigihan mereka, sungguhlah aku dibuat jadi bangga.

 

Bukan hanya anak-anak yang semangat mempersiapkan diri untuk mengikuti LT II ini, beberapa orang tua murid pun turut serta berpartisipasi. Salah satunya adalah Pak Suharto, ayahnya Edenhel. Ia membantu kami membuat papan gapura Gugus Depan, papan gapura regu dan beberapa tiang bendera. Hasil karyanya sangatlah menawan,bermodalkan kayu yang diambilnya dari kebun, tripleks sisa pembangunan Gereja serta cat miliki sekolah, ia dapat mengahasilkan berbagai keperluan regu Pramuka sekolah kita.

 

Sekarang tibalah waktunya untuk berpikir bagaimana caranya kita pergi ke Tahuna. Pak Guru Wawo adalah orang yang paling pusing dalam hal ini. Dengan segenap kemampuannya ia berhasil melobi petugas navigasi Matutuang untuk membuatkan permohonan agar para guru dan anak-anak, kelak dapat ikut menumpang pada kapal yang membawa minyak untuk keperluan penerangan lampu navigasi di Pulau Matutuang. Dua hari sebelum kapal datang pak Guru Wawo sudah mewanti-mewanti para guru dan murid-murid yang hendak pergi Tahuna untuk bersiap-siap. Akhirnya pada Hari Selasa tanggal 22 Oktober 2013, sekitar pukul 10 pagi, kapal yang membawa minyak pun datang dan kami pun telah siap dengan segala barang bawaan dan keperluan berkemah. Beberapa anak-anak sudah siap di depan dermaga dan sisanya masih menunggu di Ruang Tunggu dermaga, seraya menanti apakah permohonan sekolah dikabulkan oleh Kapten Kapal. Pak Wawo yang menjadi juru bicara sekolah saat itu terlihat sibuk berbincang dengan Kapten Kapal. Setelah kurang lebih setengah jam berbicara, alhasil Pak Wawo bilang bahwa kita semua bisa ikut menumpang sampai Tahuna, namun karena kondisi laut yang cukup berombak, kita harus menunggu hingga kira-kira pukul 02.00. Sambil menunggu kapal akan menurunkan jangkar di Pantai Perempuan. Kami pun cukup lega mendengar kabar itu. Karena tak mau merepotkan dan takut tertinggal kapal, kami semua memutuskan untuk tidur di Ruang Tunggu Pulau Matutuang, yang hari itu cukup berangin dan dingin. Sebelum tidur, aku pandangi satu-satu wajah murid-muridku, tak nampak sedikit pun raut lelah kala itu, mereka terlihat damai ditidurnya, mungkin karena rasa senang bahwa harapan mereka untuk pergi ke Tahuna akan segera terlaksana esok hari. Setelah puas memandangi mereka, aku pun disamping salah satu muridku.

 

Tak ada firasat apapun, tak ada pula pikiran macam-macam. Aku yang tertidur cukup pulas, tiba-tiba terbangun karena hempasan angin yang cukup kuat. Dan ketika aku melihat jam tangan, jarum jam sudah menunjukan pukul 04.15. Bukankah seharusnya ada orang yang membangunkanku pada pukul 02.00, dan bukankah harusnya aku sudah naik di kapal. Namun, saat itu beberapa guru dan murid-muridku pun masih tertidur pulas. Dari kejauhan aku dapat melihat Pak Guru Wawo yang sedang berdiri dan menghisap rokokonya diujung dermaga. Aku pun menghampiri beliau. Rupanya ia tengah terduduk lesu karena kapal milik petugas navigasi tersebut telah pergi meninggalkan kita. Tanpa kata-kata dan juga tanpa berita. Entah apa yang terjadi, padahal ombak dilaut dekat dermaga Matutuang nampak tenang dan angin pun nampak berhenti bertiup. Aku membatin dalam hati. Sungguhlah aku merasa sangat sedih hati. Bagaimana caranya menjelaskannya kepada anak-anak. Mereka begitu penuh harap dan semangat akan berangkat ke Tahuna. Dengan segala keberanian yang tersisa, aku pun memberanikan diri untuk membangunkan anak-anak dan memberitahu hal tersebut. Aku yakin selain semangat yang luar biasa, mereka pun dikaruniai mental yang juga ‘baja’. Dugaanku ternyata benar, ketika mengetahui hal itu, mereka dapat ikhlas menerima walaupun terlihat ada beberapa raut kecewa dan juga dongkol di pagi itu. Namun mereka bisa paham, bahkan salah satu muridku ada yang bilang “tanggal 24 akan ada kapal Pincalang Andalas Enci, mungkin kita bisa naik!”. Mereka nampaknya tidak sama sekali berhenti berharap. Aku yang sempat putus asa, dibuat malu jadinya.

 

Kesedihan kami pagi itu, terpecahkan, karena Pak Guru Wawo mentraktir kami semua sarapan pagi, ia memesan pada penjual, beberapa jenis kukis (kudapan khas Sangir) dan juga susu bagi kami semua. Setelah pesanan kami datang, anak-anak pun makan dengan lahapnya, susu yang masih hangat langsung habis diserbu anak-anak. Seketika tak nampak lagi wajah sedih yang bermuram durja. Semua senang dan semua kenyang. Setelah selesai makan, kami memutuskan memindahkan barang-barang bawaan kami ke gudang dekat dermaga, karena kami masih berharap akan datangnya kapal lain yang bisa mengantarkan kami ke Tahuna.

 

Hari berganti hari, hingga akhirnya kini kalender menunjukkan tanggal 29 Oktober 2013. Hari terakhir Latihan Tingkat II Pramuka Kwatir Cabang Tabukan Utara. Dan keduabelas anak-anak muridku masih duduk manis di bangku kelasnya masing-masing, menerima pelajaran dari guru-guru tercintanya di SDN.Matutuang. Sedikit demi sedikit mulai mengubur harapan untuk ikut LT II tahun ini, untuk kemudian menggali harapannya di tahun depan. Tetap dengan canda tawa yang renyah, kami bersama-sama memindahkan kembali segala macam tas dan barang-barang yang sudah beberapa hari menginap di gudang dermaga, ke rumah masing-masing. Bukan salah mereka terisolir di Pulau sendiri, bukan salah mereka pula tinggal jauh dari pusat kota, bukan pula salah mereka menjadi anak-anak di Perbatasan Indonesia-Filipina yang HANYA dapat berharap akan datangnya kapal sebagai sarana transportasi yang akan mengantarkan mereka ke tempat yang lebih baik lagi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua