info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sahabat Kecilku Tak Muncul Lagi

UUN TSANI YUDANTI 17 Desember 2012

Tengah malam itu, suara berisik anak-anak membangunkanku. Mereka ketakutan mendengar sebuah suara, tepatnya di bawah jendela kamarku. Saya sendiri kurang tahu suara apa itu, mirip kucing, tapi mirip juga suara anjing kecil yang kelaparan. Tetapi menurut mereka itu suara burung aneh pertanda buruk. Saya hanya tersenyum mendengarnya dan sedikit geli melihat ekspresi ketakutan mereka. Apalagi jika melihat tingkah keseharian mereka. Sungguh sangat berkebalikan.

Anak-anak ini memang terlalu takut dan percaya pada hal-hal yang menurut saya itu takhayul. Pernah suatu ketika kami berjalan ke pantai sebelah, pulangnya mereka memaksa saya untuk berteriak pamit kepada yang punya tempat sambil menyebut nama saya karena menurut kepercayaan orang di sini memang begitu. Tidak hanya itu saja, masih banyak hal-hal yang mereka ceritakan kepada saya dengan penuh ekspresi mengerikan. Tetapi bagaimanapun sebagai pendatang, saya pun tetap harus mengikuti aturan di desa ini. “Desa mawa cara, Negara mawa tata” bahwa setiap daerah, setiap komunitas memiliki tata cara, adat dan kebiasaan masing-masing. Maka dimanapun kita tinggal, maka haruslah menyesuaikan diri.

Malam ini, entah sudah berapa malam mereka tidur di rumah kami. Menemani saya karena kebetulan mama piara sedang pergi ke Saumlaki (Ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat). Melihat mereka tidur, berdempet tak karuan, rasanya lucu sekali. Kadang malam-malam saya tersenyum sendiri melihat posisi mereka. Rasanya tenang sekali berada diantara mereka, meskipun kadang bau-bau anyir ingus menjadi aroma pewangi ruangan. Atau bahkan suara dengkur mereka yang membuat saya harus beberapa kali  terbangun.

Boleh dikatakan mau tidur saya harus lihat mereka, bangun tidur pun pertama kali yang kudengar suara mereka. Kemanapun saya pergi mereka pasti ikut. Bahkan pagi atau sore ketika aku melongok keluar jendela yang kulihat wajah mereka tersenyum sambil duduk di bawah pohon mangga samping rumah meminta bola atau raket atau buku-buku untuk dibaca.

Ketika pertama dekat dengan mereka, hampir setiap hari saya harus marah dengan kelakuan mereka yang boleh dikatakan agak brutal. Sedikit-sedikit memukul, menendang, memaki dan marah. Puluhan kali saya harus mengulang kata-kata agar mereka tidak kasar pada sesama teman. Tetapi sesekali tetap saja mereka melakukan itu. Hingga lambat laun kebiasaan kasar anak-anak ini sedikit berkurang. Mereka mulai sedikit bisa mengontrol emosi dan tingkahnya. Hingga suatu ketika, samar-samar dari kamar, saya mendengar mereka berjanji untuk tidak akan baku pukul lagi dan akan selalu saling menjaga. Mendengar itu saya hanya tersenyum tetapi tetap berada di kamar dan pura-pura tidak mendengar janji mereka.

Senang sekali menjadi guru mereka. Kepolosan dan ketulusan hati yang membuat saya sangat nyaman berada diantara mereka. Bahkan ketika saya merasa kesepian dan rindu rumah, merekalah yang selalu hadir memberikan semangat tersendiri untuk saya.

Hingga suatu ketika saya mulai menyadari sudah beberapa hari ini tak kulihat mereka di sekitar rumahku. Sore saya tunggu  mereka, tapi tak seorang pun muncul. Esok harinya di sekolah, mereka seolah menghindari saya, tak mau lagi dekat denganku. Seolah merasa takut dengan saya. Keadaan ini berlangsung hingga beberapa hari. Saya merasa aneh dengan sikap anak-anak. Saya kehilangan senyum mereka. Senyum mereka yang terus membuat saya semangat. Lelucon mereka yang selalu membuat saya tertawa. Dan tingkah mereka yang kadang juga membuat saya kesal dan marah. Tapi saat ini tak kurasakan lagi.

Hingga saya tahu jawaban kenapa mereka bertingkah begitu. Anak-anak ternyata mendapat pukul dan ancaman agar tidak bermain lagi dengan saya. Ternyata pola pikir bahwa antara guru dengan murid harus ada jarak masih juga bertahan. Mereka mendapat marah hanya karena dekat dengan saya, yang dirasa tidak sopan terlalu dekat dengan guru. Padahal ketika murid merasa nyaman dengan guru maka mereka pun akan nyaman untuk belajar.

Pola pikir itu masih mengakar di sini, bahkan masyarakat yang sering melihat cara saya mengajar memberikan saran agar saya menggunakan rotan. Menurut mereka anak-anak di sini berbeda dengan anak-anak di Jawa. Di sini harus menggunakan kekerasan, kalau tidak mereka akan membangkang. Mungkin memang butuh waktu untuk merubah sesuatu, apalagi terkait dengan pola pikir yang sudah mengakar sejak dulu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua