Surat untuk Hujan

Sangalian Jato 30 Juli 2014

Dear hujan,

Terima kasih sudah membasahi sekujur desa kami. Kemarau yang panas mendadak terasa sejuk dengan kedatanganmu.

Dear hujan,

Terima kasih sudah mengisi bak penampung air di belakang rumah saya. Kini persediaan air untuk cuci piring dan kamar mandi saya lebih dari cukup hingga waktunya milir kembali ke kota. Saya pun bisa cuci kaki dengan leluasa dan tidak ragu-ragu mem-flush toilet saya dengan air yang banyak.

Dear hujan,

Terima kasih sudah memuntahkan banyak sekali air di desa kami. Malam ini listrik kami tidak redup seperti beberapa hari sebelumnya, dan menurut perkiraan rekan guru saya ini pasti karena debit air di bendungan cukup untuk memutar turbin di pembangkit listrik kami. Semoga dengan begini laptop saya tidak pernah meledak karena tegangan yang naik turun.

Dear hujan,

Terima kasih telah memberikan sensasi baru dalam sejarah kehidupan permandian saya. Baru pertama kali ini saya mandi sore di sungai terpanjang di Indonesia sambil diguyur hujan deras sehingga saya serasa mandi di bawah pancuran supeeeerr besar. Angin dan kabut yang dibawa serta oleh dirimu juga menambah sensasi mistis ketika mandi. Ingin rasanya mandi sambil bawa kamera untuk mengabadikan momen berharga tadi, tapi untung akal sehat saya masih bekerja jadi saya urungkan niat tersebut. Nanti kalau saya sudah punya plastik anti air untuk kamera dan kebetulan sungai lagi kosong, turun lagi ya! ^.~

Dear hujan,

Terima kasih telah memperingatkan saya akan bahaya baru yang bisa saya temui di tempat ini, yakni…….  pacet. Jujur ya hujan, saya takut pacet. Mau dia pacet kecil, pacet sedang, pacet besar, semuanya saya takut. Dan berkat dirimu yang datang dalam jumlah besar hari ini, segala jenis pacet pun bermunculan dan salah satunya dengan asyik nangkring di kobokan tempat sunlight dan sabut cuci piring saya berada tadi. Dan kamu mau tahu sesuatu, hujan? Saya paling hobi cuci piring. Jadi bisa bayangkan apa yang terjadi ketika dengan riang gembira saya memenuhi ember cuci saya dengan air yang melimpah, mengambil sabut, memasukkan segenap tangan saya sepenuh hati ke dalam air bersunlight, dan mengobok-ngobok mangkok tersebut siap mengusap-usap piring beling di tangan kiri, lalu tiba-tiba ada pacet gendut menggeliat di jari manis  tangan kanan saya?

Sensasinya luar biasa mengerikan, hujan. Luar biasa mengerikan. Saya menjerit dan serentak meletakkan piring dari tangan kiri saya. Untung lantai rumah saya dari kayu, hujan. Jadi piringnya tidak pecah. Dan lebih beruntung lagi karena tangan kanan saya berlumuran sunlight, jadi pacet jahat itu langsung lepas dan lanjut menggeliat-geliat di piring kotor lainnya. Ya ampun hujan….. tragis….. 

Tapi hujan,

Seburuk-buruknya dirimu, setega-teganya dirimu telah membuat pacet bermunculan, saya tetap berterima kasih telah disambut dengan cara yang manis di tempat ini. Sepanjang hidup saya pernah menetap di beberapa tempat yang berbeda, namun saya tidak pernah ingat hujan pertama yang turun ketika saya tinggal di Bandung dulu, ataupun hujan pertama ketika kami pindah kembali ke Jakarta, atau hujan pertama di Cileungsi, dan bahkan hujan pertama saya di Korea.

Namun rasanya hujan pertama saya di Nanga Bungan ini akan saya kenang selalu. Sensasi girangnya melihat bak penuh, sensasi mandi di bawah pancuran raksasa dengan suasana Silent Hill, sensasi paniknya mengobok-ngobok mangkuk berpacet…. semuanya super!

Langit di Hulu Kapuas ini memang selalu menyimpan banyak keistimewaan ya, hujan? Kemarin malam lautan bintang memayungi desa kami dengan sangat terang, dan malam ini giliran dirimu yang akan menemani tidur kami sepanjang malam.

Jangan terlalu heboh ya turunnya, hujan. Please turun secukupnya saja supaya saya juga tidak menggigil kedinginan. Dan besok sekolah kami ada jadwal olahraga, jadi kalau bisa besok gantian sama matahari ya eksis di langitnya :DSupaya kami bisa senam riang anak Indonesia tanpa berbecek-becek ria. Hehehe.

 

Selamat tidur, hujan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua