Bungan itu dulu dijajah gak sih?
Sangalian Jato 22 Desember 2014Sebagai pendatang yang sampai saat ini masih terheran-heran dengan keterpencilan desa Bungan Jaya karena akses darat saja belum ada, ada satu pertanyaan yang sering nyangkut di otak saya: daerah ini dulu sempat dijajah nggak ya?
Saya sering mendengar cerita dari masyarakat sekitar tentang betapa sulitnya hidup mereka jaman dulu ketika mesin perahu, atau yang biasa mereka sebut dengan mesin tempel, belum ada. Kalau sekarang sih dengan kemajuan jaman, telah tercipta mesin tempel 40 pk yang beratnya lebih dari bobot badan saya tapi kecepatannya bisa mempersingkat waktu milir mudik dari desa ke kota dan sebaliknya. Sebelum mesin 40 pk masuk desa ini, para penduduk memakai mesin 15 pk (dan sampai sekarang pun masih dipakai). Sebelumnya lagi, 3.3 pk. Nah yang menjadi pertanyaan saya, lalu sebelumnya lagi berarti… mendayung?
Menurut cerita mereka sih demikian. Untuk sekedar pulang ke desa dari kota, mereka harus mendayung perahu kecil melawan arus hingga ke hulu dan itu semua memakan waktu dua sampai satu bulan. Tergantung debit air dan kekuatan otot tangan. Biasanya mereka mendayung ketika matahari masih di atas. Kalau matahari sudah terbenam, mereka menepi dan membuat pondok-pondok.
Oh iya dengan kata “mereka” ini yang saya maksud para tetangga saya yang sudah kakek-nenek yah, bukan cerita fiktif para manusia purba di jaman manusia masih makan manusia. Jadi sebenarnya kisah mendayung yang heroik ini diangkat dari pengalaman nyata orang-orang di sekitar saya ketika tahun 70an. Kenapa saya bisa memperkirakan tahunnya? Karena konon mesin tempel itu diperkenalkan ke desa kami oleh misionaris dari Amerika yang baru datang ke daerah ini sekitar akhir tahun 70an. Jadi berarti sebelum itu mereka belum kenalan sama si mesin ajaib.
Balik lagi ke pertanyaan aneh yang suka nyangkut di otak saya: jadi kalau jaman sekarang aja mau ke desa butuh perjuangan, dan di masa yang telah lampau mau mudik harus mendayung sampai gila, lalu waktu jaman penjajahan dan perang dulu.. daerah ini ikut-ikutan dijajah nggak ya? Kalau iya, gimana caranya para penjajah itu bisa tahu bahwa ada kehidupan di hulu Sungai Kapuas dengan jumlah manusia yang sangat-sangat sedikit? Saya nggak mau bawa-bawa Google Map, karena jelas jaman itu belum ada yang namanya internet. Tapi sebenarnya bahkan hingga saat ini pun desa ini belum terlacak di Google Map. Dan membahas tentang jumlah penduduk, aduh desa ini penduduknya cuma 70 KK. Kebayang? Kira-kira tidak sampai seratus rumah yang berdiri di desa ini. Jadi kalau memang para penjajah dulu sempat datang ke sini… ngapain?? Masa iya mereka ke sini untuk nyari emas? Atau mau belajar bikin manik? Atau mencari kayu gaharu mungkin?
Well beberapa pertanyaan terakhir tadi itu belum sempat terjawab sih, karena percakapan saya dengan salah satu nenek tetangga berakhir dengan kesimpulan bahwa iya, benar, para penjajah pun dulu sempat menginjakkan kaki di daerah ini. Tapi ternyata yang dimaksud dengan “daerah ini” bukanlah desa Bungan Jaya tempat saya saat ini berada, melainkan desa Tanjung Lokang dan daerah Uncak Bungan, sebuah pemukiman penduduk yang masih jauuuuuuuhh lagi ke hulu sungai. Perhatikan penggunaan huruf “U” berlebihan yang saya gunakan pada kata jauh di kalimat sebelumnya? Itu menunjukkan bahwa pemukiman tersebut jauh lebih terpencil lagi daripada desa yang saya diami sekarang. Kalau sekarang dari kota mau mudik ke Bungan butuh waktu 6 jam dengan mesin 40 pk, maka untuk mencapai Lokang butuh waktu seharian dan biasanya mereka menginap semalam. Nah kalau ke daerah Uncak Bungan itu ya…….. tambah setengah hari lagi. Atau mungkin satu hari.
“Mak, mamak dulu lahir di mana?”
‘Di.. Uncak Bungan’
“Di mana itu?”
‘Di hulunya Sungai Bungan.’
“Hulu lagi dari Tanjung Lokang?”
‘Iya, dari Lokang masih huluuu lagi.’
“Astaga. Lalu kenapa pindah sini?”
‘Karena.. terlalu jauh. Jadi kami pun turun ke Bungan’
“Lalu Mak.. dulu Bungan sempat dijajah nggak?” ‘Dijajah?’
“Iya.. sama Belanda, sama Jepang..”
‘Ohhh iyaaa!’
“Hah iya?? Tentara Belanda dan Jepang sempat ke sini??”
‘Jangankan ke sini, mereka ke hulu. Mereka ke Lokang dan Uncak Bungan sana..’
“Oh tapi mereka nggak ke Bungan?”
‘Iya dulu kan Bungan masih hutan. Waktu jaman perang Desa Bungan belum ada..’
“Oooo yayaya… tapi jadi nenek masih merasakan jaman perang?”
‘Oh masih! Saya masi ingat dulu waktu Jepang datang, saya lebih besar sedikit dari Pani.. (anak murid kelas 2 SD)’
“Lalu waktu perang selesai?”
‘Waktu perang selesai, tentara Jepang lari. Ada yang lari ke hulu, ada yang ke Kaltim, ada yang tembus Malaysia.’
“Pokoknya mereka lari ya?”
‘Iya karena kalau ndak lari kami bunuh.’
“Hah…”
‘Iya. Dulu orang-orang kami di hulu itu suruh kami bunuh semua tentara Jepang yang masih sisa. Mereka bilang, kalau kami ndak berani bunuh Jepang, nanti kami yang dibunuh. Jadi mau ndak mau kami pun mau bunuh Jepang, lalu Jepang lari semua..’
“Memang Jepang jahat ya?” (pertanyaan retorik)
‘Oh iya… jahat mereka. Kita disiksa. Dulu kalau kami melawan sempat diancam mau dijatuhkan bom pakai pesawat. Makanya begitu mereka kalah ya kami serang lalu mereka lari…’
Maka pertanyaan saya pun terjawab. Tidak, Desa Bungan Jaya tidak dijajah karena ketika itu desa ini masih merupakan hutan belantara. Tapi iya, nenek moyang orang Bungan yang tinggal di Lokang dan hulunya sungai Bungan merasakan kerja paksa jaman Belanda dan Jepang. Dan iya, yang namanya penjajah di mana-mana jahat. Mau itu di kota maupun di dusun terpencil di hutan Kalimantan, kalau statusnya penjajah tetap aja ngga ada yang namanya pencitraan dan berusaha baik-baikin masyarakat. Mereka tetap meninggalkan bekas menyakitkan di memori orang-orang yang mengalaminya.
Lalu sekarang giliran pertanyaan aneh berikutnya yang juga nyangkut di otak saya: para penjajah itu dulu makan apa ya? Apakah mereka bisa berburu dan mencari ikan juga seperti orang-orang sini? Apakah mereka nggak muak melihat hutan setiap hari? Apakah mereka nggak gatal-gatal mandi di sungai?
Iya saya tahu, itu pertanyaan-pertanyaan bodoh. Tapi nyangkut. Heheh gimana dong :3
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda