info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Guru itu Anti-Krisis Katarsis

Rizki Mustika 21 September 2013

Kupikir tak akan ada profesi yang lebih ideal dari konsultan. Tak akan ada yang lebih menyenangkan dari menjadi dosen, psikolog, atau peneliti, dan profesi-profesi non-struktural lainnya. Profesi-profesi yang tidak menghambat pertumbuhan sel-sel otak lantaran sifatnya yang monoton, rutinitas, atau berupa siklus. Pokoknya yang berulang lah. Tak sekalipun terbayangkan olehku mengisi daftar profesi ideal dan menyenangkan itu dengan Guru Sekolah Dasar.

Kupikir tak akan ada katarsis yang lebih keren dari yel guys. Yel guys itu adalah yel sakral yang sekaligus jadi identitas fakultas psikologi di perguruanku. Yel ini hanya kami yang punya dan tak boleh sembarangan dilakukan. Mesti di tempat dan waktu yang telah disepakati bersama. Yel mesti dipimpin oleh jendral paling tinggi yang hadir di acara bersangkutan. Di setiap angkatan hanya ada satu jendral atau satu jendril atau satu jendral dan satu jendril. Jendral atau jendril kami bukanlah orang sembarangan. Pemilihannya lebih serius dari pemilihan ketua angkatan. Dihadiri dan turut dipertimbangkan oleh jendral jendril terdahulu. Kalau anak-anak psikologi yel guys, satu balairung UI terpana. Entahlah aura sakralnya yang menjalar kemana-mana atau hentakan dan gemuruhnya yang buat orang-orang hanya diam dan lihat.

Ohya, aku lupa cerita. Katarsis itu bahasa sananya realease of tension. Jadi kalau kawan habis mengerjakan suatu tugas yang menguras tenaga dan melibatkan emosi, cara menge-nol-kannya lagi ya dengan katarsis. Macam yel guys tadi, biasa kami lakukan habis evaluasi/penutupan kepanitiaan besar atau  di hari wisuda. Tujuannya? Buat melepas segala tensi yang sudah dimunculkan. Katarsis bukan cuma yel guys saja. Ada banyak cara. Sengaja atau tidak, kawan pasti pernah melakukannya. Naik gunung atau backpacker-an habis UTS, atau makan-makan, karaokean, dan sekedar kongkow martabak alim-an di teras kosan selesai UAS, itu juga katarsis. Ngemil sekeranjang coklat, makan sebaki es krim, atau teriak-teriak nyanyi satu album My Chemical Romance, habis bab 1 skripsi di-ACC dosen pembimbing juga katarsis.

Nah, kupikir profesi yang punya paling banyak cara katarsis adalah Guru Sekolah Dasar. Selama kucing masih me-ngeong dan kambing tetap menge-mbeek, Guru Sekolah Dasar tak akan pernah kehabisan cara untuk ber-katarsis.

19 September 2013. Aku Ibu Guru di SDN 4 Sidogedungbatu. Aku hanya berjarak dua meter dari dua sepeda di depanku. Sepeda itu masing-masing dikayuh Ajib, murid kelas 4 dan Syakur kelas 5. Di belakangku beberapa sepeda lain dikayuh Hamim, Fikri, anak kelas 3, dan Syahrul, Firdaus, kelas 4. Jarak mereka paling hanya sekitar satu meter di belakangku. Kami sedang kebut-kebutan sepeda keliling kampung. Jalanannya total pasir. Rutenya selap-selip rumah penduduk, durung-durung, dan pepohonan pisang. Aku berkali-kali kewalahan. Anak-anak ini lihai luar biasa. Dua anak di depanku bahkan tak tersusul. Aku cuma bisa tetap di urutan ketiga.

Aku Ibu Guru SDN 4 Sidogedungbatu. Ini sore hari. Lumrahnya, bapak-bapak berjalan santai dan ibu-ibu duduk di durung-durung sambil ngerumpi. Anak-anak, termasuk aku, berseliweran, mengebulkan debu dari pasir Pulau Gili yang sudah lama tak bertemu hujan.

Melihatku ngebut, Pak Nding, tokoh pemuda Pulau Gili, tersenyum sumringah di teras rumah.

“Paaaaaak....” dari atas sepeda yang kukebut, kusapa dia ramah.

Leeek, Ibu Tika leeeek...” beberapa ibu yang duduk di dekat Pak Nding tercengang-cengang.

 “Buuuu...” sapaku.

Ebhuu, kama’a Bhuu?? Siiiiini Bhu...” ibu-ibu yang bergerombol di durung-durung yang kulewati memanggil-manggil.

Enggi Bu, amit Buu, mare malam...” kalau sedang jalan santai aku biasanya mampir sebentar. Tapi kali ini lain, aku sedang balapan. Ohya, mare malam itu maksudnya sudah malam. Di Gili, setelah ashar sudah bisa disebut malam.

“Bu Tika ini pade muridnya! Hahaha...” seorang bapak yang kulewati meneriakiku. Ia bilang, aku ini sama saja dengan muridku.

Enggi Pak, itu kancana eson, Pak...” Ku iyakan saja kata si bapaknya. Sekalian saja aku bilang, anak-anak ini tidak saja muridku. Mereka temanku.

“Reeeeesing, Bhuu??” yang teriak kali ini ibu-ibu. Untuk itu ia berhenti menyapu, berjalan sedikit maju ke depan rumahnya dan melambai-lambaikan selembar kain yang sepertinya adalah keset kaki.

“Enggi Buu, motoGP!” Kataku asal saja. Sepeda tetap kukayuh maksimal.

Aku tahu kelakuanku hari ini akan jadi omongan orang sepulau. Tapi seperti ajaran selama di camp; segala tindakan mesti bertujuan. Tujuanku jelas, katarsis. Beberapa hal yang kuhadapi akhir-akhir ini butuh katarsis yang lumayan ekstrim. Aku butuh me-realease a lot of tension. Yang kulakukan barusan sebanding lah dengan konsekuensinya. Sudah kutimbang-timbang, Kawan.

Aku beruntung Aku Ibu Guru SDN 4 Sidogedungbatu. Kedua PM sebelumku adalah laki-laki. Batasan untuk apa yang boleh dan tak boleh mereka lakukan lebih longgar. Batasan buatku sebagai perempuan pengganti mereka pun jadi ikut sedikit meluas. Otomatis, lahan katarsisku juga. Apalagi Kak Wintang dan Kak Wahyu memang sering sekali bermain bersama murid-muridnya. Anggap saja aku sedang menjaga sustainibility dan sedang melanjutkan outcome mapping-nya PM Pulau Gili.

Aku beruntung Aku adalah Guru. Kami para guru adalah profesional yang anti-krisis katarsis. Apapun bisa kami lakukan. Aku, di Gili, sudah memasak buat anak-anak, bermain ayunan gila bersama mereka, menyisir bibir pantai sekeliling pulau, membangun kota pasir, mandi air laut, mendaki gunung belakang sekolah, jelajah Pulau Manukan Aeng, berkemah di bukit pasir, memanjat pohon kersen dan duduk-duduk di atas genting, ikut mengupak-ngupak kepiting hasil nyolo, tidur-tiduran di bawah langit Gili yang hampir purnama saat genset pemasok listrik sepulau mati, dan banyak lagi. Sebanyak anak-anak Gili. Mungkin nanti, habis cuti, aku akan bawa kanvas, cat minyak, palet, dan kuas dari rumah. Aku akan melukis. Aku yakin guru-guru di manapun berada sama saja. Sama punya segudang stok katarsis.

 

 

Selamat pagi semua, kunantikan dirimu, di depan kelasku, menantikan kami..

Replikatika, 19 September 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua