info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Oemar Bakri dan Ketinting

Rif'atDarajat 25 Maret 2015

Desa Petiku adalah takdir dan jodoh bagi saya. Begitulah saya meyakinkan diri, setelah hampir dua bulan menetap di desa yang dikenal sunyi ini, sebagai pengajar muda terakhir di Desa Petiku, Kecamatan Longkali, Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur.

Sebelumnya, berbagai pertanyaan menghampiri, tentang mengapa saya ditempatkan di desa ini? Mengapa tidak di desa lain, yang telah memiliki jaringan listrik. Mengapa tidak di desa dengan akses jaringan telepon seluler yang stabil. Mengapa tidak di desa dengan jalur darat saja, tanpa harus melalui jalur air. Mengapa tidak di desa dengan jalan beraspal atau tanah yang mulus, tanpa bongkahan kerikil-kerikil besar (kerakal). Mengapa harus tinggal di desa dengan nyamuk dan agas yang siap menyerang tiap detiknya. Pertanyaan mengapa itu tak pernah habis, justru semakin menumpuk dan tak memiliki jawaban. Hingga suatu sore di Desa Petiku, air mata saya menetes. Kumpulan cerita-cerita yang saya dapat dari berbagai sumber, tentang perjuangan guru-guru tempat saya mengajar, SDN 020 Longkali, atau lebih dikenal SD Lanai, menampar keras segala prasangka dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di otak.

Pak Riduan, adalah salah satu sosok yang membuat saya malu. Sederhana, sabar dan berwibawa. Sebagai Kepala Sekolah SD tempat saya mengajar, perjuangan beliau selama lebih dari 20 tahun mengabdikan dirinya patut diacungi jempol. Beliau mulai mengajar sejak Desa Petiku belum bisa dijangkau dengan jalur darat, sehingga harus menyusuri Sungai Telake dengan menggunakan ketinting/cis (semacam perahu kecil bertenaga mesin). Bahkan, ketika musim air sungai pasang, lama waktu tempuhnya menjadi dua kali lipat dibandingkan ketika kondisi air normal.

Pak Markus, adalah sosok lain yang semangatnya tak kalah tinggi dengan Pak Riduan. Tegas dan bersahaja. Semangat positif senantiasa beliau tularkan kepada anak didiknya. Beliau juga senantiasa berusaha untuk tetap masuk sekolah, bahkan ketika hujan sekalipun. Meskipun tak jarang, jalan menuju SD Lanai tidak mudah dilalui ketika hujan turun. Sosok-sosok inspiratif lainnya dari SD Lanai, membuat saya semakin tertunduk malu, tentang apalah dan siapalah saya ini.

Dibandingkan dengan mereka yang telah bertahun-tahun, yang sebagian besar berasal dari desa lain, datang mengabdikan diri sepenuhnya untuk mendidik putra-putri bangsa di SD Lanai, tanpa memperdulikan bagaimana akses jalan yang harus mereka tempuh setiap harinya. Mereka hanya mempunyai satu tekad yang sama, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mendidik putra-putri Indonesia dengan segala potensinya. Sedangkan saya yang hanya bertugas satu tahun di sini, tidak pantas rasanya mengeluh dan mempertanyakan berbagai keterbatasan akses di Desa Petiku.

Pertanyaan saya terjawab lunas. Ini bukan soal jual beli, tentang seberapa besar yang diberikan sesuai dengan yang didapatkan. Ini semua adalah tentang bekerja maksimal dan meluruskan niat baik. Sekali lagi, syukur dan terimakasih saya ucapkan, atas segala inspirasi terbaiknya, para pahlawan tanpa tanda jasa di SD Lanai-Petiku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua