info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Cinta ayah yang tak sama lagi - Bagian tiga

Ridwan Gunawan 25 November 2013

 

“Pah, katanya masuk rumah sakit gara-gara gulanya naik lagi?”

 

“Iya nih, besok jari kaki papa mau diamputasi kata dokter. Hahaha”

 

“Berapa jari pah?”

 

“Cuma dua”

 

“Hahaha... Cuma dua ya pah. Tenang, masih ada tiga lagi buat jaga keseimbangan berjalan”

 

Percakapan yang terdengar renyah dan tenang ini sejujurnya masih belum membuatku sadar sepenuhnya akan sebuah kenangan di masa kecil. Hanya demi mendengar suara papa. Yang sudah lama sekali aku tinggal merantau sejak bangku kuliah. Aku hanya pulang sekitar satu atau dua kali dalam setahun. Kalau  bukan lebaran, ya waktu mau ziarah ke makam mama saja. Tidak lebih. Sekedarnya saja.

 

Siang ini, sebelum kelas dimulai. Seperti biasa aku melakukan apersepsi kepada para murid dengan bertanya ‘Apa kabarmu hari ini?’ Dan aku meminta muridku menjawab cukup tiga kata saja. Tidak lebih. Bila ada kata yang menarik akan aku tanya lebih jauh alasannya.

 

Seperti biasa, kata-kata yang diucap muridku selalu standar. Baik, bahagia, dan senang. Seputar itu-itu saja. Sampai sesi awal kelas ini hampir selesai, salah satu murid nyeletuk bertanya kepadaku, “Apa kabar bapak hari ini?”

 

Aku diam.

 

“Tenang... berdebar-debar... dan...”

 

Entah mengapa jantungku berhenti berdegup sejenak, dan pikiranku teringat percakapan dengan papa.

 

“Sedih...”

 

Ya, kuakhiri kata terakhirku dengan segudang pertanyaan di pikiran murid-muridku.

 

“Kenapa sedih pak?”

 

Terpaksa kulayani pertanyaan mereka.

 

“Bapak sedih karena, ayah dari bapak sedang sakit dan jarinya akan diamputasi karena penyakit gulanya. Bapak minta doanya ya anak-anak untuk ayah bapak agar segera sembuh dari penyakitnya dan bisa sehat lagi”

 

“Ya pak. Hmm.. tapi diamputasi itu apa pak?”

 

“Diamputasi itu dipotong”

 

Sampai kalimat terakhir ini aku masih merasa biasa-biasa saja. Tapi muridku tidak. Mata mereka berkaca-kaca. Ada yang sedikit sesenggukan menangis.

 

Aku bingung. Kenapa mereka menangis.

 

Aku pernah dengar bahwa anak-anak kecil yang masih berumur sekitar di bawah sepuluh tahun masih memiliki hati yang jujur dan polos. Apalagi anak di pedalaman yang masih sangat jarang bahkan tidak pernah namanya menonton televisi, memiliki hati yang murni. Aku tidak tahu apa yang mereka bayangkan dari ceritaku barusan. Aku sungguh tidak punya ide apa yang mereka pikirkan sampai terdiam dan sedih. Apakah ini yang namanya empati sejati?

 

Bagiku, papa adalah sosok lelaki bertubuh besar dan tegap yang gagah dan suka bercanda tidak akan pernah takut bila kedua kakinya diamputasi sekalipun. Karena itulah aku tidak pernah menganggap serius berita mengenai diamputasinya jari kaki papa. Tapi hal ini beda cerita bagi bayangan anak-anak di sini. Mereka membayangkan ayah mereka di desa ini yang pekerjaan setiap harinya adalah petani karet, mau jadi apa tanpa jari kaki. Padahal mereka biasa berjalantanpa alas kaki atau paling tidak dengan sandal jepit. Bila tidak bisa berjalan lagi, mau makan apa mereka di rumah. Digunjingkan oleh tetangga bahwa ayahnya tidak punya jari dan sebagainya.

 

Astaga, ternyata skema yang aku miliki sangat berbeda dengan skema anak-anak ini. Standar yang aku miliki terlalu berbeda. Aku tidak tahu bahwa cerita jari papa yang diamputasi akan memberi dampak kesedihan bagi mereka. Dan bagiku hanya sebuah cerita seperti kehilangan bulpen belaka.

 

Muridku mulai menularkan rasa sedih tangisnya ke murid lain yang awalnya tidak menangis. Kemudian ada yang menghampiriku dan memelukku. Hoi, aku ini guru. Seharusnya akulah yang selalu menjadi pelindung bagi mereka. Menjadi penyemangat, motivator bagi mereka.

 

“Nak... kalau sudah besar jadilah cah bagus, alus atine, lan pinter...”

 

Sepotong kalimat yang muncul di pikiranku. Sebuah kalimat yang diucapkan papa ketika aku masih kecil. Diucapkan oleh papa sambil menimangku dengan kedua kakinya. Di dalam sarungnya. Kepalaku timbul dari dalam sarung di antara kedua kaki papa. Aku menggenggam kedua telapak kaki papa. Meremas jari jemarinya.

 

“Cah bagus, alus lan pinter...”

 

Astaga, tangisan dan pelukan murid-muridku telah menembus pertahanan di dalam hatiku. Barier ketidakpedulian dan kesombonganku telah runtuh.

 

Ada cinta dari papa yang telah lama terkubur terlalu dalam di dalam hati. Tak tersentuh lagi sekian lama.

 

-<>-

 

Gelap... hening...

 

Sewaktu aku masih kecil aku pernah mengalami hal yang aneh. Di malam hari ketika aku sedang tiduran. Hanya aku lupa, saat itu aku masih terbangun atau sudah tidur. Semuanya gelap. Tentu saja, biasanya papa selalu mematikan lampu ketika kami tidur. Hanya saja saat itu aku merasa sadar. Sadar kalau aku merasakan tubuhku sedang tidur. Tidur yang nyenyak. Di tengah gelap, aku merasa melayang. Tanpa bisa melihat sekitar karena gelap. Gelap total. Kemudian aku berpikir. Berpikir, bagaimana aku ini bisa hidup di tengah keluarga ini? Anak dari papa mamaku, adik dari kakakku. Mengapa aku hidup? Aku, kenapa dilahirkan? Apakah aku nyata? Apakah papa, mama dan kakakku nyata? Bagaimana bila selama ini aku hanya dibohongi oleh sesuatu yang aku tidak tahu apa wujud dan maksudnya. Aku hanya berpikir.

 

Lama, hening.

 

Tiba-tiba papa memelukku dari belakang. Sebuah jawaban yang hampir kusadari lupa begitu saja. Dengan hangat pelukan dari lelaki yang telah menghamili mama sehingga aku terlahir. Akibat konspirasi alam, yang mempertemukan dari jutaan lelaki di muka bumi ini dengan mama. Sebuah pencerahan yang tertunda. Aku lupa dengan pikiran melayangku tadi. Tak apa, ada papa di sini, di dekatku.

 

-<>-

 

SMS dari ibu tiriku masuk lagi. Sudah sekian kali dia berusaha menghubungiku di tengah fakirnya sinyal di hutan tempat aku mengajar para bocah unik dan cerkas yang kelak akan menjadi para pemimpin yang adil dan bijaksana di masa depan.

 

“Nak, papamu sudah tidak bisa lagi mengetikkan sms untukmu nak. Papamu juga sudah tak bisa bicara. Kapan kamu bisa pulang nak?”

 

Isi SMS dari ibu yang telah kubaca berkali kali ini hanya bisa membuatku diam. Aku sedang berpikir, ‘respon apa yang harus kuberikan pada keadaan ini’. Bodohnya aku, seperti ini saja pakai dipikir segala. Sebagai anak harusnya aku tahu apa yang dilakukan ketika ayah biologisnya sedang dalam keadaan kritis.

 

Kemudian aku melihat bapak angkatku selama di desa penempatan. Dia sedang merokok dengan santainya. Hanya bertelanjang dada saja dan memakai sarung yang dibelit sekenanya untuk menutup tubuh bagian bawahnya.

 

pe die kabar ebak dengan?

 

Masih same bae bak. belum ade perkembangan.

 

Ebak menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian ia hembuskan ke udara dengan lembut.

 

Wan, tubo cume pacak doakan ebak dengan bae dari sini. Dek katik ape tubo pacak berikan. Baleklah dengan, jenguki bapak. Juare yang punya hidup ngambik bapak dengan olehnye la waktunye tubo dek tekeruan kebile atu terjadi.

 

Au bak, dang aku pikirkan..

 

Ai dai!!!... dengan ini berpikir bae. Jengukilah die!

 

Aku tersentak, dengan makian bapak angkatku.

 

Au!

 

Aku ambil tas, dan bersiap ke sekolah di mana muridku telah menanti. Percakapan melankolis mengenai papaku ini harus kutunda dulu. Ditunda sementara untuk mengajar para bocah calon pemimpin. Dalam hati, aku masih resah. Walau bagaimanapun benar apa kata bapak angkatku. Mungkin hidup papa tidak akan lama lagi. Kita manusia tidak ada yang pernah tahu apa rencana Yang-Punya-Hidup.

 

Pah...

 

Papa...

 

Aku ingin pulang. Menegokmu.

 

Ketika aku sampai di sekolah, seperti biasa murid-murid mengelilingiku. Mereka mencium tanganku. Sebuah perilaku, yang justru mengingatkanku pada masa kecilku. Ketika papa hendak berangkat kerja, meninggalkan aku, kakakku dan mama, kami bergantian mencium punggung tangan papa yang kekar.

 

Mataku meleleh hangat. Bayangan papa menghantui pikiranku. Sosok papa yang sudah tua, tidak sehebat dulu lagi. Terbaring sepi dan sendiri di ranjangnya, menanti anak lelakinya kembali ke pelukannya. Untuk terakhir kalinya mengucapkan mantranya yang telah melegenda, ‘Bagus.. Alus.. Pinter’.

 

Air mata turun dan aku menundukkan kepala, tidak ingin muridku tahu kalau gurunya menangis. Aku katakan pada diriku sendiri bahwa aku harus pulang, untuk menggenggam tangannya. Mungkin untuk yang terakhir kali?


Cerita Lainnya

Lihat Semua