Angka 10 di Dahi Mereka

Rian Ernest Tanudjaja 25 Februari 2012

Menjadi pengajar bukan berarti bahwa hanya kita yang mengajar dan siswalah yang diajar. Sama sekali bukan. Malah sebaliknya.

Kumulai cerita ini dengan menyampaikan persoalan klasik hubungan manusia. Sikap menghakimi tampaknya merasuki tataran sosial kita. Kalau melihat seorang anak punk yang sedang nongkrong di mall dengan rambut spike menantang angin--dan kapitalisme, kita langsung mengecap bahwa ia bermasa depan suram. Kita membayangkan dia dengan hidupnya yang akan sulit. Tidak ada jalan keluar bagi dia. Tidak ada kesempatan bagi dia. Tertutup sudah jalannya. Padahal kita tidak pernah tahu, bahwa mungkin beberapa tahun ke depan, dia akan merapihkan rambutnya, dan menjadi pengusaha konveksi jeans ternama di kota Bandung.

Nilai-nilai dari anak punk mungkin tidak diterima oleh masyarakat kebanyakan. Celana sobek, baju (terlalu) ketat, rambut tegak dan dicat warna-warni. Namun ada satu nilai dari mereka, yang jarang diketahui masyarakat. DIY (Do It Yourself) menjadi pegangan bagi mereka. Mereka terbiasa mandiri mencetak gambar khas anak punk di kaos. Mereka terbiasa mandiri mencetak rekaman lagu, sebelum juga disebarkan ke umum secara mandiri. Tanpa media perusahaan atau sponsor. Ini lahir dari prinsip antikapitalis dan anti kemapanan yang mereka anut. Dan dari situ mereka menjalani nilai kreativitas, kerja keras dan kemandirian. Si anu yang dulunya anak punk telah menjelma menjadi pengusaha! Apakah kita masih berhak menghakimi dia?

Di sisi lain, melihat seorang cantik ayu dan intelek, angan Anda akan melayang membayangkan betapa sempurnanya ciptaan Tuhan. Bahwa dia akan maju menjadi anggota parlemen terhormat, selebrita ibukota dan menjadi ikon anti korupsi. Coba pikir lagi.

Saya mungkin termasuk orang di alinea di atas. Cepat menghakimi orang hanya melihat dari luarnya saja. Saya juga sering dihakimi orang (dan tentu saja mereka teramat sering salah). Lingkungan sekitar telah membentuk saya untuk menghakimi orang berdasarkan pembawaan, penampilan luar dan pencapaian mereka.

Mungkin Anda juga merasakan yang sama. Manusiawi kok. Jadi tolong teruskan membaca alinea di bawah ini. Ini adalah cerita yang mengubah hidup saya. Si sumber cerita adalah anak berumur 10 tahun dari kabupaten terselatan Indonesia. Dia mengajarkan saya arti penghargaan dan ketulusan.

============================================

Sebelum saya menjadi Pengajar Muda di Desa Daepapan, Pulau Rote, saya adalah seorang konsultan hukum bisnis. Mendapat kehormatan mengabdi sebagai guru, mau tidak mau saya harus melahap buku-buku cara mendidik. Dan banyak sekali hal baru yang kudapat disana. Tersadar pula betapa ‘salahnya’ cara diriku dan kebanyakan orang dari generasiku diajar dalam institusi yang namanya sekolah.

Perkenalkan Arep Sinlae. Dia tinggal di dusun Lopolain, kira-kira setengah jam jalan kaki dari SDN Daepapan. Kurus dan cukup tinggi, jidat lebar, hidung kecil, kulit coklat. Mukanya khas. Dia pemalu dengan senyum terkembang yang sangat dia keluarkan. Senyumnya mahal, menular dan membuat Anda tersenyum bila melihatnya.

Arep adalah salah satu dari tiga anak yang datang pertama di hari inisiasi saya mengajar. Jadi ingat waktu pertama kali dia kusalami. Dia tidak berani melihat mata saya. Anak-anak disini juga rata-rata begitu. Mungkin mereka biasa takut kepada guru. Mungkin karena adanya slogan “di ujung rotan ada emas” yang berlaku disini.

Mengamati Arep secara seksama, ada yang berbeda dengan anak ini. Dia terlalu pendiam, terlalu pemalu. Mendengarkan kata per kata keluar dari mulutnya akan sama seperti mendengar lirihan. Ketidakpercayaan dirinya mempengaruhi linguistiknya. Dan mempengaruhi pergaulan dengan teman sebayanya. Ia sering bermain sendirian saat istirahat, mengejar kupu-kupu di halaman sekolah.

Dia adalah muridku di kelas 5. Salah satu dari 28 siswa yang kupegang. Setelah pertemuan pertama dengannya, aku mulai garuk-garuk kepala. “Apa iya anak ini memiliki salah satu kecerdasan dari 9 kecerdasan menurut Howard Gardner?” (pencetus Kecerdasan Majemuk)

Saat kutanya ke guru yang mengajar dia di tahun ajaran lalu, si ibu guru mengatakan, “Waduh Pak Rian, si Arep itu talalu lamban sekali Pak....” Kubilang, “Ah masa, Ibu?” Dia bilang, “Betul Pak!” Dan dia mengatakan ini dengan ekspresi yang sangat menyakinkan. Persinggungan antara raut wajah, tarikan intonasi dan bahasa mata. Si ibu guru pasti jam terbang menonton sinetronnya tinggi!

Disinilah beban moril saya sebagai guru mulai terbentuk. Mengangkat seorang Arep dari ketidaktahuan menjadi tahu. Dari tidak percaya diri menjadi yakin terhadap dirinya. Dari tukang mengeluh menjadi seorang optimis. Easier said than done indeed.

Cerita ini melayang menuju pembelajaran di sekolah. Pada awalnya Arep tampak malu-malu. Namun ini berubah sejak saya memanggilnya secara khusus sepulang sekolah dan mengatakan kepada dia, “Kamu jangan pernah merasa rendah diri dengan cibiran banyak orang. Pak Rian tahu kamu itu pintar. Ayo Rep, kita buktikan ke semua orang yang mencibir kamu, bahwa mereka semua salah!” Arep tidak mengucapkan kata balasan, tapi dari tatapan mata kami, saya tahu bahwa dia mengerti maksud saya. Melihat matanya, saya tahu bahwa dia mau berusaha bersama saya.

Saya amati, tampaknya anak ini telah dihakimi oleh teman dan gurunya, karena ya itu tadi: dia tidak menonjol dalam seluruh bidang pelajaran. Bahkan untuk berbicara atas nama dirinya sendiri saja sulit sekali. Setiap kali dia berbicara di depan kelas, saya selalu meneriakkan kata “HARD!” 'Hard' adalah sinyal yang kuberikan kepada anak yang lemah suaranya, agar diperbesar sehingga terjangkau sampai ke belakang kelas.

Meskipun pendiam di banyak pelajaran yang ada, saat pelajaran matematika, matanya terlihat bercahaya sekali. Dia sangat senang berhitung. Matanya lebih bercahaya lagi apabila sedang mengerjakan soal. Senyum mahalnya akan terkembang, disertai sedikit lidah menjulur keluar, seperti mencoba mengatakan, “Saya pasti bisa mengerjakan ini!”

Angka 10. Sebuah nilai yang diidamkan setiap guru untuk dimiliki siswanya (10 dari skala 10 tentunya). Buku yang kubaca menyarankan bahwa pada saat kita masuk kelas dan mengajar, kita wajib membayangkan ada angka 10 di dahi tiap anak-anak di sekolah. Dan ini diterapkan di setiap sesi mengajar.

Bayangkan bahwa si anak adalah anak sempurna. Bahwa setiap anak adalah angka 10 sempurna. Hal ini sangat penting karena anak-anak adalah psikiater terhebat non-akademik (tidak pernah belajar soal psiko-blablablah). Mereka sangat perasa dengan setiap ekspresi dan segala ucapan kita. Mata adalah organ yang dapat menceritakan segalanya. Mata kita tidak pernah bohong. Dan anak-anak akan bisa membaca arti tatapan kita. Bila Anda sudah dekat dengan anak-anak, Anda mungkin akan dapat mempraktekkan “tatapan percaya dan yakin”, “tatapan marah”, “tatapan kecewa”, “tatapan jangan-ulangi-lagi”, “tatapan ayo semangat”. Pelajarilah tatapan ini, dan niscaya pita suara Anda akan terawat selama Anda menjadi guru.

Menanamkan kepercayaan dan keyakinan kepada anak akan sangat membantu mereka dalam belajar. Terutama apabila di rumah, mereka mendapatkan perlakuan keras dan cenderung diabaikan oleh orangtuanya (dalam akademik). Banyak orangtua disini yang mengaku bahwa mereka bekerja di kebun dari pagi sampai petang, sehingga saat pulang di rumah, sudah tidak lagi memeriksa atau menanyakan perkembangan di sekolah.

Mereka butuh diberikan apresiasi dan perhatian. Inilah celah yang harus diisi oleh pengajar. Jadi mari kita bayangkan bahwa ada angka 10 di dahi tiap anak yang kita ajar. Setiap anak tanpa terkecuali. Imajinasikan secara mendalam dan konsisten. Niscaya, binar mata guru akan berbeda. Mata guru akan memancarkan kepercayaan dan keyakinan kepada tiap anak. Mereka akan tahu bahwa guru tidak benci kepada kegagalan mereka. Mereka akan berani mencoba dan mencoba lagi. Mereka tahu bahwa guru selalu memberikan mereka kesempatan kedua! Mata kita seolah menyampaikan, “Nak, jangan takut untuk jatuh! Setelah jatuh, kamu akan mencapai tujuanmu!”

Sering saya mengantarkan perumpaan sebagai berikut: “Siapa yang sudah bisa mengendarai sepeda?”

“Sayaaaaaa!!!! (hampir semua unjuk tangan)”

“Siapa yang waktu belajar mengendarai sepeda pernah jatuh?”

“Sayaaaaaa!!!! (hampir semua unjuk tangan)”

“Akhirnya bisa naik sepeda tidak?”

“Sayaaaaaa!!!! (hampir semua unjuk tangan)”

“Nah, namanya belajar juga begitu. Pasti kalian pernah salah. Tapi akhirnya kalian akan bisa menguasai pelajaran!”

(Kembali ke Arep Sinlae. Dia memberi saya salah satu momen terindah dalam hidup saya. Setelah menanamkan “keyakinan” kepada dia, Arep mendapatkan nilai 10 pada ulangan matematika pertamanya. Ya, 10! Mengalahkan si jawara kelas selama 4 tahun berturut-turut! Sepanjang minggu tak henti-hentinya kuceritakan hal ini kepada tiap guru di sekolah!)


Cerita Lainnya

Lihat Semua