Inspired by Freedom Writers

Rangga Septiyadi 31 Januari 2011
Freedom Writers adalah kisah tentang anak-anak remaja yang berusaha melawan kondisi sosial mereka yang penuh konflik. Konflik di antara komunitas-komunitas yang ada di sekitar kehidupan mereka terbawa sampai ke sekolah; area sekolah yang terbagi-bagi berdasar daerah kekuasaan komunitas (anak-anak Latin, kulit putih, negro, asia, dst), konflik fisik saat penguasaan daerah tersebut dilanggar, hingga pengkubu-kubuan tempat duduk di dalam kelas. Seorang guru perempuan datang dalam kelas dan kehidupan anak-anak remaja ini dan mengubah semuanya. Inilah salah satu film yang inspiratif... Let’s talk again about my students... When i say ‘my students’, it means 2nd-4th graders. But, sometimes it refers to only 4th graders. Nah, kalau tidak salah di tulisan yang lain saya sudah pernah menceritakan kalau murid-murid saya berasal dari beragam komunitas yang ada di desa ini. Ada Jawa, Melayu, Cina, dan Cina Akit. Ini bukan tantangan yang mudah tentu saja. Tantangan pertama untuk saya, tentu adalah mengajari mereka berdoa. Saya cenderung sepakat bahwa anak-anak sejak dari kecil harus diajari berdoa dengan cara agama yang dianutnya. Jika Islam, ya mengucapkan doa-doa sebelum belajar. Jika Budha, ya juga menggunakan doa-doa dan cara yang diajarkan di rumah kepada mereka. Saya berharap membiasakan anak-anak dengan ritual yang jelas. Tapi itu bukan hal yang mudah untuk diseragamkan di kelas, mengingat siswa-siswa ini berasal dari beragam komunitas. Tapi okelah, saya pikir bukan itu topik saya sekarang. Saya ingin cerita tentang eksklusi yang terjadi di kalangan siswa ini. Anak Cina bermain dengan anak Cina, anak Jawa Melayu dengan komunitasnya saja, kurang lebih begitulah kondisinya. Sebelumnya, saya mohon maaf menggunakan term ‘anak Cina’ dan ‘anak Jawa’, bukan ingin menajamkan perbedaan di antara mereka, tapi lebih untuk menjelaskan siapa subjek pembicaraan saya. Ya, eksklusi. Ini mungkin PR besar saya di sini. Bukan olimpiade, bukan menang di lomba-lomba dan seterusnya. Saya pikir, sebagai alumni Antropologi –yang masih gagap ber-Antropologi ria-, saya lebih sensitif dengan isu-isu sosial dibanding isu olimpiade dinas, olimpiade Kuark, pesta siaga, dan seterusnya. Lomba itu penting, tapi menyiapkan infrastruktur mental (apa ya itu artinya?) pasti lebih penting; menyiapkan mereka menjadi anak-anak yang bisa menghormati komunitas lain tanpa menggerus nilai-nilai yang mereka sendiri anut, saling bergandeng tangan dan saling menopang untuk menjadi satu dalam kerangka ‘anak Indonesia’, serta kemampuan baca tulis hitung dan berpikir logis. Kemarin, Sabtu (22/1), saya datang lebih dulu ke sekolah dari guru-guru lain (tumben bisa dateng lebih dulu! Hee...). Anak-anak kelas 2, 3, dan 4 sedang bermain bola. Ada Akiu dan adiknya Asen serta Asah yang Cina dan Alif, Muhyidin, serta Rahmansyah yang Jawa, serta teman-teman mereka yang lain. Saat baru gabung beberapa menit, saya bertanya, “ini pembagian kelompoknya gimana?” kemudian dijawab, “satu tim enam orang, pak...” saya bertanya lagi, “cara bagi kelompoknya gimana?”, lalu lahirlah jawaban yang agak membuat saya tersentak dan mulai mencatat kondisi itu dengan lebih khusus sebagai kondisi yang harus saya perhatikan betul-betul. Kata sang kiper, “yang Cina sebelah sini pak.” Saya lanjut ikut bermain. Juga dengan tema eksklusi yang masih berlanjut dalam pikiran saya. Anak-anak yang seharusnya tak tercemari oleh suasana ‘konflik’ komunitas ini ternyata terbawa dalam kondisi seperti. So far, memang tidak ada diskriminasi yang betul-betul kentara terhadap salah satu komunitas, baik dari Cina kepada Jawa atau sebaliknya. Tapi pembagian kelompok berdasarkan komunitas itu saya pikir menunjukkan banyak sekali suasana alam pikir anak-anak ini tentang in-group dan out-group. Mereka seolah sudah memiliki garis yang tegas tentang ‘siapa kami’ dan ‘siapa mereka’. Melihat suasana bermain yang lebih banyak di-‘dominasi’ oleh anak Jawa, saya akhirnya memilih untuk berada di tim anak-anak Cina. Tentu agar kondisinya menjadi lebih imbang. Minggu depan mungkin depan saya akan gabung di tim anak-anak Jawa. Minggu depannya lagi saya ingin mereka suit untuk menentukan siapa di tim mana. Yang menang suit akan bergabung dengan yang menang suit juga, tak peduli ada anak Cina dan Jawa bertemu. Suasana pengkotak-kotakkan juga terlihat di dalam interaksi sehari-hari. Anak Cina cenderung bermain antar mereka. Hanya satu anak Cina yang saya lihat duduk satu meja dengan anak Jawa. Saat istirahat, mereka juga sering berkumpul, walau tanpa aktivitas bermain sekalipun. Melihat kondisi ini, saya yakin bukan anak-anak Cina yang merasa superior sehingga tak mau berkumpul. Sepertinya ada aura inferioritas di dalam diri mereka untuk berinteraksi dengan yang lain. Terinpirasi dari film Freedom Writers, saya ingin pada akhirnya tidak ada lagi pengkotak-kotakkan di antara anak-anak didik saya. Inilah contoh infrakstruktur mental yang saya sebut di atas. Kondisinya sekarang, anak-anak Cina ini sudah mulai terbuka dengan saya. Bahkan ketika sedang berbincang santai tentang kue-kue khas Imlek usai main bola kemarin, salah seorang di antara anak Cina ini mengajak saya ke rumahnya, “tahun baru (imlek) mainlah pak ke rumah kami..” Hmm... :)

Cerita Lainnya

Lihat Semua