Dilema Ujian Nasional
Rangga Septiyadi 6 September 2010
Hello, universe! Lama kita tak jumpeu di dunia tanpa batas ini; dunia maya! Apa kabar dikau? Apa kabar mereka? Apa kabar kita? Tak ada yang lebih heboh dari cerita hari-hari belakangan ini selain bahwa kita masih memendam perih tentang pelaksanaan UN yang... hmm... Super!
Mungkin saya tidak akan menceritakan bagaimana pelaksanaan UN di sekolah saya (wong saya ditempatkan di lokal jauh yang cuma ada kelas 1-4 aja). Jadi, anggap saja saya hendak menceritakan pelaksanaan UN di suatu lokasi antah berantah. Yang penting, kita pegang esensinya; masih beginilah kondisi pendidikan kita.
***
Masih begini? Gimana tuh yang ‘masih begini’? Ya begini. Hehe..
Orang Singapura nan tidak jauh dari Indonesia telah maju dengan masyarakat yang dikendalikan oleh hukum. Bahkan sampai kesalahan yang ‘kecil’, meludah, membuang puntung rokok, membuang sampah sembarangan, dan seterusnya, mereka tunduk takluk (‘takluk’, bukan ‘patuh’). Jepang lebih hebat lagi, sudah menyatu rasa malu saat melakukan sebuah kesalahan di diri kebanyakan pejabatnya. China, jangan coba-coba, peti mati disiapkan untuk anda yang mencoba melenceng jauh (korupsi).
Kita, kita masih mengeja apa itu taat hukum, apa itu keteraturan sosial via ketaatan pada hukum. Tak nampak pentingnya berhukum (atau memang hukum itu tidak penting ya?). Ah entahlah, yang pasti saya menyadari tulisan saya semakin melebar nggak jelas.. Hehe.. (kacau, udah lama nggak nulis jadinya parah berantakan gini tulisannya).
***
Inilah tragedi pendidikan termiris di sebuah negeri kaya raya. Menyisakan luka besar yang menganga, memberi kesempatan kepada setiap virus baru untuk masuk dan semakin merusak.
Dan inilah kita, yang lebih suka mengutuk dari pada mengambil perban lalu merapatkan luka itu sambil berusaha mencari (atau bahkan menjadi?) dokter untuk menyembuhkan luka ini.
Orangtua sibuk mempersiapkan sarapan untuk anak-anak mereka yang masih bersekolah, sebelum masuk ke kebun-kebun karet untuk menoreh getahnya. Setiap pagi, hampir setiap hari; mari menitip anak-anak kita.
Saat orangtua tak sempat mendidik anak karena tuntutan ekonomi, sekolah adalah tempat menitip tugas itu, mendidik anak dengan ilmu dan nilai-nilai baik yang kelak menjaga si anak di masa depannya. Maka apa yang terjadi jika sekolah juga mengajari berbuat curang? Tidak jujur? Memberi kunci jawaban saat ujian nasional? Miris.
Enam tahun belajar berbuat jujur. Setiap mencontek dimarahi. Saat ulangan guru mengawasi agar tidak mencontek. Saat ujian nasional, puncak dari segala puncak ujian, guru dengan sangat ‘baik hati’-nya memberikan kunci jawaban. Seolah menyusui sambil menikam.
Dilema memang. Konsisten pada kejujuran di ujian nasional ini bisa jadi artinya sungguh berisiko. Untuk murid, bisa jadi tidak lulus. Untuk guru, bisa jadi akan dimarahi kepala sekolah. Untuk kepala sekolah dan pengawas sekolah, artinya mungkin dianggap tidak bisa ‘mengatur’. Untuk kepala UPTD pendidikan, mungkin artinya tak jadi naik jabatan. Dan seterusnya.
Tiap daerah berlomba dapat nilai bagus. Sayangnya perlombaan itu tak ditemani pemerataan kualitas pendidikan. Indikatornya dari ketidakmerataan fasilitas pendidikan dan kualitas guru. Menteri pendidikan membuat perlombaan. Gubernur, bupati, dinas pendidikan, semua ingin turut serta. Di bawahnya ingin terlihat menyumbang kemenangan. Jalan pintas pun dipilih.
Pagi itu anak-anak mengerjakan soal yang disediakan. Di tengah waktu ujian, soal dipinjam, dijawabkan oleh guru-guru. Tak sempat membagikan jawaban ke anak-anak, usai waktu habis anak-anak dikumpulkan; biarkan yang sudah sesuai jawaban guru, ganti jawaban jika belum sesuai kunci jawaban. Bumi terhenti, menyaksikan drama pendidikan paling miris.
***
Tapi mau bilang apa? Mereka semua korban. Korban dari mata rantai perlombaan tahunan yang ending-nya selalu menyedihkan. Anak-anak itu butuh mental yang sehat, yang tak tercemari ajaran berbuat curang. Guru-guru itu perlu kenyamanan dalam mengajar; kenyamanan finansial dan kenyamanan intelektual (pengetahuan yang cukup, kapasitas mengajar yang baik). Selanjutnya lupakan pengawas sekolah yang mencari aman atau kepala UPTD yang tak punya visi pendidikan yang kuat.
***
Apakah drama ini terjadi di sini? Di lokasi penugasan saya? Lupakan itu. Apakah tahun ini? Lupakan juga itu. Kejadian ini masih berulang, di banyak tempat. Ambil satu kisah lalu kita menangis bersama. Kemudian kokohkan semangat untuk bekerja lebih giat lagi; untuk Indonesia kita!
Posted with WordPress for BlackBerry.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda