IDRUS...

Rahayu Pratiwi 17 Mei 2014

Namanya idrus. Pertama kali melihatnya mungkin orang sering menganggapnya sebelah mata. Terlihat tidak menarik baik dari nilai dan sikap. Seringkali bersikap seenaknya sendiri, tidak mendengar apa yang dikatakan guru, dan berespon sangat lambat. Dia juga sudah beberapa kali tinggal kelas, padahal teman seusianya sudah mengikuti ujian nasional SMP. Sedangkan dia masih duduk di kelas 6 SD.

Permah suatu ketika di kelasnya aku mengajar, dia hobi sekali keluar masuk kelas. Makan sewaktu guru menjelaskan, padahal tata tertib kelas sudah dibuat dan disepakati bersama, tapi tetap saja dia tidak mendengar meski berkali-kali sudah diingatkan. Mengerjakan soal tanpa berpikir, 15 menit soal ditangan, secepat itu pula dia mengumpulkan. Teman-temannya sering menjuluki dia, idrus pongo (red: budek) tapi dengan gayanya yang khas dia hanya tertawa dan santai saja menanggapi julukannya itu. Sampai ketika kesabaran sudah memuncak di kelasnya, aku sudah tidak memperdulikannya ada atau tidak di kelas. Ya, aku sudah tidak peduli dengannya.

Tapi di lain kesempatan, dia perlahan-lahan mulai mendekati. Meski lambat sekali dalam merespon, dia masih ada keinginan untuk bertanya tentang apa yang dia tidak mengerti. Walaupun aku tau, mungkin hanya 10% pelajaran yang disampaikan yang hanya diserap olehnya.

Bukan karena dia bodoh. Tapi karena ada sesuatu yang terjadi di masa kecilnya. Idrus terlahir sebagai seorang piatu. Ibunya meninggal saat dia belum genap 1 bulan. Sejak saat itu, idrus kecil dipelihara oleh tantenya. Entah karena apa, idrus diperlakukan sangat tidak baik. Sering dipukul dan dimarahi, walaupun kesalahan bukan dilakukan olehnya. Jadilah dia tidak terawat dengan baik, jangankan kasih sayang, makanan pun jarang mampir di tubuhnya.

Sedangkan ayahnya, meski memilih untuk tidak menikah lagi, tapi pengaruh kehilangan istri menjadikan dia hanya sibuk bekerja sebagai petani kopra. Perkebunan kopranya yang luas, sehingga perhatian ke anak sangat minim. Ketika sudah besar ini pun idrus pulang ke ayahnya ketika ia butuh uang saja.

Aku jadi semakin mengerti, mengapa sikapnya sangat menguji kesabaran itu ada dalam dirinya. Bukankah setiap anak itu tidak ada yang bodoh? Anak dilahirkan putih, bersih, tanpa cela. Tinggal orangtua yang mewarnai ingin dilukis seperti apa kertas putih yang dititipkan dari Yang Maha Menitipkan.

Sampai hari ini, idrus pagi-pagi datang ke rumah menungguku bangun dari tidur hanya untuk bilang, “Bu, tah kitorang pigi ke pantai?” dan pulangnya dia mampir lagi ke rumah tanpa mandi dan ganti baju untuk meminjam pensil warna. Apa yang dia warna? Ternyata gambar sebuah rumah yang lumayan cukup rapi, tidak seperti biasanya dia bisa membuat karya serapih itu dan di dalamnya ada tulisan, idrus, ibu tiwi, dan uga*kakak angkatnya.

Ahh anak-anak. Sekalipun jenuh kadang melanda, hal-hal kecil yang sederhana menjadi penanda bahwa kebaikan itu pasti akan tetap tertanam, meski itu kecil bahkan tidak terlihat sama sekali. Yang ada hanya rasa bahwa dalam diri tiap manusia pasti ingin berubah menjadi lebih baik.

Darinya aku belajar tentang kesabaran dan pemahaman bahwa anak tidak pernah salah. Yang ada hanya orangtua dan guru yang dituntut terus belajar untuk menjadikan mereka anak-anak manusia, bukan anak-anak kerbau yang bisa kapan saja dicucuk hidungnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua