info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Cumi-Cumi Cuma Cuma

Raden Roro Cahya Wulandari 3 September 2011

Besarnya sekitar satu jengkal tangan. Warnanya pink agak transparan dan ia punya tentakel di bagian kepalanya. Ia adalah cumi-cumi. Tiada yang bisa mengelak betapa enaknya cumi-cumi yang dimasak dengan saus tiram, atau dibuat saus asam-manis. Hmmm ... membayangkannya saja sudah membuat perut kemerucuk. Sebelumnya saya tak pernah tahu cara memasak cumi-cumi, apalagi cara membersihkannya sebelum dimasak. Sebuah proses yang ternyata cukup merepotkan. Beberapa dari kita mungkin masih ingat pelajaran IPA saat SMP, bahwa cumi-cumi dibekali dengan tinta hitam sebagai pertahanan diri dari musuh. Tinta itu akan ia semprotkan ke air sehingga ia punya celah untuk lari dari predatornya. Let me tell you, bahkan saat cumi-cumi ini sudah mati pun, tinta itu tetap bisa keluar. Karena itulah membersihkan cumi menjadi sangat repot dan menghabiskan banyak air.  Belum lagi mengambil tulang nya yang bentuknya seperti plastik mika. Tulang itu memanjang di sepanjang tubuhnya. Hmm ... ternyata memasak cumi-cumi butuh proses panjang dan butuh kesabaran ekstra. Betapa bersyukurnya saya yang selama ini hanya makan cumi-cumi Cuma-Cuma; artinya saya tidak perlu melalui proses menangkap cumi, memotong, membersihkannya, hingga memasaknya di kompor. Selama ini saya selalu mendapatkannya dengan mudah dan sudah tersaji cantik di atas piring. Lengkap dengan lalapannya. Tapi di sini, ada hal lain yang bisa dipelajari, yaitu bagaimana menjalani proses dari benar-benar nol hingga ia menjadi sesuatu yang lebih baik. Saya ingat, bapak angkat saya berangkat mencari cumi dengan berbekal mata kail dan tali pancing. Beliau harus mendayung ke pulau seberang, untuk kemudian menangkap ikan dan cumi. Sebuah proses yang jauh dari bayangan saya sebelumnya. Dan saat ini pun, saat saya mengetik di laptop, saya jadi berfikir betapa banyak hal yang tiba-tiba sudah ada di hadapan kita, tanpa kita pernah sadari prosesnya. Tunggu, biar saya ralat, kita tidak memilih untuk menyadari proses itu.

Bernafas, misalnya, adalah sebuah sistem dan proses yang panjang dan melibatkan organ-organ tubuh. Tapi berapa banyak dari kita menyadari proses itu? Berapa banyak dari kita yang bisa memahami bahwa proses sama pentingnya dengan hasil?

Maka saat cumi-cumi tadi sudah bersih dan telah selesai dimasak. Saya mengucap syukur sebelum memakannya. Saya mensyukuri semua proses yang telah dijalani, dan saya bersyukur telah menjadi bagian dari proses itu. Sama hal nya dengan hidup, jika boleh kita tarik menjadi cakupan yang lebih luas,akan sangat membahagiakan jika kita bisa mensyukuri setiap prosesnnya. Kadang mungkin akan ada hambatan, sebagaimana tinta-tinta yang mengotori baju saat membersihkan cumi. Kadang mungkin kita mengalami kesulitan, sebagaimana sulitnya mengambil tulang cumi-cumi. Sering mungkin rencana kita tak sesuai dengan harapan, sebagaimana masakan cumi yang kurang garam ... terlalu banyak kecap ... atau terlalu pedas. Semua bisa terjadi. Namun itulah bagian dari proses. Kita belajar cara terbaik untuk menghindari semprotan tinta saat membersikan cumi untuk kedua kalinya. Kita belajar untuk menentukkan takaran bumbu yang tepat, kita belajar untuk lebih terampil mengambil tulang.

Yah, begitulah. Semoga selanjutnya ada lebih banyak hal lagi yang bisa dipelajari. Supaya cukup cumi-cumi saja yang saya makan dengan Cuma-Cuma. Janganlah hidup juga menjadi hal yang Cuma-Cuma. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua