Berbaur Dengan Kultur

Prawinda Putri A 29 Januari 2015

                Budaya. Entah mengapa sejak masih duduk di bangku kuliah saya sangat tertarik dengan hal tersebut. Bagi saya, semakin memahami budaya di negeri sendiri, semakin bertambah rasa cinta saya terhadap tanah air.

                Saya yakin di setiap penempatan Pengajar Muda pasti ada berbagai budaya yang berbeda, unik, dan menarik. Salah satu budaya yang bagi saya unik di desa penempatan saya adalah budaya merayakan Maulid Nabi. Mungkin perayaan Maulid disini tidak seberapa berbeda dengan di kota. Seperti mengadakan pengajian dan memanggil penceramah di masjid. Tapi bukan adat Semende namanya kalau tidak unik.

                Sehari sebelum perayaan Maulid, warga desa terutama bapak-bapak atau disini disebut “batin” bergotong royong memotong seekor sapi. Di sore hari, ibu-ibu berbondong-bondong datang ke masjid untuk mulai memasak. Untuk memeriahkan suasana, saya bekerja sama dengan guru, warga desa, dan guru ngaji dari tiga langgar untuk mengadakan lomba kecil-kecilan di masjid. Seperti, menghafal yasin, ayat kursi, dan juga surat pendek. Lomba ini ramai sekali diikuti oleh anak-anak. Bahkan murid TK dan SD kelas 1 juga ikut berpartisipasi meskipun mereka masih sedikit malu-malu untuk tampil ke depan. Sementara itu para bujang dan gadis desa di malam hari bekerja sama menghias masjid untuk pengajian esok hari. Sedangkan beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu masih sibuk bekerja sama memasak hingga pagi hari. Maklum saja, memasaknya dalam jumlah besar. Untuk satu desa.

                Keesokan harinya, seluruh warga berbondong-bondong masuk ke dalam masjid. Baik itu Kades, Kadus, Guru, hingga para bujang desa. Setelah acara pengajian diadakan, saya dan Ibu Sifri yang merupakan guru muda di SD membagikan hadiah bagi para pemenang lomba. Setelah itu acara puncak dimulai yaitu makan-makan.

                Daging sapi yang sudah selesai diolah diletakkan di piring yang sangat besar bersama nasi dan sayur dengan porsi jumbo. Satu piring tersebut dimakan oleh tiga hingga empat orang sekaligus. Hal ini bagi saya menarik. Karena adanya rasa kebersamaan makan bersama dan menikmati satu ekor sapi yang sudah disembelih dan dimasak semalam suntuk oleh warga sekitar. Serentak ratusan warga makan di dalam masjid dengan piring-piring besar yang sudah terisi oleh nasi dan lauk. Lucunya, kadang hal ini dijadikan pertandingan oleh anak-anak. Kelompok anak-anak yang berhasil menghabiskan satu piring nasi terlebih dahulu pasti merasa amat bangga.

                Saya sejujurnya tidak terbiasa makan satu piring yang sama dengan orang lain. Tapi ya bagaimana lagi, ini kan sudah budaya dari desa saya. Mau tidak mau saya harus membaur bersama budaya yang sangat kental dan sudah di aplikasikan selama berpuluh-puluh tahun di tanah ini. Budaya tersebut menyatukan dan menjadi akar yang kokoh dari kehidupan warga sehari-hari.

                Dulu, saya yang memiliki hobi snorkeling selalu beranggapan pantai dengan pohon kelapa, pasir putih, dan ikan nemo yang berenang genit di sela-sela terumbu karang itu eksotis. Tapi kini saya sadar eksotis itu tidak hanya sekedar pemandangan. Budaya di dusun pelosok yang masih mengakar kuat dan dapat berjalan beriringan seiring dengan perkembangan jaman bagi saya juga sungguh eksotis.   


Cerita Lainnya

Lihat Semua